Nenek Kanti termangu. Kini yang ada di pikiran wanita sepuh itu, di mana cucunya. Nenek Kanti menatap Agus menyelidik."Jadi, Nur pergi dari rumah karena perempuan itu lagi, Gus?" cecarnya.Agus tidak membenarkan atau pun menyalahkan. Memang, salah satu faktor kepergian sang istri karena kedatangan Bella. Juga perlakuan Bella padanya. Akan tetapi, yang membuat Nur begitu sakit hati karena perlakuannya pada istrinya itu."Nuraini pamit ke sini, Mbah. Nah, pas turun dari kamar kebetulan Bella datang. Bella berkata yang nggak-nggak sehingga membuat Nur salah paham," terangnya jujur.Tatapan Nenek Kanti berubah tajam. Dia menggeleng samar sambil sesekali menarik napas panjang. Agus tidak berani membalas pandangan wanita itu."Aku pamit, Mbah. Mau cari Nur, tadi dia ke makam Banu," ucap Agus lagi sembari bangkit.Nenek Kanti mengangguk samar dan mengantar Agus sampai ke teras. Dia juga bingung harus mencari Nur ke mana. *Agus berputar-putar di jalanan kota sambil melirik kanan kiri jalan
"Mas, aku mau ke rumah Nenek," ucap Nur lirih.Agus memejamkan mata sejenak lalu dengan tidak ikhlas mengangguk samar. Agustus menyunggingkan senyum ketika Alfa mendongak dan menepuk-nepuk dagunya.Laki-laki itu mencium kening Alfa yang begitu menggemaskan. Dia juga berharap pernikahannya dengan Nur segera dikaruniai anak supaya istrinya itu tidak ada alasan meninggalkannya.Nur menatap Alfa sembari mengulas senyum samar. Rasanya, ingin sekali berada di titik itu. Bahagia bersama anak dan suami. Nuraini sudah tidak lagi mengejar cita-citanya. Saat ini dia hanya fokus ingin memperbaiki hubungannya dengan Agus. Namun, apakah itu mungkin jika lelaki itu tidak pernah mencintainya? Tanpa sadar Nur menarik napas kasar.Agus mengalihkan perhatian dari Alfa. "Di rumah Mbah jangan lama-lama ya, Nur," pintanya memelas."Sampai aku bisa memutuskan, Mas," jawab Nur dengan suara lirih.Agus mengerutkan kening. "Memutuskan?" ulangnya. "Memutuskan apa, nggak ada keputusan apa pun yang harus kamu am
"Memang itu keinginan awal aku, kan Mas? Aku ingin menginap di sini beberapa hari. Tolong mengertilah," ucap Nur lirih.Agus mengangguk pelan kemudian memejamkan matanya. Dia mengusap pelan pipi Nur dan mengecup bibir sang istri sekilas."Ya sudah, aku izinkan. Tapi jangan lama-lama. Apa kata orang kalau tahu baru nikah sudah berpisah? Mereka akan membicarakan kita, Nur," ujar Agus lirih."Aku paham, Mas. Terima kasih ya.""Hm, ya sudah, kita tidur, besok pagi-pagi bangunkan aku ya, Nur," pinta laki-laki itu sambil mengeratkan pelukan pada tubuh istrinya.Nuraini mengangguk. Dia menatap wajah tampan Agus. Kedua mata lelaki itu terpejam bersamaan dengan tarikan napas hangatnya yang teratur.Wanita itu membalikkan tubuhnya. Merasakan pergerakan dari sang istri, refleks Agus memeluk posesif tubuh polos istrinya."Jangan tinggalkan aku," bisik laki-laki itu sambil mencium kepala Nuraini. Nur tidak menjawab, dia menggigit bibirnya menahan isak tangis. Hatinya kembali dilema. Satu sisi hat
"Ih, Mas, kenapa harus ngomong gitu sih, di dekat Nenek? Kan malu aku, Mas?" Agus melirik istrinya dari spion kemudian tersenyum tanpa merasa bersalah. Dia justru menarik tangan Nur untuk melingkari perutnya."Pegangan, Nur."Nur langsung cemberut dan memalingkan wajah ketika lagi-lagi Agus meliriknya melalui spion. "Memangnya, malu kenapa? Kan, kita sudah sah. Satu desa juga tahu kalau Nuraini Laila itu istrinya Agustus Setiadji.""Ya, malu. Kenapa harus bilang keramas segala? Nur jadi ditanya-tanya sama Nenek.""Oh, ya? Tanya apa? Tapi nggak tanya urusan tempat tidur, kan?" "Ya, nggak lah!" sahut Nur cepat. Dia menepuk paha Agus ketika laki-laki itu dengan sengaja melewati jalanan yang tergenang air. Agus tertawa melihat wajah cemberut Nuraini. "Ih, Mas, ah! Basah nih kakiku!""Ya, sudah, nanti mampir ke rumah, kita mandi bareng. Gimana?" "Nggak!" Agustus kembali tertawa. Laki-laki itu memelankan laju motornya karena jalanan di area persawahan memang tidak rata dan terbuat da
