***"Jadi apa keputusan kamu sekarang?"Adara memandang Danendra yang saat ini duduk di samping kanannya sambil menggendong baby El.Terpergok sedang menelepon Rafly, Adara tak punya pilihan lain selain bercerita pada Danendra. Tak ada yang disembunyikan lagi, Adara menceritakan semuanya termasuk pertemuan bahkan ajakan Rafly untuk kembali.Tak lupa, dia juga meminta maaf pada Danendra karena sempat menyembunyikan semuanya dan seperti biasa, yang dilakukan Danendra adalah memaklumi dan memaafkan kesalahan istrinya itu."Keputusan apa?""Rafly ajak kamu kembali," kata Danendra. "Kamu mau kembali?""Dan.""Aku enggak akan maksa kamu buat tetap bersama aku.""Kok ngomongnya gitu?" tanya Adara."Karena aku enggak suka memaksa," kata Danendra. "Kalau kamu merasa masih sayang sama Rafly dan ingin kembali sama dia. Aku ikhlas kok, tapi baby El akan tetap sama aku."Sarkas. Tentu saja apa yang dikatakan Danendra hanyalah sebuah sarkas karena pada kenyataannya dia tak ingin ditinggalkan Adara.
***"Jadi Adara enggak mau kembali sama kamu?""Iya."Rafly yang saat ini tengah duduk bersandar pada sebuah bangku, langsung memberikan jawaban singkat, padat, dan jelas ketika sebuah pertanyaan dilontarkan seorang perempuan yang duduk di sampingnya.Tak sengaja bertemu di lobi apartemen, perempuan yang langsung memperkenalkan dirinya itu langsung mengajak Rafly mengobrol di taman yang letaknya tak jauh dari apartemen.Dan karena perempuan itu ternyata ada sangkut paut dengan Danendra, Rafly mengiakan ajakan mengobrol, meskipun dia tak pernah mengenal perempuan tersebut sebelumnya."Sakit?"Rafly menoleh lalu memandang perempuan tersebut. Felicya. Tentunya siapa lagi perempuan yang duduk di samping Rafly selain mantan Danendra.Berniat untuk menemui teman yang tinggal di aparteman sama dengan Rafly, Felicya justru mendapat kejutan karena ternyata Rafly—penyebab semua kekacauan hubungannya dan Danendra masih hidup."Apanya?" tanya Rafly."Hati kamulah," kata Felicya. "Sakit enggak?""
***"Jadi kamu sendiri ke sininya?""Iya."Menyelipkan ponsel diantara bahu dan telinga, Adara menjawab singkat pertanyaan yang dilontarkan Danendra, sementara tangannya sibuk memindahkan sebagian makanan dari piring ke dalam kotak makan susun yang akan dia bawa ke kantor.Sesuai janjinya pada Danendra tadi pagi, Adara memang akan pergi untuk mengantarkan makan siang. Awalnya, dia akan pergi sambil membawa baby El. Namun, beberapa menit lalu sang putri justru tidur.Alhasil, Adara akan pergi sendiri menuju perusahaan tempat sang suami bekerja."Padahal kangen si Cantik," jawab Danendra.Sebelum menjawab pertanyaan Danendra, Adara lebih dulu menata kotak makan lalu merapatkan jepitannya. "Ya mau gimana lagi, orang baby Elnya tidur," ucapnya. "Kasian kan lagi tidur diajak pergi.""Iya sih," kata Danendra. "Jangan lupa siapin asi sebelum pergi.""Udah, tenang aja," kata Adara."Ya udah kalau gitu, hati-hati ya di jalannya. Nyetir sendiri, kan?" tanya Danendra."Iya," kata Adara sambi ber
***"Kembalikan Adara."Tak mau basa-basi, ucapan tersebut langsung dilontarkan seorang pria yang saat ini duduk di depan Danendra, dengan wajah yang tentu saja tidak bersahabat.Danendra panik? Tentu saja tidak. Punya jaminan dari Adara yang terus meyakinkan untuk selalu berada di sampingnya, Danendra bersikap setenang mungkin."Rafly Sanjaya," gumam Danendra—menyebut nama lengkap Rafly. "Hampir satu tahun menghilang, sekarang tiba-tiba datang lalu meminta Adara. Sopankah begitu?""Jika ditanya siapa yang harus belajar sopan santun, jawabannya tentu kamu, Dan," ucap Rafly. "Merebut calon istri sahabatnya sendiri, apa itu sopan?""Merebut?" tanya Danendra. Dia yang semula bersandar pada kursi kerja, langsung membenarkan pisisi duduknya. "Siapa yang merebut, Raf? Aku enggak pernah rebut.""Jangan pura-pura, kamu," desis Rafly. "Aku tahu kamu suka sama Dara dari dulu dan ketika aku enggak ada, kamu pasti manfaatin keadaan buat ambil dia."Danendra tersenyum. "Aku emang cinta sama Adara,
