"Tidak, Mbak. Pak Bos bilang ini antara dia dan menantunya. Dan saya menghormati privasinya."Aku berusaha keras menyembunyikan keteganganku. Kata-kata Andreas memberitahuku bahwa dia tidak membocorkan apapun pada Kak Sananta. Apa yang ada dalam surat ini?"Tolong diterima, Mbak." Andreas mengangsurkan map berwarna cokelat itu. Aku terpaksa menerima dengan kaku."Saya permisi, Mbak."Aku mengangguk tipis bersama ketakutanku yang kembali merayap. Apa yang coba dikirimkan Tuan Saddil tanpa sepengetahuan Kak Sananta?Ancaman. Mana mungkin dia akan meminta maaf. Suara di kepalaku berbunyi sumbang.Aku kembali, maka perseteruan sebenarnya akan dimulai. Kurasa, Tuan Saddil mengirimkan serangan pendahuluan.Jika saja aku memberikan map ini pada Kak Sananta, dan biarkan dia yang membukanya. Kira-kira, apa yang akan terjadi?Tapi jika benar ini ancaman, tentunya pasti ada sebuah konsekuensi jika aku tidak menur
Seminggu kemudian. Aku sudah berada di sini lagi, memandang sekeliling dengan seksama. Meja makan dengan hidangan lengkap. Lama tak berada di sini bukannya membuat aku rindu, tapi ketakutan yang sama kembali. Hanya saja, kali ini aku tak ada pilihan lagi."Aku minta maaf, Pa," ujarku pelan pada lelaki di ujung meja. Pertemuan pertama setelah menantunya membuat huru-hara. Jelas, ini bukan dari hatiku, tapi aku harus melakukannya."Tak apa. Aku mengerti. Dan ke depan jangan diulangi lagi." Matanya menyorot datar, tapi aku bisa merasakan ancaman di sana."Ya."Kak Sananta duduk di sampingku, lalu mengambilkan makanan ke piringku. Kemudian kami makan bersama seperti tiga bulan lalu. Aku tak berselera, tapi inilah lakon yang akan aku jalani entah sampai kapan.Tak ada pilihan kecuali mencoba kuat. Kuat dan bertahan dalam situasi ini. Sambil berdoa semoga Tuhan membalas semua yang terjadi padaku ini, suatu hari nanti.Kembali
"Selama itu?" tanyaku tak menyangka."Biasanya juga begitu. Bahkan ada yang lebih lama."Aku terdiam lagi. Tentu saja aku sudah menduga bahwa dengan posisinya sekarang Kak Sananta sering bepergian dan terjun ke lapangan sampai beberapa waktu. Namun, untuk LDR selama tiga bulan dalam keadaan hamil seperti ini, dengan kondisi kehamilan yang membutuhkan obat penguat secara berkala, dan dengan keadaanku yang ...."Lalu ... aku bagaimana?" Aku tak bisa menyembunyikan kengerian. Di rumah ini tanpa ada Kak Sananta? Aku merasa gentar."Aku pasti akan pulang saat kamu akan melahirkan nanti. Kita juga tetap bisa terhubung dengan ponsel.""Tak bisakah aku ikut? Tinggal di barak atau di mana juga tak apa." Ini terdengar konyol. Tapi memang kuakui kekuatanku kembali karena ada Kak Sananta di sisiku. "Tapi kamu sedang hamil, Sayang. Di sana pasti kurang nyaman, terutama untuk fasilitas kesehatan karena lokasinya jauh di pedalaman."D
Hatiku mencelos. Tak ada harapan Kak Sananta akan tahu perilaku papanya dalam waktu dekat. Bahkan sangat jelas jika Tuan Saddil tak memberi izin, maka aku harus tetap di sini. Kak Sananta tak akan melakukan apapun untuk melawan kehendak papanya.Wajar. Sangat wajar jika Kak Sananta pergi, maka ayahnya yang akan menjaga menantunya yang sedang hamil. Namun, itu jika keadaan normal, bukan seperti situasiku dengan Tuan Saddil.Aku sangat yakin, Tuan Saddil tidak akan memberikanku izin. Dia pasti sudah merencanakan hal lain lagi untuk memberikan tekanan padaku selama anaknya tak ada."Itu artinya aku akan tetap di sini, 'kan?" Aku gagal mencegah nada getir dalam suaraku. "Permintaanku sia-sia, 'kan?" Lalu air mataku meluncur begitu saja. "Hara, maksudku...." Kak Sananta tampak kelabakan saat aku menangis. Aku tak mencoba berpura-pura. Tangis ini adalah bentuk frustasiku yang ingin lepas dari jerat Tuan Saddil walau untuk sementara saja."Seha
