"Ibu Alifa dan kandungannya baik-baik saja. Untung Anda cepat membawanya kemari. Sepertinya, Bu Alifa sempat memuntahkan minuman itu. Kalau tidak,..." Dokter itu tak sanggup melanjutkan ucapannya.Farrel mengangguk samar, hatinya begitu sakit melihat istrinya diperlakukan seperti itu. Farrel baru mengetahui jika Alifa tidak hanya dicekoki minuman beralkohol. Akan tetapi, juga sempat dipaksa menenggak beberapa butir obat-obatan terlarang.Bahu laki-laki itu berguncang. Dia menundukkan wajah di sisi tubuh Alifa yang masih belum sadarkan diri. Farrel menangis terisak di situ. Kevin yang berdiri di sampingnya menepuk pelan bahu laki-laki itu. Kevin juga merasa begitu bersalah. Secara tidak langsung, dirinyalah yang menyebabkan Alifa sampai mengalami peristiwa ini.Farrel mendongak menatap wajah pucat istrinya. "Maafkan aku, Sayang. Maaf, yang nggak bisa melindungi kamu. Doni brengsek," desisnya dengan tangan terkepal kuat."Sudah, Rel. Berhenti menyalahkan dirimu." Kevin berkata pelan. Ha
Alifa langsung mendekati Farrel dan berdiri di samping meja kerja laki-laki itu. Alifa mengambil beberapa kertas nota yang semua terdapat tanda tangan sang suami.Farrel mendongak, kemudian melingkarkan lengannya di perut sang istri. "Semua ini rejeki untuk kalian. Alhamdulilah, semenjak kamu hamil, Kemangi Ijo banyak banget pelanggannya. Cafè Biru juga begitu." Farrel berkata pelan sambil mencium perut Alifa.Alifa menunduk dan membalas pelukan suaminya. Dia mengusap-usap bahu laki-laki itu. "Kenapa harus main rahasia-rahasia segala sih, Mas? Terus ngaku-ngaku sebagai sopir juga, apa maksudnya?" cecarnya gemas.Farrel terkekeh, kemudian bangkit dari tempat duduknya. "Ya biar saja, orang tahunya Farrel itu berandalan. Ngapain juga sombong dan woro-woro punya cafe dan rumah makan?" dalihnya. "Ayo, kita keluar, kasihan teman-teman kamu nungguin."Alifa mengangguk dan mengikuti arah pandangan Farrel yang menatap layar monitor CCTV. Wanita itu terkikik karena telah mengabaikan keberadaan
"Maaf."Satu kata itu yang tertulis di balik foto tersebut. Alifa mengamati gambar perempuan yang berada di dalam foto bersama Farrel dan Sigit juga beberapa teman lainnya."Ada apa dengan gadis ini? Apa mantan Mas Farrel?" tanyanya.Alifa terkejut, ketika foto itu telah berpindah tangan. Dia menatap protes pada Farrel yang telah berdiri di sampingnya. Farrel meletakkan foto tersebut begitu saja, lalu memeluk tubuh istrinya. "Mas, perempuan dalam foto itu siapa?" tanyanya ketika bertemu pandang dengan sang suami.Farrel tak menjawab. Laki-laki itu malah menciumi pipi dan wajah istrinya. "Ish, Mas. Ditanya malah grepe-grepe!" Alifa kembali memprotes, ketika tangan Farrel tak hanya memeluknya, tetapi justru bergerilya.Farrel terkekeh tanpa dosa. "Itu almarhumah Karina, anaknya almarhum Pak Sutoro." Farrel menjawab lirih lalu melumat bibir Alifa tanpa memberikan kesempatan sang istri untuk kembali bertanya.Benar saja, Alifa tak punya kesempatan untuk bertanya lagi karena Farrel telah
Alifa mengusap pipi sang suami dengan lembut. Sepasang matanya menatap sang suami dengan tatapan dalam. "Kenapa nggak tidur? Apa yang kamu pikirkan, Mas?" tanyanya lirih.Farrel menggeleng samar, kemudian dia memeluk istrinya, mencium puncak kepala wanita itu. "Lagi nggak bisa tidur saja. Sudahlah, nggak apa-apa." Laki-laki itu menjawab sambil menarik selimut sampai batas leher.Tak puas dengan jawaban suaminya, Alifa mengguncang pelan lengan atas laki-laki itu. Farrel menggenggam jemari tangan Alifa dan menciumnya. "Mas, kalau ada masalah ngomong dong, jangan diam saja begitu. Dari gerak geriknya kelihatan, kalau lagi ada masalah." Alifa kembali mengungkit. Terdengar dengusan kasar dari bibir Farrel. Dia menoleh menatap istrinya dengan tatapan penuh arti. Laki-laki itu kemudian merubah posisi berbaringnya menjadi bersandar di kepala ranjang. Alifa ikut duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Farrel langsung menunduk dan bertemu pandang dengan Alifa. Rasa bersalah itu
