Ari akhirnya datang, persis saat aku selesai makan dan minum obat. Kehadirannya serta merta mengangkat beban tak kasat mata yang menindih bahu dan kepalaku. Melihatnya, seolah menemukan oase dan memberikan rasa aman.Lalu pikiranku sempat melayang, jika saja masih ada orang tua, tentu aku tak akan setergantung ini pada Ari. Bagaimana jika suatu hari nanti, Ari pun meninggalkanku?"Kamu baik-baik saja, 'kan? Kenapa bisa begini?" Nada khawatir tak mampu disembunyikan Ari. Wajahnya berkeringat dan napasnya sedikit terengah. Mungkin dia menempuh jarak pelabuhan dan puskesmas yang lebih kurang tiga ratus meter dengan berlari."Aku baik-baik saja. Hanya schok dan .... kamu tahu, aku ketakutan melihatnya." Aku mungkin egois. Memberikan seluruh bebanku agar dipikul oleh Ari. Seharusnya pria yang tadi kuusir dari sini yang menanggungnya. Seandainya saja tidak ada drama seperti ini.Aku salah apa, ya, Tuhan?Kukira hidup gersang dan terte
"Kalian bicarakanlah yang terbaik, Hara. Walaupun Sananta sungguh-sungguh tak terlibat, aku tentu tak akan melepasmu begitu saja. Aku akan meminta Sananta benar-benar menjagamu. Terutama dari ayahnya.""Apa Kak Sananta akan percaya pada apa yang kukatakan? Nanti dia malah tersinggung dan menganggapku memfitnah ayahnya. Apalagi tak ada bukti apapun. Kalau saja aku memfoto sketsa itu, mungkin aku punya sesuatu. Sayang sekali aku lupa melakukannya.""Kurasa masalah kalian bukan lagi mengedepankan tersinggung atau tidak. Kepercayaan yang lebih penting. Tapi jika nanti memang semuanya terbukti, mungkin kamu akan perlu untuk mengambil keputusan yang lebih besar lagi.""Apa kamu menyuruhku berdamai dengan Kak Sananta?" "Aku hanya mencoba menyarankan yang terbaik menurutku, Hara. Bagaimanapun ikatan kalian bukanlah permainan, apalagi sekarang ada bayi di antara kalian. Semua yang mungkin, patut dicoba.""Rasanya aku masih tak sang
"Tidak, Mbak. Pak Bos bilang ini antara dia dan menantunya. Dan saya menghormati privasinya."Aku berusaha keras menyembunyikan keteganganku. Kata-kata Andreas memberitahuku bahwa dia tidak membocorkan apapun pada Kak Sananta. Apa yang ada dalam surat ini?"Tolong diterima, Mbak." Andreas mengangsurkan map berwarna cokelat itu. Aku terpaksa menerima dengan kaku."Saya permisi, Mbak."Aku mengangguk tipis bersama ketakutanku yang kembali merayap. Apa yang coba dikirimkan Tuan Saddil tanpa sepengetahuan Kak Sananta?Ancaman. Mana mungkin dia akan meminta maaf. Suara di kepalaku berbunyi sumbang.Aku kembali, maka perseteruan sebenarnya akan dimulai. Kurasa, Tuan Saddil mengirimkan serangan pendahuluan.Jika saja aku memberikan map ini pada Kak Sananta, dan biarkan dia yang membukanya. Kira-kira, apa yang akan terjadi?Tapi jika benar ini ancaman, tentunya pasti ada sebuah konsekuensi jika aku tidak menur
Seminggu kemudian. Aku sudah berada di sini lagi, memandang sekeliling dengan seksama. Meja makan dengan hidangan lengkap. Lama tak berada di sini bukannya membuat aku rindu, tapi ketakutan yang sama kembali. Hanya saja, kali ini aku tak ada pilihan lagi."Aku minta maaf, Pa," ujarku pelan pada lelaki di ujung meja. Pertemuan pertama setelah menantunya membuat huru-hara. Jelas, ini bukan dari hatiku, tapi aku harus melakukannya."Tak apa. Aku mengerti. Dan ke depan jangan diulangi lagi." Matanya menyorot datar, tapi aku bisa merasakan ancaman di sana."Ya."Kak Sananta duduk di sampingku, lalu mengambilkan makanan ke piringku. Kemudian kami makan bersama seperti tiga bulan lalu. Aku tak berselera, tapi inilah lakon yang akan aku jalani entah sampai kapan.Tak ada pilihan kecuali mencoba kuat. Kuat dan bertahan dalam situasi ini. Sambil berdoa semoga Tuhan membalas semua yang terjadi padaku ini, suatu hari nanti.Kembali
