Gavrielle POV
Renata mengambil sebuah buku dari box itu. Ia memperlihatkan itu padaku.
Jantungku jadi berdebar-debar. Renata memperlihatkan foto yang ada di figura mini saat ia SMK. Foto itiu mengingatkanku pada masa dimana kami dulu berkenalan. Renata sedang magang di percetakan milik salah satu cabang perusahaan Baskoro Company. Waktu itu, ia adalah siswi tercantik dan terpandai dengan segudang prestasi diangkatannya.
Kami berkenalan setelah aku pulang dari London. Setelah lulus S1, aku pulang kembali ke Indonesia. Aku tak menyangka bisa berkenalan dengannya waktu itu. Di luar negeri aku biasa bergaul dengan teman-teman wanitaku yang notabene mahasiswi luar negeri spek kutilang. Kurus, tinggi, langsing. Tapi kecantikan alami Renata kerap kali di bicarakan banyak karyawan kantor, terutama karyawan pria.
Aku jadi ikut penasaran, meski awalnya aku bersikap masa bodoh dengan berita yang trending di kantor tentang Renata. Ia adalah idola karyaw
Gavrielle POVSelama dua tahun aku mencari Renata, ia meninggalkanku dengan nelangsa. Aku sudah berusaha menyelamatkannya malam itu. Namun, Renata justru tetap bersamaku. Aku ingin menyelamatkannya, namun justru aku menghancurkan hidupnya.Papa memintaku kembali ke London untuk mengambil Master. Padahal, aku sangat ingin bertemu dengannya kembali. Aku tak menemukan jejaknya sama sekali. Kutinggalkan Jakarta, hidup kembali ke London. Penyesalanku berujung menjadi boomerang, kuhabiskan waktu setelah kuliah ke club malam. Teman-teman kuliahku tak jarang mengajakku untuk menghabiskan waktu di club malam juga bermain balap mobil.Setiap kali kuingat wajah Renata, justru ulu hatiku terasa begitu nyeri dan sangat sakit. Aku meminta tolong pada asisten papa untuk tetap mencarinya. Bertahun-tahun lamanya. Banyak gadis kukencani, banyak hati kupatahkan karena frustasiku kehilangannya. Imbas dari semuanya, aku hampir overdosis
Melihat Paman Abdul melankolis, akhirnya ku letakkan anakku ke stroller.”Paman Abdul?”“Sya-ron……..” Paman Abdul memekik. Ia memegang dadanya. Ia menarik nafas tersengal. Lalu seketika tak sadarkan diri.Papa panik melihat hal itu. Ku dorong stroller anakku ke samping. Kudekati Paman Abdul, ku lepaskan dua kancing kemejanya lalu kulepas jasnya.“Telf rumah sakit kita Pah!”Papa ikutan panik, ia meraih ponselnya. Meski gugup, papa menekan nomor ambulance yang selalu siaga untuk Keluarga Baskoro. Keadaan berubah seketika. Wajah mama berubah pucat pasi, Meira menangis. Dito dengan sigap memberi kode padaku untuk mengangkat tubuh Paman Abdul. Renata sigap menjauhkan anak-anak ke kamar.“Ambulance kenapa lama?” Gerutu Dito.Kami mengangkat tubuh Paman Abdul. Papa berlari kedepan untuk membuka gerbang. Sementara itu dua bodyguard sudah membuka pintu mobil. Mereka
Gavrielle POVAku justru mengelus dada. Darimana Renata tahu kalau coffeeshop ini ada fasilitas model beginiannya. Ibarat kata ini president suite sebuah kamar hotel. Dan ruangan di lantai tiga ini mirip kamar hotel, atau tempat spesial di bar buat ena-ena.“Kita check out saja, Ren.”Kuraih tangan isteriku. Entah mengapa kok aku benar-benar merasa tidak nyaman.Ia justru terlihat muram dan menggelengkan kepalanya.“Mas, ini punyaku lho?”Katanya dengan membawa selembar leaflet bertuliskan Coffeshop R& G. Ia memapangnya jelas di depan mataku.“Maksudnya?”Renata berjalan. Ia membuka tirai dengan remote. Semburat cahaya matahari sore pun terlihat jelas. Ia membuka penutup kain di lukisan dinding yang ada di samping sofa tempat kami duduk.Mataku begitu terpaku. Sebuah lukisan, tak kusangka itu foto saat aku menimang Arsen. Fotoku saat kami ada di Si
