POV Abi."Mas, kamu jangan diam saja. Kamu bilang ke Mbak Hanin supaya dia yang membayar hutang kamu biar barang-barang kita nggak dibawa!" teriak Elfira sambil mengejarku, akan tetapi aku memilih diam, memijat kening yang mendadak berdenyut nyeri.Sejenak kupejamkan mata, mencoba untuk tetap tegar menghadapi segala dera dan coba.Aku yang salah karena sudah berani bermain api. Telah melakukan dosa besar yang mungkin tidak akan pernah diampuni, bahkan gara-gara hubungan terlarang yang kulakukan akhirnya harus terlilit hutang dimana-mana.Bukan karena pandemi melanda restoran sering kekurangan modal, tetapi uang yang aku dapat terlalu sering dialokasikan ke Elfira, untuk melakukan hal-hal yang bersangkutan dengan dosa sehingga Allah mungkin merasa murka dan memberikan teguran dengan cara membuat restoran yang aku kelola menjadi sepi pengunjung dan hampir kehabisan modal.Hingga akhirnya terpaksa menebalkan wajah, meminjam uang kepada teman-teman dengan alasan restoran sepi setelah pand
[Mas, sebelum berangkat ke restoran bisa mampir sebentar nggak? Soalnya Sabrina hari ini sudah diperbolehkan pulang, sebab keadaannya sudah mulai membaik.]Pagi-pagi sekali, saat pertama membuka ponsel terlihat Elfira mengirimkan pesan kepadaku.Aku menoleh ke arah Hanina yang sedang merapikan pakain salat, lalu menunjukkan pesan itu kepadanya."Kenapa selalu kirim pesannya ke Ayah sih? Kan bisa ke Bunda biar sama-sama enak. Apa dia nggak ngerti perasaan Bunda itu seperti apa? Seharusnya sebagai sesama wanita dia tahu dong?!" protesnya, padahal biasanya apa pun yang aku lakukan dia tidak akan pernah berkomentar, tetapi aku maklumi karena mungkin dia cemburu melihatku bersama Elfira."Yasudah kalau begitu kita jemput Sabrina bareng-bareng, soalnya mereka itu sudah diamanahkan ke Ayah!" ajakku kemudian."Oke, Bunda setuju."Semenjak saat itu Elfira sering sekali meminta bantuan tanpa kenal waktu, bahkan terkadang di tengah malam pun tidak jarang memintaku untuk datang, ketika Sabrina me
"Mas, kok malah bengong di sini. Ayo, kejar Mbak Hanin dan minta hak kita ke dia!" teriak Elfira membuyarkan lamunanku, apalagi dengan kasar ia menarik baju yang sedang aku pakai hingga terhuyung dan hampir saja terjerembap kalau tidak bisa menyeimbangkan diri."Kamu apa-apaan sih? Kenapa kasar banget? Kamu itu beda dari Hanin. Dia itu lemah lembut, baik, penurut, nggak kebanyakan nuntut kaya kamu!" protesku sambil menyingkirkan tangannya, merasa kesal luar biasa."Terus saja bandingin aku sama Mbak Hanin. Ya jelas kami berbeda!"Aku mendengkus, hendak kembali masuk ke dalam kamar namun Elfira kembali mencegah, menarik kaos yang melekat di badan hingga terdengar suara robekan."Kamu maunya apa hah?! Kenapa senang sekali membuat hidup Hanina menderita? Memangnya dia salah apa ke kamu, sampai sebenci itu terhadap dia, padahal selama ini dia itu selalu baik ke kamu dan Sabrina. Kamu sudah menghancurkan rumah tangga kami, dan sekarang masih saja banya
Perangai Elfira memang sangat berbeda dengan Hanina. Dia mudah sekali marah, tidak jarang juga berani berbuat kasar kepadaku maupun Sabrina, apalagi jika keinginannya tidak terpenuhi.Tidak seperti Hanina yang selalu menghormati aku, tidak pernah berkata dengan nada lebih tinggi, ketika marah akan memperbanyak istighfar sehingga anak-anak tidak menjadi korban juga pelampiasan.Ya Allah, ternyata memang benar kata Rendi. Nafsu telah menghancurkan segalanya. Imanku yang lemah telah membuat pernikahan pertamaku berada di ujung kehancuran, dan aku terancam kehilangan berlian karena berani menceburkan diri ke lumpur berisi kerikil nan tajam.Beranjak dari kursi, berniat langsung berangkat ke restoran tanpa terlebih dahulu menyantap sarapan yang sudah disiapkan, karena nafsu makanku hilang seketika jika hati tiba-tiba merindukan Hanina.Dosakah aku jika masih mencintai dia dan terus berharap bisa terus bersama, Tuhan? Sebab sejujurnya aku tidak sanggup
Acara walimatul aqiqah selesai tepat jam sembilan malam. Para tamu undangan satu persatu perlahan mulai pergi, tinggal kerabat terdekat saja yang masih duduk bercengkrama di teras rumah Zarina. Sambil mengumpulkan keberanian juga menebalkan wajah berjalan masuk ke rumah anak menantuku, menatap Hanina yang sedang duduk memangku cucu kami sambil mengajak bicara bayi berusia sepuluh hari itu.Bayangkan beberapa tahun silam kembali terangkai dalam otak, ketika Hanina baru saja melahirkan anak pertama kami. Senyum tidak henti-hentinya terkembang di bibir, ucap syukur terus saja diucapkan oleh istriku karena apa yang selalu ia impikan telah menjadi kenyataan, yaitu menjadi seorang ibu.Sekarang semuanya tinggal kenangan. Kebahagiaan yang selalu menyelimuti hari perlahan mulai terurai, berganti dengan air mata kecewa karena pengkhianatan yang aku lakukan."Bun?" Memanggil Hanina pelan, dan semua orang yang ada di dalam ruangan segera menoleh menatapku.
