***
"Iya enggak apa-apa, Ma. Dara ngerti kok.""Sekali lagi maaf ya, Sayang.""Iya Mama," ucap Adara sekali lagi.Pukul empat sore, Arsya yang sejak tadi menunggui Adara akhirnya berpamitan karena memang dia harus pergi bersama Damar untuk menghadiri acara penting.Sendirian di kamar rawat—karena Danendra yang belum kembali, Adara mendapat telepon dari Monica—sang mama yang meminta maaf karena tak bisa datang menjenguk.Selain keras, nyatanya Ginanjar juga seorang pria yang terbilang sangat posessive. Sangat mencintai Monica, istrinya. Ginanjar tak pernah mengizinkan perempuan itu berlama-lama di luar.Bahkan kini—ketika tahu Adara dirawat di rumah sakit, Ginanjar tak mengizinkan Monica untuk menginap dan menjaga putrinya.Alasan rumah tangga mereka tetap utuh? Tentu saja karena Monica tak mau melihat Adara menjadi anak broken home.Mengabaikan rasa sakit dan tak nyaman dengan pernikahannya bersam Ginanjar, Monica bertahan demi Adara."Ya udah***"Gimana, baik enggak?"Selesai melakukan pemeriksaan, Arsya mengukir senyum ketika pertanyaan tersebut diucapkan Teresa yang menunggu dengan cemas di samping Adara.Hari ini persis seminggu Adara dirawat, dan sesuai perkiraan, seharusnya dia bisa pulang hari ini jika kondisinya sudah memungkinkan."Bagus, Aunty," kata Arsya. "Detak jantungnya udah stabil.""Jadi bisa pulang?" tanya Adara.Arsya mengangguk. "Bisa," jawabnya. "Cuman peraturannya masih sama ya, Kak. Kakak harus bedrest. Enggak boleh bangak kegiatan dulu. Masih dalam tahap observasi soalnya.""Iya," jawab Adara."Tenang, Dara udah berhenti kerja. Jadi aman," kata Teresa lagi."Sekarang tinggalnya di mana, Kak Dara? Apartemen apa di mana?" tanya Arsya."Rumah Aunty," kata Teresa. "Kalau di apartemen, nanti Dara susah mau ngapa-ngapain.""Aunty terbaik!" seru Arsya sambil mengangkat jempolnya lalu setelah itu dia kembali
***"Kamu lagi apa?"Adara yang sejak tadi berdiri di depan cermin sambil mengelus perut seketika langsung menoleh mendengar pertanyaan yang diucapkan Danendra dari arah belakang."Dan," ucap Adara. "Udah mandinya?"Danendra yang saat ini masih memakai handuk sepinggang dan bertelanjang dada, mengangguk."Udah, nih aku belum pake baju," kata Danendra sambil menunjuk perut shirtlessnya yang begitu menggoda.Mainan Adara setiap malam.Bukan harus dipijat atau dielus sebelum tidur, selama hamil Adara punya kebiasaan baru yaitu; mengelus perut kotak-kotak milik Danendra.Menelusup ke dalam kaos, setiap malamnya kegiatan mengelus perut wajib dilakukan Adara karena jika tidak, dia akan kesulitan tidur.Entah ada mantra apa, tapi yang jelas ketika telapak tangan Adara mendarat langsung di perut Danendra, rasa kantuk selalu datang."Seksi," puji Adara. "Mainan aku tuh.""Iya," kata Danendra. "
***"Dan, anak kita lucu ya."Adara mengukir senyum ketika layar di depannya menampilkan bayi yang ada di perutnya. Empat dimensi, bayi tersebut terlihat cukup jelas. Meskipun, berwarna coklat Adara yakin bayi yang dia kandung memiliki paras yang cantik."Iya lucu, kaya Papanya," celetuk Danendra yang membuat Adara maupun Arsya langsung menatapnya."Percaya diri banget, Kak," kata Arsya. "Di mana-mana wajah anak perempuan itu biasanya condong ke Ibu, jarang banget mirip ayah.""Iya gitu?" tanya Danendra. Dia menatap Arsya. "Tapi kamu mirip uncle Fian tuh.""Aku mirip Mama," kata Arsya."Masa?""Iya," jawab Arsya."Sya, berat badan bayinya berapa sekarang?" tanya Adara—membuat Arsya menoleh ke arahnya. "Baby bumpku kecil, aku takut berat badan bayiku juga kecil.""Sebentar, Kak," kata Arsya. Menyipitkan mata, dia memandangi layar untuk melihat keterangan yang muncil di bagian samping. "Seribu li
"Hai, Dara. Apa kabar?"Jari-jari Adara yang semula menari di atas layar ponsel berhenti seketika setelah sapaan itu terdengar dari samping kanannya.Cukup familiar dengan suara perempuan yang menyapanya, Adara menoleh dan dugaannya benar. Perempuan yang kini duduk di sampingnya bukan orang asing."Kamu," panggil Adara."Belum lupa aku, kan?"Lima bulan tak pernah bertemu sekali pun karena Adara yang lebih sering di rumah, siang ini dia kembali bisa melihat perempuan yang beberapa bulan lalu sering berdebat dengannya.Felicya. Perempuan itu memasang wajah yang ramah juga senyuman untuknya. Entah itu senyuman tulus atau tidak, Adara tak tahu.Namun, yang jelas—setelah waktu itu tahu Felicya dalang dari kejadian yang menimpanya, Adara tiba-tiba saja merasa takut pada mantan kekasih suaminya itu.Felicya nekad. Begitulah yang ada di pikiran Adara, sekarang."Fel, kamu ...." Adara menjeda ucapannya, sementa