Mata kami membelalak begitu melihat sosok yang memanggil Renata adalah Frederico. Ia sedang bersama beberapa orang. Kukira mereka tidak tahu identitas asli isteriku yang notabenenya dipanggil Syaqiella.Renata menggenggam jemariku. Ia pun merapat ke tubuhku. Tanganku sigap untuk meraih pinggangnya, Renata terkesiap.Frederico terlihat kecut saat melihat Renata bermanja padaku. Sementara tiga orang dibelakangnya menatap intens ke arah isteriku.“Frederico, tumben tidak meeting di lounge atau privete room?” Sapaku.Aku mengulurkan tangan kananku sementara tangan kiriku tetap memegang bahu Renata. Kurang etis. Biarkan saja. Aku tidak ingin isteriku merasa tidak nyaman, apalagi atas kekurangajaran pria yang sudah hampir melecehkan isteriku.Terpaksa, aku menepi. Kami duduk di lobi. Orang-orang di belakang Frederico pun memilih duduk di tempat sama. Kebetulan lobi caffee sangatlah luas, bisa dibilang
Gavrielle POVRupanya dia dendam kesumat padaku. Si pecundang Frederico mau membuat ulah lagi. Ia sengaja keluar memancingku. Benar kulihat wajahnya lumayan pucat. Bagiku memberinya pukulan telak tanpa harus repot-repot menonjok wajahnya jauh lebih menyenangkan.“Ada yang ketinggalan, Fred?” Tanyaku pura-pura.Frederico mematung begitu melihat wajah Arsen. Tentunya wajah putraku adalah foto copyan dari wajahku juga mamanya yang glowing dan semakin hari semakin cantik dan menarik.“Aku lupa membayar bill tadi. Gavin memberitahuku kalau ia langsung pergi begitu juga Indra dan Anton.” Frederico menelisik wajah Arsen.“Hai, Om Fred. Mau kenalan?” Kupegang tangan Arsen, menuntun tangan putraku itu untuk menerima amplop yang di berikan Frederico.“Oh…..hai.” Jawab Frederico dengan suara bergetar.Driver Frederico setia menemani. Pria berumur dan
Renata POVSebetulnya pagi ini aku ingin pergi ke caffee, ralat bukan caffee tapi kedai tehku. Aku ingat kejadian kemarin di kedaiku sangat menggelikan, tapi juga mengharukan. Setelah kami bersama kembali, sikap Mas Gavrielle yang awalnya kukira pura-pura memang berubah. Di hadapan mata dan kepalaku memang sikapnya apa adanya. Honestly, aku bahagia dan bersyukur sekali.Rasa takut memang kadang masih juga menggelayuti hatiku, mengingat banyak peristiwa buruk yang telah terjadi. Dua kali aku berpisah dari Mas Gavrielle, pria yang dulu begitu menjaga dan menyayangiku.Pria tampanku, begitu banyak wanita yang memujanya. Entahlah apa yang membuatnya memilihku selain katanya wajahku yang Chineese-blasteran Amerika juga bentuk tubuhku yang katanya proporsional. Dia bisa meninggalkanku dan mencari yang lain saat aku meninggalkannya ke Singapura sih. Well, bisa saja. Namun, ia masih mencariku. Apakah perkara anak? Maybe yes, maybe
Mas Gavrielle masih saja bersikap tenang, mungkin aku yang terlalu sensitive. Belakangan setelah aku ganti kontrasepsi badanku jadi kurang nyaman ditambah lagi Pak Abdulloh Yousuf masuk rumah sakit. Mas Gavrielle berdiri dari kursi lalu meraih tubhku, memelukku dari belakang.”“Kamu ini kenapa? Dulu kamu sudah pernah hidup sendiri bersama anak-anak kadang baby sitter juga nggak masuk atau ada acara. Dan kamu fine-fine aja, Ren.”“Kamu nggak mau ngantor atau terlalu antusias ngantor sih, Sayang?” Mas Gavrielle menghapus air mataku dengan ibu jarinya.“Sayang…… anak-anak sama mama dan papa. Tadi pagi Simbok udah lapor kenapa kamu panik!”Aku jadi malu sendiri, benar kata suamiku. Ada apa denganku? Apakah aku terlalu sibuk di rumah? Aku terlalu stress atau aku kurang kesibukan yang produktif.“Sini dong Yang.” Mas Gavrielle menyuapkan Ayam ke mulutku. Ia membersihkan
Renata POVSuamiku berdiri menyambutku, ia meraih tanganku lalu menungguku duduk. Ia duduk disampingku. Aura ruangan mendadak begitu mencekam, aku biasa menghadapi situasi sulit, namun keadaan yang terjadi pagi ini begitu berbeda. Bahkan saat aku mengalami kecelakaan di Singapura aku tak setakut ini.“Mr. Kenzo Matsuyama perkenalkan ini istri saya, Renata Baskoro.”Belum-belum pria berumur ini sudah menyunggingkan senyum meremehkan. Ia tersenyum kecut setelah Mas Gavrielle memperkenalkanku. Belum pernah kutemui pria yang seusia dengan kakekku tapi sikapnya begitu arogan plus semaunya sendiri.“Senang berkenalan dengan Anda Mr. Matsuyama.”“Ternyata benar ya kata orang, Anda benar-benar cantik Nyonya Gavrielle Baskoro.” Ucapan Mr. Matsuyama membuat perutku mual.Si tua itu sungguh tak tau etika atau memang begitu caranya berinteraksi dengan kolega bisnisnya. Beruntunglah Mas Gavrie