"Ini kartu identitas kami, Mbak. Silakan diperiksa.""Itu bisa saja palsu." Suara Kak Ratna masih terdengar gigih. Sementara aku sudah merosot ke lantai. Gemetar dari ujung kepala sampai kaki."Ini surat kehilangan, ini identitas kami, dan ini foto wanita yang kami cari."Hening. Seantero ruangan menjadi hening ketika Kak Ratna terlihat menerima ponsel seseorang dan melihat ke layar. Wajahnya berubah tegang, membuat aku yakin jika yang dilihatnya benar-benar fotoku."Kami hanya ingin mengonfirmasi saja, Mbak. Tolong kerja samanya.""Dan jika dia orangnya, apa yang akan kalian lakukan?" Suara Kak Ratna terdengar begitu tajam, tapi aku merasakan semua sendiku telah lepas dari tulang."Kami tidak akan melakukan kriminal, Mbak. Hanya akan membawa beliau pulang dengan jaminan keselamatan penuh. Kami akan mengantarkan beliau pada keluarganya.""Oh. Pulang dengan jaminan keselamatan penuh." Kak Ratna manggut-manggut.
Selesai memeriksaku, Bidan Agni duduk di dekat ranjang bersama Kak Ratna. Sementara Riang berdiri di dekat jendela seraya menggendong Rinai."Kamu mau menceritakan apa yang menjadi ketakutanmu? Mengatakan semua ketakutan dan pikiran-pikiranmu akan membantumu lebih baik." Bidan Agni menatapku dengan sorot prihatin."Mungkin berupa pertanyaan, atau unek-unek, atau rencanamu ke depan, dan sebagainya." Awalnya aku kehilangan kata untuk memulai. Masih menimbang-nimbang, tidak ingin mereka tahu masalahku. Namun, sepertinya aku tidak bisa menyembunyikannya lagi."Kakak masih mikirin orang-orang tadi, ya?" tanya Riang. "Tenang saja, kami gak akan biarkan mereka membawa paksa Kakak dari sini." Dia mulai menghiburku setelah sejak kepergian para lelaki itu aku hanya bungkam dengan raut pucat."Ya. Tenang saja, Hara. Ari berpesan agar kami menjagamu dengan baik, jadi kami pasti akan lakukan itu." Kak Ratna ikut menimpali."Tapi ..
"Kenapa sudah duduk aja, Kak?" Suara Riang terdengar dari balik selimut. Dia bergelung seperti bola. "Masih pagi sekali. Azan Subuh belum lagi terdengar."Kukira aku tertidur di jam lima, tapi sepertinya jam empat. Karena setelah sempat terpejam nyatanya belum masuk waktu Subuh. Entahlah, tak ada guna juga jam berapa dan berapa menit aku tidur, toh endingnya sering seperti ini. Bangun tiba-tiba sementara orang lain masih asyik tidur."Maaf kalau kakak ganggu kamu, ya," ucapku pelan. Sejak pertama tinggal di sini, kami memang sekamar karena di sini cuma ada dua kamar. Satu milik Kak Ratna, satu lagi Riang. Awalnya gadis itu sungkan karena ingin memberikanku privasi, tapi aku memaksanya dan ikut tidur di luar jika dia tak mau di dalam kamar. Riang setuju dan terlihat baik-baik saja. Bahkan seringkali menjelang tidur, kami bercerita-cerita. Membicarakan hal-hal ringan dan sebagainya."Enggak. Aku memang sudah terbangun juga dari tadi. Dingin banget.