***"Udah jangan sedih, ucapan Feli jangan didengerin."Sekali lagi, ucapan itu dilontarkan Danendra pada Adara yang sejak tadi terlihat murung. Menemukan istrinya itu di taman, Danendra cukup terkejut melihat Adara terisak.Dan yang lebih membuat terkejut adalah; Adara menangis karena Felicya—perempuan yang sudah lima bulan lebih ini tak dia temui."Tapi ucapan dia benar," kata Adara. "Aku perebut.""Ra." Danendra mendesah. Sebenarnya ini masalah lama, dan memang tak seharusnya kembali diungkit. "Kita udah pernah bicarain ini sebelumny, kan?""Sekarang rasanya beda," ucap Adara. Dia kemudian menoleh lalu memandang Danendra dari samping. "Sakit tau enggak sih, Dan. Dilihatin ibu-ibu di apotek tadi dengan tatapan jijik.""Mau balik lagi?""Balik apa?""Ke rumah sakit," kata Danendra. "Kalau kamu mau balik lagi ke rumah sakit, ayo. Biar aku kasih peringatan ibu-ibu yang udah bersikap enggak baik sama kamu
***"Dara mana?"Danendra yang baru saja menuruni tangga langsung menoleh pada Teresa yang saat ini duduk di sofa ruang tengah dengan penampilan yang rapi—dress di bawah lutut, tas dan jam tangan branded juga flatshoes dari brand ternama."Lagi istirahat di kamar," kata Danendra. "Mama mau ke mana?""Mau arisan," ucap Teresa."Lagi?""Apanya yang lagi, orang minggu ini belum kok," kata Teresa."Oh kirain," ujar Danendra."Mama udah izin ke Papa dan Papa kasih izin," ucap Teresa."Oke," jawab Danendra singkat."Dara masih sedih?" tanya Teressa.Setelah menerimq direct message di warung bakso tadi, Adara membatalkan rencananya dengan Danendra untuk berbelanja perlangkepan bayi karena tentu saja moodnya langsung terjun bebas.'Hamil sama laki-laki hasil rebut aja kok bangga?'Begitulah isi pesan yang diterima Adara dari ibu-ibu yang dia temui di rumah sakit dan tentu saj
"Tante, bilang sama aku. Ini maksudnya apa?"Teresa menoleh lalu memandang Felicya. Bukan senyuman ramah seperti biasa, yang diukir Teresa sekarang adalah senyuman miring—merendahkan."Kamu pikir tujuan Tante ajak kamu ke arisan, apa?" tanya Teresa. "Mau ngenalin kamu sebagai calon menantu Tante, iya?""Tante.""Kamu mempermalukan menantu Tante di rumah sakit tadi, kan?" tanya Teresa. "Jangan berpikir Tante enggak tahu, Fel. Tante tahu. Kamu juga nyuruh ibu-ibu buat kirim pesan di akun instagram Adara terus hujat dia.""Enggak, Tante. Feli enggak lakuin itu," ucap Felicya. "Adara ngadu? Dia fitnah, Tan. Seharusnya Tante enggak langsung percaya."Mengabaikan ibu-ibu arisan lain yang kini berperan menjadi penonton, Felucya dan Teresa mulai beradu argumen."Sayangnya, Tante lebih percaya sama Adara daripada kamu," ucap Teresa. "Lagian buat apa Adara bohong? Enggak ada untungnya dia lakuin itu. Beda sama kamu yang jelas puny
***"Dan, dingin."Adara mengeluh ketika Danendra tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di pinggang sementara dagu di bahu Adara.Danendra baru selesai mandi. Itulah yang menjadi alasan utama Adara mengeluh dingin bahkan basah ketika pipi sang suami menempel dengannya karena memang Danendra pun masih memakai handuk yang melingkar di pinggang, sementara dadanya dibiarkan terekspos."Kenapa sih, Ra? Aku kangen," ucap Danendra sambil memandang pantulan wajahnya dan Adara di depan cermin, karena memang Adara sedang berdiri di dekat meja rias. "Jadwal kan, ya?""Jadwal apa?" tanya Adara pura-pura."Sok polos," celetuk Danendra. "Kehamilan kamu udah masuk tiga puluh delapan minggu lho. Ingat kata Arsya enggak?""Apa?""Harus sering dijenguk biar lahirannya lancar," ucap Danendra."Ck, alasan.""Seriusan, Ra," ujar Danendra. "HPL kamu kapan sih? Lupa aku.""Dua mingguan lagi kalau engga