***"Macet-macet, akhirnya sampe juga."Sampai pukul setengah dua belas lebih, Adara menghela napas sambil melepaskan seat belt. Bersandar pada jok mobil, dia memandangi suasana parkiran kantor yang bisa dibilang cukup lengang.Alexander grup. Perusahaan besar itu terlihat gagah dengan tinggi menjulang. Di sana hampir semua anggota keluarga Alexander bekerja.Adam dan Alfian si pemegang saham utama, Danendra CEO, juga Anindira—putra sulung Alfian yang menduduki posisi manajer di Alexander grup pusat.Sementara kedua putra Adam yang lainnya memegang perusahaan cabang. Aksa di Bandung, Danish di Surabaya.Sebenarnya Danendra pun pernah ditawari perusahaan di Malam, tapi dia menolak. Danendra ingin tetap di Jakarta karena Adara yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru."Danendra," gumam Adara sambil memandangi paper bag di samping kirinya. "Udah istirahat belum ya, dia?"Sebelum turun dari mobil, yang dilakukan Adara adalah merogoh ponselnya dari tas untuk menelepon Mbak
***"Bagaimana, Dokter?"Menunggu bersama Adam di depan ruang penanganan, Danendra langsung menghampiri dokter yang menangani Adara tepat setelah pintu terbuka."Istri saya enggak kenapa-kenapa, kan?""Syukurnya, tidak," jawab sang dokter. "Pasien hanya mengalami benturan ringan di kepala dan hanya memerlukan beberap jahitan.""Punggungnya?" tanya Danendra—belum bisa bernapas lega, karena yang dia ingat, kursi tersebut tak hanya mengenai kepala.Punggung Adara juga terkena hantaman kursi tersebut."Punggungnya hanya memar," kata sang dokter. "Karena sudah sadar, pasien juga sudah bisa dibawa pulang. Nanti saya resepkan obat apa saja yang harus ditebus.""Saya boleh masuk?" tanya Danendra."Silakan.""Terima kasih," kata Adam yang langsung ikut bersama Danendra—masuk ke dalam ruang penanganan."Ra.""Dan."Danendra menghampiri Adara lalu yang dia lakukan selanjutnya adalah menangkup wajah sang istri yang kini tengah duduk setelah sadar beberapa menit lalu."Ra, kamu enggak apa-apa?" ta
***"Lagi apa?"Adara sedikit tersentak ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Danendra yang baru saja datang ke kamar sambil menggendong baby El."Balas pesan," jawab Adara apa adanya. "Kamu bawa main baby El darimana?""Jalan-jalan dari depan," kata Danendra. "Kenapa?"Adara memandang Danendra sambil menggenggam ponselnya. "Felicya," ucapnya. "Kayanya dia masih tinggal di apartemen yang kamu sewa deh, Dan.""Seriously?" tanya Danendra sambil mengerutkan keningnya."Iya, tadi siang aku ketemu.""Tadi siang, kapan?"Memasang raut wajah serius, dia duduk di depan Adara. Felicya. Bukan masalah kecil, perempuan itu cukup berbahaya untuk Adara."Tadi pas mau anterin makan siang buat kamu," kata Adara. "Aku papasan sama dia di depan.""Kamu diapain?" tanya Danendra khawatir.Terakhir kali Adara bertemu Felicya, perempuan itu membuat istrinya menangis. Dan sekarang, Danendra takut Felicya melakukan sesuatu hal lagi pada Adara."Enggak diapa-apain," kata Adara. "Lagian sekarang aku udah engg
***"Pokoknya Mas Rafly jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Kalau jodoh, enggak akan ke mana, Mas."Duduk di depan laptop, wejangan itu kembali diucapkan Clarissa pada Rafly yang dia hubungi malam ini.Awal melakukan video call, Clarissa dibuat terkejut dengan wajah memar Rafly yang tak sedikit. Setelah pria itu bercerita, tugasnya tentu saja memberi nasehat.Meskipun memiliki usia yang masih muda, Clarissa memang memiliki pikiran yang dewasa. Ditinggal kedua orang tuanya meninggal dunia beberapa tahun lalu memang membuatnya menjadi pribadi yang mandiri juga bijak.Seharusnya sebelas bulan tinggal bersama, Rafly bisa jatuh cinta pada Clarissa. Namun, cintanya yang begitu besar untuk Adara membuat pria itu sulit membuka hati.Padahal, jika dibandingkan, Clarissa tak kalah cantik dari Adara—bahkan dari segi sikap, meski memiliki usia sama, Clarissa sedikit lebih dewasa dari Adara."Iya, Ris. Makasih udah nemenin ngobrol," kata Rafly dari seberang sana.Melihat pria itu tersenyum tipi