Cepat-cepat aku mengucap menyadari pikiranku barusan, lalu segera beranjak ke kamar mandi. Langit masih kelabu dan begitu aku keluar dari kamar mandi yang terpisah dengan rumah utama itu sudah mulai terlihat terang di ufuk timur. Jika lewat dapur, hanya butuh beberapa langkah saja, tapi pagi yang syahdu ini aku mendadak ingin menikmati suasana dengan lewat ke halaman depan.Aku sejenak berhenti di halaman, dengan ember sabun masih terjinjing di tangan. Menghirup udara segar sambil menatap lautan. Pagi yang tenang dengan penerangan beberapa lampu dari teras rumah yang tidak terlalu dekat. Beberapa titik di kejauhan terlihat di atas perairan yang diam. Berkelap-kelip, mungkin itu kapal nelayan, atau motorboat trip pertama. Biasanya motorboat yang datang di Subuh seperti ini bermuatan para pedagang. Riang pernah bilang padaku.Lalu ingatanku kembali pada masalahku. Pada tiga lelaki yang sudah mengetahui keberadaanku. Lalu kecemasan datang, berharap Ari
"Aku tidak akan memaafkanmu. Aku akan membunuhmu jika anakku kenapa-napa," desisku tajam. Setelahnya air mataku yang mulai kering kembali merebak."Aku akan menerimanya. Aku akan menerimanya," tangisnya pecah. Aku memalingkan wajah. Berusaha agar air mataku tak terlihat olehnya. Aku lelah. Lelah sekali."Hara," sentuhan lembut terasa di pipiku. Kubuka mata dan wajah Kak Ratna terpampang di sana. Sedari tadi Kak Ratna hanya bersidekap tak jauh dari tempatku berbaring. "Jangan tidur, oke? Sebentar lagi kita sampai. Bertahanlah. Kamu pasti kuat."Aku mengangguk pelan. Tentu saja, aku harus bertahan apapun yang terjadi, agar bayiku juga bisa merasakan tekadku dan berjuang di dalam sana."Dan maaf, Mas. Tolong berhenti mengajaknya bicara. Mungkin itu bagus untuk membuatnya tetap terjaga, tapi sepertinya dia kurang nyaman dengan itu. Kondisinya bisa bertambah buruk nantinya."Aku tak melihat ekspresi dua orang yang membersam
Ari akhirnya datang, persis saat aku selesai makan dan minum obat. Kehadirannya serta merta mengangkat beban tak kasat mata yang menindih bahu dan kepalaku. Melihatnya, seolah menemukan oase dan memberikan rasa aman.Lalu pikiranku sempat melayang, jika saja masih ada orang tua, tentu aku tak akan setergantung ini pada Ari. Bagaimana jika suatu hari nanti, Ari pun meninggalkanku?"Kamu baik-baik saja, 'kan? Kenapa bisa begini?" Nada khawatir tak mampu disembunyikan Ari. Wajahnya berkeringat dan napasnya sedikit terengah. Mungkin dia menempuh jarak pelabuhan dan puskesmas yang lebih kurang tiga ratus meter dengan berlari."Aku baik-baik saja. Hanya schok dan .... kamu tahu, aku ketakutan melihatnya." Aku mungkin egois. Memberikan seluruh bebanku agar dipikul oleh Ari. Seharusnya pria yang tadi kuusir dari sini yang menanggungnya. Seandainya saja tidak ada drama seperti ini.Aku salah apa, ya, Tuhan?Kukira hidup gersang dan terte
"Kalian bicarakanlah yang terbaik, Hara. Walaupun Sananta sungguh-sungguh tak terlibat, aku tentu tak akan melepasmu begitu saja. Aku akan meminta Sananta benar-benar menjagamu. Terutama dari ayahnya.""Apa Kak Sananta akan percaya pada apa yang kukatakan? Nanti dia malah tersinggung dan menganggapku memfitnah ayahnya. Apalagi tak ada bukti apapun. Kalau saja aku memfoto sketsa itu, mungkin aku punya sesuatu. Sayang sekali aku lupa melakukannya.""Kurasa masalah kalian bukan lagi mengedepankan tersinggung atau tidak. Kepercayaan yang lebih penting. Tapi jika nanti memang semuanya terbukti, mungkin kamu akan perlu untuk mengambil keputusan yang lebih besar lagi.""Apa kamu menyuruhku berdamai dengan Kak Sananta?" "Aku hanya mencoba menyarankan yang terbaik menurutku, Hara. Bagaimanapun ikatan kalian bukanlah permainan, apalagi sekarang ada bayi di antara kalian. Semua yang mungkin, patut dicoba.""Rasanya aku masih tak sang
"Tidak, Mbak. Pak Bos bilang ini antara dia dan menantunya. Dan saya menghormati privasinya."Aku berusaha keras menyembunyikan keteganganku. Kata-kata Andreas memberitahuku bahwa dia tidak membocorkan apapun pada Kak Sananta. Apa yang ada dalam surat ini?"Tolong diterima, Mbak." Andreas mengangsurkan map berwarna cokelat itu. Aku terpaksa menerima dengan kaku."Saya permisi, Mbak."Aku mengangguk tipis bersama ketakutanku yang kembali merayap. Apa yang coba dikirimkan Tuan Saddil tanpa sepengetahuan Kak Sananta?Ancaman. Mana mungkin dia akan meminta maaf. Suara di kepalaku berbunyi sumbang.Aku kembali, maka perseteruan sebenarnya akan dimulai. Kurasa, Tuan Saddil mengirimkan serangan pendahuluan.Jika saja aku memberikan map ini pada Kak Sananta, dan biarkan dia yang membukanya. Kira-kira, apa yang akan terjadi?Tapi jika benar ini ancaman, tentunya pasti ada sebuah konsekuensi jika aku tidak menur