Alifa memalingkan wajah ketika bertemu pandang dengan Farrel. Laki-laki itu menatapnya dengan sayu, lalu mengulurkan tangan. Alifa hanya meliriknya malas."Fa, apa kamu ingin mengatakan sesuatu, Sayang?" tanyanya. Bibir pucat itu tersenyum samar. "Tolong pandang aku, Fa. Kenapa kamu nggak mau melihatku? Apa aku begitu menjijikkan bagimu, Fa?" Farrel kembali bertanya dengan suara lirih.Alifa menatap Farrel sekilas, selanjutnya kembali memalingkan wajah. "Fokuslah pada kesehatan kamu dulu, Mas. Jangan banyak pikiran. Aku heran kenapa kamu begitu bodohnya menyiksa dirimu seperti itu?""Aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkan maafmu, Fa. Percaya sama aku, aku menyesal banget telah melakukan hal tersebut. Seharusnya, aku bisa mendamaikan mereka, bukan malah menjadi bensin di atas bara api," sesalnya. Farrel memejamkan matanya yang mengembun."Apa kamu akan bangga Mas, seandainya nanti anak kamu mengetahui cerita tentang hal ini? Lalu, bagaimana dengan Bapak, Ibuk, dan keluarga besar ki
Novi memutar bola mata malas mendengar jawaban Alifa. Dengan gemas, dicubitnya lengan Alifa yang membuat wanita itu mengaduh. Alifa berdecak sembari mengusap-usap lengannya yang panas."Aku memang nggak tahu, Nov. Kuat dilakoni ora kuat lambaikan tangan ke kamera."Novi semakin gregetan dengan jawaban Alifa yang seenaknya. "Sebenarnya, kamu itu mencintai Mas Farrel nggak sih, Lif? Kalau kamu nggak mau sama dia, sini hibahkan ke aku saja!" serunya cengengesan.Alifa langsung melotot dan tersenyum mengejek. "Suamiku mantan sahabatku, seperti cerita novel online!" cibirnya. "Lanjutkan halumu, Vi. Siapa tahu diangkat ke sinetron ikan terbang dan beranak cucu episode!" Alifa melanjutkan sindirannya dengan wajah datar. Novi tertawa terbahak yang membuat beberapa orang menatap ke arah mereka."Ups, dilihatin Pak Dosen ganteng," ucap Novi cengengesan ketika bertemu pandang dengan Kevin yang kebetulan lewat di dekat mereka.Kevin menggelengkan kepala samar mendengar ucapan to the point gadis t
Bruk!Tubuh Alifa terhuyung, menabrak seseorang yang langsung memeluknya dengan erat. Adelia yang tadi tertawa puas, berharap Alifa jatuh, kini membekap bibirnya. Kedua matanya melotot karena terkejut."S-sialan. Dasar brengsek!" makinya dengan tatapan tajam. Farrel tersenyum miring sekilas dan menunjuk wajah Adelia dengan tatapan tajam. "Maki saja sepuasmu, Del. Sampai kapan kamu akan dendam denganku?" tanyanya sinis. "Sampai dendam Karina terbalaskan!" sahut Adelia dengan sombong.Farrel mengangguk-angguk, lalu berdiri di depan Alifa. "Baiklah, lampiaskan ke aku saja. Aku kasih tahu, Del. Sebelum kamu lampiaskan dendam kamu, coba kamu tanyakan dulu ke Gladis, teman baik Karina yang mengetahui kejadian itu. Jangan buta kamu, Del. Aku memang bersalah dan sudah mengakui hal itu. Tapi apa yang dilakukan Karina dan Trisna juga Pakdhe kamu itu sudah cukup impas!" sahutnya tegas."Kamu memang brengsek, Rel. Seandainya, kamu nggak ikut campur, Karina nggak mati.""Sudahlah, tanpa aku atau
Farrel menatap nanar pada Alifa yang masih bersikap acuh. Laki-laki itu mengeraskan rahangnya, menghadapi sikap keras kepala sang istri."Kalau begitu, kamu nggak usah ke rumah Ibuk. Kamu nggak usah pergi, kalau nggak mau kembali lagi!" Farrel berkata tegas.Alifa menggeleng. "Kalau nggak mau antar aku, ya sudah. Aku bisa panggil taksi!" sahutnya tak mau kalah.Lagi dan lagi, Farrel harus bersabar menghadapi sikap egois nan keras kepala istrinya. Laki-laki itu memilih menurut demi menghindari pertengkaran. Dalam perjalanan ke rumah orang tua Alifa, mereka memilih diam. Sampai di sana, Farrel tak langsung pulang. Dia justru mengikuti istrinya memasuki kamar. Farrel menatap Alifa dengan pandangan miris, ketika wanita itu bersikap begitu acuh."Kenapa kamu nggak pulang saja, Mas?" tanya wanita itu pada akhirnya. Farrel mendengus kasar dengan tatapan tajam ke arah istrinya. "Apa kamu ingin mereka tahu tentang masalah kita?" tanyanya lirih. "Masalah ini kita selesaikan baik-baik, jangan