Plak! Plak! Plak! Sang presdir melayangkan tamparan keras di pipi manager, satpam dan Evita bergantian. "Saya kan sudah pernah bilang sebelumnya kepada kalian ... apa perlu saya mengatakan hal itu berkali-kali?!" bentak sang presdir dengan emosi menggebu.Kemudian, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Seharusnya hal seperti ini tidak terjadi! Kalian ... telah merusak nama baik showroom karena ulah kalian yang tidak becus ini dalam bekerja!" "Lihat ... tuan ini yang berpenampilan seadanya dan hanya mengenakan sandal jepit ... yang kalian sangka tidak punya uang dan tidak bisa membeli mobil di sini ... tapi ... ternyata beliau adalah pemegang black card!" Kata sang presdir lagi dengan kemarahan membara selagi menunjuk-nunjuk Aditama yang seketika membungkam mereka bertiga dalam tundukan kepala. Sang presdir lanjut berkata. "Asal kalian tahu saja ... bahkan tuan dan nyonya ini bisa membeli gedung showroom ini sekalian dan harga diri kalian pun bisa dibeli dengan sangat mudah oleh m
Rahang Aditama mengeras, pandangannya menatap lurus ke depan.Lalu, matanya menutup seiring menghela napas pelan. Ia telah siap, menceritakan semuanya kepada Vania. Ia akan berkata jujur, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi.Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, ia membuka mata dan berkata. "Sebenarnya ... aku adalah pewaris keluarga Gandara, Van. Aku adalah putra tunggal keluarga Gandara."Sontak, mata Vania melebar. Mencerna jawaban Aditama dalam sepersekian detik, kemudian melipat tangan di depan dada dan menghadap sang suami dengan alis tertaut. "Apa yang baru saja kamu katakan, Tam? Kamu ... adalah ... pewaris ... keluarga Gandara? Kamu ... adalah putra tunggal ... keluarga Gandara?" Vania mengulangi perkataan sang suami dengan hati-hati dan terbata, memastikan ia tidak salah dengar. Aditama menoleh—menatap Vania untuk beberapa saat, kemudian mengangguk pelan.Vania mengerjap sebelum kemudian tertegun. Tiba-tiba ia menggeleng. "Tama ... kalau kamu mau bercanda—" Adita
"Aku dan ibuku sudah diusir, Van. Aku dan ibuku juga sudah saling berjanji satu sama lain untuk melupakan Laksana Gandara dan keluarga Gandara!" ucap Aditama tegas. Dia kemudian menambahkan. "Itu lah alasannya mengapa aku dan ibuku harus berbohong kepadamu, dan keluargamu!" "Tapi, tiba-tiba, Panji, kepala urusan rumah tangga keluarga Gandara datang menemuiku disaat aku dan ibuku sedang membutuhkan bantuan." "Selain itu, dia juga mengabarkan kondisi Ayah yang katanya tidak baik, dia memintaku untuk kembali menjadi ahli waris dan meneruskan bisnis keluarga Gandara." "Sepertinya ... Ayah mau pun Panji sudah mengetahui keberadaanku dan ibu ... sudah mengawasi kami belakangan ini." Kata Aditama lagi. Mendengar hal tersebut, Vania tertegun—tidak kunjung menimpali perkataan sang suami.Akan tetapi, ia bisa menerima alasan Aditama dan ibunya. Setelah tersadar, ia menatap sang suami untuk beberapa saat. "Sejak kapan ... kepala urusan rumah tangga keluarga Gandara mendatangimu, Tam?" ta
Di meja makan kediaman keluarga Hermanto, terlihat Aditama, Vania dan sang kakek sedang duduk di kursi masing-masing. Mereka bertiga tengah makan malam bersama. Akan tetapi, bagi Vania dan Aditama, terlihat seperti bukan makan malam biasa. Pasalnya, hidangan di atas meja adalah hidangan spesial. Hal tersebut terlalu berlebihan jika hanya untuk menjamu mereka berdua. Sudah dipastikan jika keluarga Hermanto memang sengaja memasak khusus untuk mereka berdua. Di sisi lain, hal tersebut membuat Aditama dan Vania sedikit heran. Tak pernah sekali pun mereka berdua dijamu sedemikian rupa seperti saat ini.Biasanya, keluarga Hermanto akan menjamu seperti itu jika sedang ada acara atau ada tamu penting saja. Mereka berdua pun menjadi bertanya-tanya. Malam ini, Aditama dan Vania mengunjungi kediaman keluarga Hermanto untuk memenuhi undangan makan malam sang kakek.Di perjalanan tadi, mereka berdua saling berdiskusi, kira-kira, apa yang akan sang kakek bicarakan? Tidak mungkin kan ... s