"Selama itu?" tanyaku tak menyangka."Biasanya juga begitu. Bahkan ada yang lebih lama."Aku terdiam lagi. Tentu saja aku sudah menduga bahwa dengan posisinya sekarang Kak Sananta sering bepergian dan terjun ke lapangan sampai beberapa waktu. Namun, untuk LDR selama tiga bulan dalam keadaan hamil seperti ini, dengan kondisi kehamilan yang membutuhkan obat penguat secara berkala, dan dengan keadaanku yang ...."Lalu ... aku bagaimana?" Aku tak bisa menyembunyikan kengerian. Di rumah ini tanpa ada Kak Sananta? Aku merasa gentar."Aku pasti akan pulang saat kamu akan melahirkan nanti. Kita juga tetap bisa terhubung dengan ponsel.""Tak bisakah aku ikut? Tinggal di barak atau di mana juga tak apa." Ini terdengar konyol. Tapi memang kuakui kekuatanku kembali karena ada Kak Sananta di sisiku. "Tapi kamu sedang hamil, Sayang. Di sana pasti kurang nyaman, terutama untuk fasilitas kesehatan karena lokasinya jauh di pedalaman."D
Hatiku mencelos. Tak ada harapan Kak Sananta akan tahu perilaku papanya dalam waktu dekat. Bahkan sangat jelas jika Tuan Saddil tak memberi izin, maka aku harus tetap di sini. Kak Sananta tak akan melakukan apapun untuk melawan kehendak papanya.Wajar. Sangat wajar jika Kak Sananta pergi, maka ayahnya yang akan menjaga menantunya yang sedang hamil. Namun, itu jika keadaan normal, bukan seperti situasiku dengan Tuan Saddil.Aku sangat yakin, Tuan Saddil tidak akan memberikanku izin. Dia pasti sudah merencanakan hal lain lagi untuk memberikan tekanan padaku selama anaknya tak ada."Itu artinya aku akan tetap di sini, 'kan?" Aku gagal mencegah nada getir dalam suaraku. "Permintaanku sia-sia, 'kan?" Lalu air mataku meluncur begitu saja. "Hara, maksudku...." Kak Sananta tampak kelabakan saat aku menangis. Aku tak mencoba berpura-pura. Tangis ini adalah bentuk frustasiku yang ingin lepas dari jerat Tuan Saddil walau untuk sementara saja."Seha
Hari yang ditentukan itu tiba. Sehari sebelum Kak Sananta berangkat, dia mengantarku ke kampungku. Perjalanan darat selama lima jam lebih. Untunglah kandunganku sudah lebih kuat lagi daripada bulan kemarin, saat aku dibawa kembali dari pulau. Ketika itu, butuh dua hari barulah aku sampai di rumah, karena setiap kami transit, aku akan istirahat dulu.Perjalanan ini mengingatkanku pada Riang. Apa kabarnya gadis itu? Baru sebulan, tapi aku sudah merindukannya. Aku akan mengabarinya nanti, mengirim surat atau menelepon nomor telepon satelit koperasi pulau. Siapa tahu dia bisa menemaniku nanti.Masih kuingat wajah Tuan Saddil saat kami pamit. Datar dan tenang. Tak nampak riak di wajahnya sehingga aku kesulitan mengira-ngira reaksinya. Sejak kejadian itu, belum ada konfrontasi langsung kami. Dia bungkam seperti tak pernah melakukan apapun, begitupun aku yang meski selalu deg-degan, merasa lebih baik dia tak mengatakan sesuatu. Kami seolah menyimpan api dalam se
Aku yang semula sengaja menjaga jarak agar Mbak Mira tidak merasa dikintili kembali menoleh. Dia menyebut namaku dan menautkannya dengan kata curiga, itu sedikit mengusikku. Tapi kemudian segera tersenyum.Sepanjang hidup aku terbiasa melayani diri sendiri hingga lupa jika saat ini seseorang telah ditugaskan untuk melayaniku. Mungkin Mbak Mira takut untuk meminta izin keluar nantinya. Apakah pacarnya barusan menyuruhnya berbohong tapi Mbak Mira takut aku curiga?Pemikiran receh itu membuatku tersenyum semakin lebar. Bertepatan dengan itu, Mbak Mira menoleh dan menyadari keberadaanku di belakangnya."No ... Nona?" Dia terkejut.Benar-benar terkejut hingga ponsel yang semula di pegangnya nyaris tergelincir dari tangannya. Membuatku sempat melihat sekilas ke layarnya. Seperti dugaanku, itu seperti wajah seorang lelaki dengan kening licin."Maaf, Non ... saya ...." Dia terbata-bata berbicara. Wajahnya nampak pucat sementara tangannya sedikit