Hari yang ditentukan itu tiba. Sehari sebelum Kak Sananta berangkat, dia mengantarku ke kampungku. Perjalanan darat selama lima jam lebih. Untunglah kandunganku sudah lebih kuat lagi daripada bulan kemarin, saat aku dibawa kembali dari pulau. Ketika itu, butuh dua hari barulah aku sampai di rumah, karena setiap kami transit, aku akan istirahat dulu.Perjalanan ini mengingatkanku pada Riang. Apa kabarnya gadis itu? Baru sebulan, tapi aku sudah merindukannya. Aku akan mengabarinya nanti, mengirim surat atau menelepon nomor telepon satelit koperasi pulau. Siapa tahu dia bisa menemaniku nanti.Masih kuingat wajah Tuan Saddil saat kami pamit. Datar dan tenang. Tak nampak riak di wajahnya sehingga aku kesulitan mengira-ngira reaksinya. Sejak kejadian itu, belum ada konfrontasi langsung kami. Dia bungkam seperti tak pernah melakukan apapun, begitupun aku yang meski selalu deg-degan, merasa lebih baik dia tak mengatakan sesuatu. Kami seolah menyimpan api dalam se
Aku yang semula sengaja menjaga jarak agar Mbak Mira tidak merasa dikintili kembali menoleh. Dia menyebut namaku dan menautkannya dengan kata curiga, itu sedikit mengusikku. Tapi kemudian segera tersenyum.Sepanjang hidup aku terbiasa melayani diri sendiri hingga lupa jika saat ini seseorang telah ditugaskan untuk melayaniku. Mungkin Mbak Mira takut untuk meminta izin keluar nantinya. Apakah pacarnya barusan menyuruhnya berbohong tapi Mbak Mira takut aku curiga?Pemikiran receh itu membuatku tersenyum semakin lebar. Bertepatan dengan itu, Mbak Mira menoleh dan menyadari keberadaanku di belakangnya."No ... Nona?" Dia terkejut.Benar-benar terkejut hingga ponsel yang semula di pegangnya nyaris tergelincir dari tangannya. Membuatku sempat melihat sekilas ke layarnya. Seperti dugaanku, itu seperti wajah seorang lelaki dengan kening licin."Maaf, Non ... saya ...." Dia terbata-bata berbicara. Wajahnya nampak pucat sementara tangannya sedikit
Di hari Andreas menyerahkan map padaku, di situlah aku menyadari telah melakukan kesalahan besar untuk ke dua kalinya. Kesalahan yang dari awal sempat terlintas, tapi karena merasa buntu, aku berharap penuh itu tak akan terjadi.Namun, ternyata, dalam hidup ini tak boleh ada celah apalagi dengan bersandar pada harapan. Seharusnya hari itu aku pergi sendiri, mencari dengan bantuan google map atau apa saja, sebuah kota atau pulau terpencil yang jauh dari jangkauan, kalau perlu ke luar negeri sekalian. Bukannya malah meminta Ari membantuku dan kini dia menjadi senjata dari Tuan Saddil untukku.Jika aku bicara pada Kak Sananta, maka Ari yang harus membayarnya.Maka sejak hari itu, kukemasi lagi hati dan pikiranku. Rasa sayangku pada Ari, mungkin sama besarnya dengan bayi yang ada dalam kandunganku ini. Dia harus menderita hanya karena membantuku, aku sungguh tidak ingin itu terjadi. Sehingga meluncurlah semua cerita palsu itu, meski harus menghindar dari Ari.
Udara yang berembus dari jendela kaca terasa lebih dingin. Aku membuka mata dan segera memejamkannya kembali. Cahaya menyerbu pupilku, dan getaran pelan mengingatkanku bahwa saat ini masih dalam di dalam mobil."Sudah bangun saja?" Sapaan Kak Sananta terdengar. Dia masih fokus mengemudi di sebelahku.Tak tahu berapa lama aku tertidur. Kak Sananta memperbaiki posisi bangku yang tadinya kupakai tidur ke setelan semula. Saat sudah melihat sekeliling, aku sangat senang."Wah, sudah hampir sampai."Batang-batang karet di sisi kiri dan kanan jalan memberiku pertanda bahwa kami sudah masuk ke jalan perkampunganku. Tak sampai sepuluh kilometer lagi aku akan sampai di rumahku. Pantaslah udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Matahari juga sudah jauh condong ke barat. Daun-daun karet yang banyak berserakan di sepanjang jalan memberikan sensasi damai setiap kali pulang.Namun, itu hanya bertahan sebentar.Ketika kenyataan