Melihat hal itu, Vania seketika merasa cemas.Bagimana jika sang kakek marah? Tidak mengabulkan permintaanya? Akan tetapi, ia menggeleng, berharap sang kakek tidak bersikap demikian. Selagi sang kakek terdiam kaget, Vania angkat suara. "Kek ... kalau bukan karena Aditama ... kalau bukan karena teman dekatnya Aditama ... perusahaan kita tidak akan bisa bekerja sama dengan Gandara corporation!" Dia kemudian menambahkan. "Jadi ... bisa dibilang ... Aditama juga memiliki peranan dan andil yang besar dalam terjalinnya kerja sama ini." Vania mencoba meyakinkan sang kakek. Mendengar hal tersebut, Hermanto mengerjap—tersadar—kemudian balik menatap Vania."Kakek ada pertanyaan untukmu Van," ucap Hermanto pada akhirnya sambil memperbaiki posisi duduk. Kemudian, ia menatap sang cucu dengan lekat. "Apakah ... kamu benar-benar telah mencintai Aditama sepenuhnya?" tanya Hermanto dengan hati-hati, sesekali menatap ke arah Aditama. Tanpa pikir panjang, Vania mengangguk cepat. Kentara jika tid
Mendengar suara ibunya menyapa di sebrang sana, Aditama menutup mata seiring helaan napas lega pun berhembus keluar. Akhirnya ... sang ibu mengangkat teleponya juga.Selama sesaat, Aditama mempersiapkan diri untuk berbicara dengan sang ibu mengenai kondisi sang Ayah. Lalu, Aditama membuka mata dan berkata. "Kenapa mama tidak menghubungiku lagi? Mama ... baik-baik saja 'kan di sana?" tanya Aditama begitu panggilan terhubung. Dia kemudian menambahkan. "Padahal ... mama sudah janji kepadaku jika akan mengabari—""Maafkan, mama, Tama." potong Sophia mendadak yang membuat Aditama terdiam. Belum sempat Aditama menimpali, suara Sophia sudah terdengar lagi. "Ada banyak hal yang harus mama urus di sini ... mama ... mendadak sibuk sekali, Tam ... termasuk ... mengurus papamu." Mendengar sang Ayah disebut, Aditama seketika tertegun.Rasa-rasanya ia ingin langsung mencecar sang ibu dengan pertanyaan mengenai kondisi sang Ayah.Akan tetapi, ego dan gengsi masih menguasai dirinya sepenuhnya
Aditama melangkah masuk ke dalam kamar milik kedua orang tuanya diikuti Sophia dan Vania. Tiba di dalam sana, terlihat di atas tempat tidur, terbaring tubuh sang Ayah tanpa suara dan dengan keadaan mata terpejam. Melihat hal itu, Aditama langsung merasa tidak karu-karu an. Ternyata benar ... jika sang Ayah sakit parah! Seketika ia diliputi rasa bersalah karena tidak mempercayai ucapan Panji sebelumnya. Aditama lalu memberanikan diri berjalan pelan mendekati tempat tidur.Ia duduk di tepi tempat tidur ayahnya berbaring selagi mengamati kondisi sang Ayah. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, pria yang dulu begitu gagah, energik dan gesit, bisa terbaring tak berdaya seperti itu.Laksana Gandara baru melewati masa kritisnya dan dua hari yang lalu ia mulai siuman. Sesekali ia akan terjaga dan membuka mata, meski tubuh itu tetap kaku seperti papan.Hanya nama Aditama yang keluar dari mulut pria itu—setiap saat.Stroke yang menyerangnya kali ini jauh lebih kuat dibandingkan serangan p
Vania tidak lagi memanggil Sophia dengan panggilan 'ibu', melainkan 'mama' setelah mengetahui identitas asli sang ibu mertua yang ternyata adalah istri dari Tuan Besar Laksana Gandara.Hingga saat ini, Vania masih tidak menyangka saja jika selama ini ia memiliki ibu mertua yang identitasnya bukan main-main. Ia kira, ibu mertuanya itu hanya lah seorang ibu biasa. Tapi ternyata ... adalah seorang nyonya besar keluarga Gandara. Mendadak, Vania merasa merinding kala memikirkan hal itu. Vania juga dibuat pangling dengan penampilan sang ibu mertua kali ini yang berubah drastis setelah kembali ke keluarganya. Aura nyonya besarnya terpancar jelas dari dalam dirinya. Berbeda sekali pada saat dia masih tinggal di kontrakan kecil. Bahkan, mereka seperti dua orang yang berbeda.Di saat ini, Vania tiba-tiba teringat dengan sikapnya dulu kepada Aditama. Sebagai istri, ia tidak pernah sepenuhnya memperlakukan Aditama sebagai suami. Bahkan, ia memperingati Aditama untuk menjaga jarak!