Deru mesin mobil membawa orang-orang yang aku cintai pergi kian menjauh, meninggalkan luka di dinding dada. Luka yang kubuat atas sikap bodoh yang telah aku lakukan selama ini.Zafran terlihat memegang kemudi, seolah ingin menunjukkan bahwa dia bisa menjadi pengganti diriku untuk melindungi ibu serta adiknya. Sementara Zafir, dia yang paling dekat denganku, aku pikir ia akan menoleh dan berbalik arah untuk memelukku, namun ternyata remaja berusia delapan belas tahun itu tetap masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan tatapan mengibaku.“Sabar!” Rendi berkata seraya berjalan menghampiri, mengusap bahuku sambil tersenyum prihatin.Tidak lama kemudian Revan berjalan ke arahku. Sungguh malu rasanya diri ini kala bersitatap dengan menantu, apalagi sekarang dia sudah tahu kelakuan buruk ayah mertua yang selalu dihormati juga disegani.Runtuh sudah harga diri yang kumiliki. Aku merasa tidak ubahnya seperti sampah saat ini, yang tidak ada harganya di mata s
“Terus sekarang saya harus bagaimana, Ren?”“Bertobat, itu yang wajib kamu lakukan. Perbaiki hubungan dengan anak-anak, buktikan ke mereka kalau kamu itu benar-benar bisa berubah.”“Saya sudah berusaha melakukannya, Ren. Tetapi mereka tetap tidak bisa menerima saya!”“Bukannya tidak bisa, tetapi belum mau menerima. Kamu minta sama Allah supaya mengembalikan mereka ke kamu, insya Allah kalau kamu memohonnya dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengabulkan. Bukannya Allah itu Maha membolak-balikkan hati seseorang, Bi?”“Apa kamu bisa membantu saya untuk kembali mendekati Hanina? Sebab saya takut dia nekat mendaftarkan perceraian kami di pengadilan agama.”“Saya tidak bisa sering-sering berinteraksi dengan Mbak Hanin, takut jatuh cinta! Kamu tahu kan, wanita salihah seperti dia itu mudah sekali untuk dicintai?”Spontan aku menoleh menatap ke arah Rendi, dan sepertinya jawaban darinya bukan hanya sekedar candaan belaka.A
"Mas Abi yang sabar ya?" Elfira berkata seraya menghampiri lalu melingkarkan tangannya di pinggang.Aku terus meremas kertas tersebut, menangis tersedu karena merasa benar-benar telah gagal memperjuangkan pernikahanku dengan Hanina, tanpa memedulikan perasaan Elfira. Lagian dia tahu kalau aku tidak mencintainya, bersedia menikahi dia pun karena sudah terdesak sebab Pak RT terus memaksa dan mengancam akan memenjarakan aku jika terus menolak menikah dengan Elfira."Sabar, Mas. Mas Abi nggak harus menangis seperti ini, karena masih ada aku dan calon anak kita. Aku yang akan setia mendampingi Mas Abi sampai kapan pun, dan aku juga yang akan menjadi istri Mas bagaimana pun keadaan kamu nanti!" ucapnya lagi, tanpa melepas pelukannya.Sementara aku, hanya bisa menangis meratapi nasib. Membayangkan jika nanti benar-benar hidup tanpa Hanina, apalagi jika anak-anak semakin membenci diriku.Ya Allah, ya Rabbi, rasanya begitu berat cobaan yang Engkau berikan.