"Zaid itu anak yang baik. Hanya nasibnya saja yang kurang baik." Mak Cik Limah mendesah kasar.
"Kalau ayah dan ibunya masih ada, mungkin dia sudah jadi orang sukses di usianya kini." Mata Limah berkaca-kaca menatap ke pada Sheila yang menjadi serba salah karena telah mentertawakan Zaid.
Sepertinya Mak Cik Limah memang tak salah mengatakan kalau. Zaid seorang baik karena Sheila telah merasakan kehangatan yang ditawarkan Zaid, meski rasa benci dan dendam kadang masih saja menghantuinya saat melihat Zaid.
"Hmm, aku punya ide," batin Sheila.
"Mau ke mana Sheila?" tanya Papa Banta yang telah berdiri di hadapan Sheila ketika ia berdiri dan berbalik arah hendak ke luar dari dapur.
"Eh, Papa!"
Kemudian, Papa mengajak Sheila berbincang di halaman rumah belakang. Sheila duduk di ayunan sambil mengayun ringan. Dan, Papa duduk di sebuah bangku taman sambil menyilangkan kaki.
"Sebaiknya kau
Mohon maaf baru bisa update lagi. Terima kasih telah membaca cerita Supirku Sayang ya
Angin berhembus lembut di halaman rumah Sheila. Zaid memasuki gerbang rumah Sheila dengan motor bututnya yang mengeluarkan suara bising dengan asap yang membuat batuk orang di sekitar. Syukurilah ia menggunakan kendaraan itu di Indonesia. Kalau di luar negeri seperti Jepang, mungkin Zaid sudah tidak diizinkan mengendarai kendaraan begitu.Ia mengangguk hormat saat berpapasan dengan penjaga rumah di gerbang utama. Senyumnya ceria dan matanya berbinar penuh semangat. Tidak pernah ia menunjukkan rasa tertindas atau ketidaknyamanan saat memasuki halaman mewah dengan kendaraan yang ia miliki. Zaid tetap bangga pada miliknya sendiri. Ia ingat pesan almarhumah ibu saat ia remaja selalu ingin memiliki sesuatu seperti milik temannya."Zaid, ketahuilah. Syukurilah apa yang kita miliki, maka hidup akan terasa sempurna," Ujar Ibu sambil mengelus bahunya.Zaid yang bersedih karena kerap jadi bahan ledekan teman-teman sebayanya, merasa lebih tenang setiap me
Mana Sheila, Limah?" tanya Banta dengan nada tenang. Namun dari raut wajahnya nampak ketegangan hingga di sana."Se, sebentar saya panggil dulu," Jawab Makcik Limah dan kembali ke kamar Sheila dengan tergesa-gesa."Kau sepertinya gagal menjaga Sheila Zaid." Pak Banta menatap tajam ke arah Zaid."Maafkan saya, Pak." Zaid hanya bisa menatap ujung sepatu Banta.Waduh, ada apa ya? Kenapa Pak Banta marah pada Zaid. Jangan-jangan mau dipecat. Yah, kasihan Zaid. Semua karena ulah Sheila."Lalu, apa rencanamu sekarang?"Zaid menarik napas dan melepaskan dengan kasar."Saya mempunyai keterbatasan, Pak," Keluh Zaid."Saya pikir, Sheila memerlukan penjaga yang lain." Zaid menatap sendu ke arah Banta."Maksud kamu?""Sheila membutuhkan sosok penjaga yang m
"Maafkan saya, Damar," ucap Pak Banta setelah selesai menerima panggilan telepon. "Nggak apa-apa, Om," Damar tersenyum pada Pak Banta. Sementara itu, Sheila mengambil telepon genggamnya dan berfoto selfie di hadapan Damar. "Kamu sudah ngobrol dengan Sheila?" Pak Banta sekarang mengalihkan pandangan ke sisi kanannya. Sheila masih tak acuh pada kedua pria yang duduk bersamanya. Ia masih asyik mengambil foto dirinya dengan berbagai ekspresi. Senyum Damar mengembang melihat tingkah Sheila. Ia ingin tertawa, tapi ia menahannya. Mulutnya pun ditutup dengan telapak tangan. Pak Banta berdehem. Namun, Sheila tetap asyik dengan kegiatannya. Ia mengabaikan kode dari papanya agar menghentikan sikapnya yang kekanak-kanakan. "Sheila. Simpan ponselmu," pinta Papa padanya. Sheila tak mengindahkan permintaan papa. "Sheila!" Bentak Pak Banta membuat Sheila terke
Para santri berbisik-bisik melihat kedatangan Zaid dan Sheila. Beberapa santriwati terlihat menatap sinis ke arah Sheila.Hafiz menarik lengan Zaid. " Apa-apaan kau ini, Za!""Aku harus gimana lagi. Dia memaksa minta ikut kemari." Zaid berusaha menjelaskan."Kau mau menghancurkan popularitasmu sebagai Ustadz? Gila kau!""Bagaimana kalau orang kampung lihat dan memfitnahmu. Kau tau sendiri kan, gimana mulut mamak-mamak sini. Apa yang dilihat, apa pula yang dipikir dan diobrolkan. Belum pula kalau anak-anak mereka mengadu. Mau apa kau kalau mereka meminta pengurus masjid memberhentikanmu mengajar." cerocos Hafiz panjang kali lebar."Fiz, Hafiz. Tenang." Zaid menyentuh bahu Hafiz."Enak saja kau suruh aku tenang." Hafiz menepis tangan Zaid.Saat mereka kembali ke dalam masjid, tampak Sheila yang mengobrol dengan beberapa Santri."Aku boleh bergabung?" tanya Sheila pada Zaid.Zaid menjadi salah tingka