"Mm-mas Agus?" Nuraini langsung melongok ke sumber suara. Agus menaikkan sebelah alis melihat keterkejutan istrinya itu. Nur kembali melongok, kali ini ke teras warung. Mencari keberadaan mobil Agus. Rupanya, laki-laki itu mengendarai motor bebeknya."Cari apa?" tanya Agus sembari bangkit. Dia mendekati sang istri dan mengusap kepala wanita itu. "Kaget aku datang lagi? Ada yang naksir tuh," sindirnya setengah berbisik.Nuraini menunduk dalam tak berani membalas tatapan dingin suaminya. Agus membuat teh sendiri dan kembali duduk ke tempat semula. Dia menatap keempat pemuda yang merupakan teman sekolah Nur. Keempatnya asyik memperhatikan handphone sambil sesekali tertawa."Ndik, ini kopimu," ucap Nur lirih. Andik langsung mendongak dan tersenyum semanis mungkin pada gadis incarannya itu. Melihat hal tersebut, Agus menggeleng samar. Hal tersebut tak disadari oleh Andik yang masih asyik karena memandangi Nur."Ehem," Agus berdehem, memancing keempat pemuda itu menatapnya sekilas, namun
"Ha ha ha, nggak nyangka aku bisa jatuh cinta secepat ini dengan anak kecil," kekeh Agus sambil mengusap-usap bahu istrinya.Nuraini mendelik dan mencubit perut rata suaminya. "Enak saja bilang kecil." Nur cemberut, dia sedikit mengangkat wajahnya. "Mas beneran cinta sama aku? Nggak cuma buat menghibur aku?" lanjutnya sangsi.Agus menatap manik hitam itu. Dia mengusap pelan wajah lembab sang istri. Nur yang merasa salah bertanya, langsung menunduk dan menyembunyikan wajah di lengan atas suaminya. Namun, Agus kembali mendongakkan wajah sang istri. Kedua pasang mata itu kembali beradu."Aku nggak bisa nggombal Nur. Aku nggak bisa membohongi diriku sendiri. Kalau aku nggak cinta, ya aku akan bilang seperti awal kita menikah itu."Nur mengangguk mengerti. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Agus. Agustus membalasnya dan sesaat mereka larut dalam ciuman. Nur memutus tautan bibirnya lebih dahulu dan tersenyum malu-malu."Lalu, apa enaknya melakukan hubungan tanpa cinta? Apa memang la
"Pokoknya, Mas Agus jangan tidur di sini, ngeselin banget!"Agustus terkekeh. Bukannya beranjak, dia justru memeluk erat tubuh istrinya. Agus menempelkan wajah di bahu Nur dengan mata terpejam. Lengannya melingkari perut Nuraini sembari mengusapnya."Nggak usah nggrayang tuh tangan," sungut Nur kesal. "Iya, nggak nggrayang. Cuma gini kok," bisik Agus malah memasukkan telapak tangan ke baju istrinya. "Mau dengar lanjutan ucapan aku nggak, istri kecilku?" goda Agus lirih.Nuraini semakin jengkel dikatakan "istri kecil" walaupun kenyataannya memang masih kecil di mata Agus. Nuraini membalikkan badan menghadap ke arah suaminya."Kenapa Mas Agus selalu meremehkan aku? Aku itu hampir sembilan belas tahun, Mas," protesnya."Dan aku hampir tiga puluh tahun, Nur. Ayo kita cepat punya anak, Nur," ajaknya tanpa beban.Nuraini mendelik. "Mas, anak itu bukan kita yang atur, tapi Allah. Gimana sih?""Makanya itu, kita harus sering-sering bikinnya. Biar cepat dikasih, Sayang."Nur mencibir. Dia men
"Mana ada do'a rahasia suami, Mas? Namanya suami istri itu nggak ada rahasia-rahasiaan," protes Nur.Agus tertawa lirih. Dia sudah berusia 29 tahun. Semua hal sudah dia miliki. Istri yang dia cintai dan mencintainya. Tinggal satu keinginan Agus, yaitu memiliki buah hati dalam pernikahan mereka."Aamiin." Agus mengusap wajah dan tersenyum pada istrinya. "Semoga Allah segera memberikan kita anak-anak ya, Sayang," ucapnya lirih.Nuraini mengangguk mengamini. Selanjutnya, kedua orang itu telah larut dalam kenikmatan yang halal. Nuraini menatap langit-langit kamar berwarna putih bersih itu dengan senyum tersungging di bibirnya."Kenapa kamu senyum-senyum, begitu?" tanya Agus sambil mengusap pipi lembab istrinya."Rahasia istri, Mas," jawabnya menggoda, lalu menenggelamkan diri dalam pelukan sang suami.*Puncak KuikKesibukan para alumni siswa SMU itu terlihat sejak siang hari. Ternyata tidak hanya puluhan siswa yang mengikuti camping dalam rangka perpisahan sekolah itu. Namun ada beberapa