Seperti biasa, Sheila ke kantor diantar oleh Zaid. Ia nampak bersemangat sekali karena nanti sore ia telah berencana mengaji di masjid bersama Zaid.Ia seperti menemukan sesuatu yang hilang saat di masjid. Mengaji, berkumpul bersama teman-teman dan bercerita banyak hal walaupun kadang dia tidak paham, memberikan kesan mendalam. Memberikan pengalaman masa kecil yang tak pernah dimilikinya."Za, jangan lupa janjimu," ia menepuk pundak Zaid sebelum masuk ke kantor Pak Banta. Sekarang sudah jadi kebiasaan, sebelum masuk ke kantornya, ia menyapa Pak Banta dulu."Papa!" teriaknya ketika membuka pintu."Sheila!"Ia mendekati papa dan langsung menghujani Pak Banta dengan ciuman di pipi tanpa memperhatikan ada siapa di ruangan itu."Kamu tidak bisa mengetuk dulu sebelum masuk?""Mana mungkin mengetuk pintu ruangan papaku sendiri," ucapnya sambil bergelayut manja di lengan Papa.Pak Banta geleng-geleng kepala melihat
"Pelan-pelan!" Jerit Sheila."Makanya kalau jalan hati-hati. Kan begini jadinya," omel Zaid."Jangan-jangan kamu sengaja biar dipeluk Damar," imbuh Zaid lagi."Eh, sembarangan kalau ngomong, ya!""Aku nggak serendah itu!""Kalau kau nggak percaya, sudah. Sana pergi." Sheila menepis tangan Zaid yang sedang mengobatinya dengan minyak urut."Percaya atau tidak. Tidak ada bedanya bukan? Aku cuma supir dan penjagamu, saja. Tidak ada yang berubah." Zaid mengambil kembali kaki Sheila ke dalam tangan kiri dan membakarnya dengan tangan kanan.Zaid berusaha menyembunyikan sesuatu di matanya. Ia menghindari mata Sheila yang menatapnya heran. Sheila pun tersadar dan bertanya-tanya dalam hati. Atas dasar apa dia ingin Zaid yakin jika dia tidak menginginkan Damar. Toh, Zaid bukan siapa-siapa baginya. Dia hanya sosok yang berada di sisinya atas dasar materi. Bukan karena perasaan atau ikatan istimewa.Sampai malam tiba, masih terl
Setelah mengobrol sejenak dengan Pak Banta, Zaid menghubungi Sheila. "Kenapa?" tanya Sheila begitu Zaid telepon tersambung."Aku ingin menepati janjiku kemarin," jawab Zaid."Janji apa?" Sore hari, Zaid menjemput Sheila di sebuah pantai yang terindah di kota mereka. Sheila tampak girang. Akhirnya Zaid akan mengabulkan keinginannya. Sepanjang perjalanan, ia tampak tersenyum sendiri membayangkan waktu yang dihabiskan bersama Zaid Wajah Sheila dan Zaid tampak sumringah sepanjang perjalanan. Mereka akhirnya tiba di sebuah masjid. Tempat itu pernah mereka kunjungi sebelumnya."Kau mengizinkan aku ikut mengaji di sini?" Zaid mengangguk. "Ayo masuk. Aku akan memperkenalkanku pada seseorang."Assalamualaikum. Aisha, kenalkan ini Sheila yang pernah kuceritakan tempo hari." Zaid menyapa seorang wanita saat tiba di dalam masjid.Ia mengulurkan tangan pada Sheila. Sheila menyambut wanita berkerudung lebar itu dengan canggung. Namun, Aisha tak sungkan membalasnya dengan pelukan hangat."Sela
"Zaid!" Pak Banta memanggil Zaid yang baru saja tiba di rumah Sheila. Hari ini sepertinya Pak Banta tidak ke kantor. "Saya, Pak," jawab Zaid. "Terima kasih telah memberi Sheila kesempatan mengaji." "Itu adalah momen yang terlewat ketika ia masih kecil." Pak Banta membenarkan letak kacamata. Zaid menyatukan kedua telapak tangannya. "Semua salahku yang mengabaikannya di waktu kecil." "Aku seakan larut dengan diriku sendiri hingga akhirnya banyak melewatkan masa mengasuh Sheila." "Kau telah membantuku membayar hutang pengasuhanku yang belum kulunasi padanya. Aku berharap, Sheila kelak memperoleh suami yang paham keadaannya dan dapat menggantikan ku menjaga dan melunasi hutang-hutangku padanya," jelas Pak Banta. Zaid menggigit gigi, hingga tampaklah tulang pipinya. Andai ia boleh berharap. Jika saja ia adalah seseorang yang layak berada di sebelah Sheila, tentu ia ingin sekali mewujudkan harapan Pak Banta. "Bapak tidak usah khawatir. Kata ustadz saya, jodoh seseorang itu cermin