Hana menjalani operasi darurat di IGD puskesmas kecamatan. Tak tanggung-tanggung, ditangani dua konsulennya langsung. Prisha dan Keyko sebagai asisten operasi.Beruntung, luka tusukan belati tak mencapai selaput paru-paru. Jika lebih dalam sedikit saja, Hana mungkin akan mengalami perdarahan paru-paru dan sukar diselamatkan. Malangnya, akibat pertarungan selepas luka tusuk, perdarahan menyebabkan HB nya drop. Hana mengalami syok hipovolemik. Ia kehilangan kesadaran berjam-jam. Menjelang pagi, usai mendapatkan 1 kolf transfusi dan 1 kolf cairan infus, barulah gadis itu siuman."Penjahatnya ketangkep?" lirih Hana, begitu siuman."Iya, ketangkep, Han. Maafin gue, yaa ...." Prisha sesenggukan."Maaf buat apa?""Lo jadi korban salah sasaran. Penjahat itu tadinya mau bunuh gue. Dia ngira elo tu gue, coz sama-sama pake kerudung dan gamis.""Astaghfirullah ...." Hana mengelus dada. "Dia udah diinterogasi anak buah Pak Dok. Akhirnya ngaku, disuruh pamannya Pak Dok, Om Reno, buat ngabisin gue
Tertinggal keheningan di ruangan tersebut. Keyko mendadak merasa canggung di antara Hana yang kepalanya tahu-tahu hilang ke balik selimut, serta Dokter Reza yang mempertahankan sikap cool. Jarak Dokter Reza ke Hana hanya hitungan lima langkah.Bola mata Keyko berputar ke Hana, sebelum melirik ke Reza. Dua orang yang setahunya selalu bersiteru jika bertemu itu, tak bereaksi atau mengeluarkan kalimat apa pun. Keyko tak tahu kudu bicara apa. Entah darimana, tahu-tahu datang perasaan seolah-olah dirinya nyamuk yang tak diinginkan. Keyko bergidik ketika Dokter Reza memandangnya dengan tatapan setajam silet. Sorot mata dokter berparas eksotis itu sarat intimidasi. Dagu sang dokter bergerak maju sedikit, mengisyaratkan pengusiran.Keyko langsung paham. Dalam hitungan detik, ia buru-buru lari keluar sambil cengengesan.Keheningan terasa mencekik. Hana memasang telinga baik-baik sambil berdoa semoga Keyko mengerti keengganannya berjumpa dengan Dokter Reza. Walau ia menyangsikan kepekaan sahaba
"Assalamualaykum, selamat pagi. Wah, Dokter Reza udah visite. Saya keduluan, nih." Dokter jaga puskesmas masuk ke ruangan, diiringi empat orang perawat."Saya baru datang, Dok." Reza tersenyum. "Pasiennya belum kooperatif." Ia menunjuk ke arah Hana yang masih menutup wajah dengan selimut."Malu-malu mungkin." Dokter jaga tertawa kecil. "Sama pacar emang gitu," guraunya."Dia koas saya," ungkap Reza, tanpa maksud mengkonfirmasi gurauan si dokter puskesmas. "Teh Hana udah sadar? Gimana perasaannya pagi ini?" sapa salah satu perawat seraya mendekat. "Izin buka selimutnya dikit, yaa ... Dokter mau meriksa. Izin juga ngukur tensinya."Mau tak mau, Hana terpaksa menurunkan selimut. Beruntung ia sudah memakai kerudung dan gamis lengkap, dibantu Prisha dan Keyko. Matanya mencari-cari bayangan Keyko. Namun, gadis sipit itu tak berada di ruangan. Sejak kapan Keyko pergi? Jangan-jangan ....Usai pemeriksaan fisik standar, Hana dinyatakan baik-baik saja. Perawatan luka dilanjutkan sehari lagi da
Keyko kembali ke kamar Hana, satu jam kemudian. Tampilannya lebih rapi dan fresh. Outfit kerudung krem bunga-bunga putih berpadu gamis shabby kuning gading, membuatnya terlihat lebih menarik."Gue tadi dianter mbak-mbak dan mas-mas bodyguard ke rumah Prisha. Mandi dan ganti baju, trus ditraktir makan di restoran dekat pasar tanjung sari. Nih, gue bawain lo oleh-oleh tahu sumedang." Keyko meletakkan paper bag mini berisi tahu ke nakas. Saat hendak melanjutkan celoteh, lidahnya tertahan begitu melihat wajah Hana basah air mata.Hana menggigit-gigit bibir. Tampak sangat menyedihkan."Key, ambilin gue antiseptik, dong. Mau ngebersihin mulut gue yang terkontaminasi virus jahat.""Hah, virus jahat? Kenapa tetiba nemplok di mulut elo?" Keyko terbelalak. "Jangan banyak nanya, deh. Cepet ambiliiin!" jerit Hana.Keyko buru-buru lari ke luar, menuju ruangan perawat. Dimintanya kasa dan cairan antiseptik ke perawat. Lantas cepat-cepat kembali."Nih!" Keyko menyodorkan cairan antiseptik dalam ko
Prisha terdiam. Pipinya bersemu merah. Untuk pertama kali, Gavin memujinya cantik. Sensasinya luar biasa, padahal kata-katanya sederhana. Banyak orang memberi pujian yang sama, tapi kalau Gavin yang mengucapkannya, rasanya beda. Ah, Prisha merasa kembali jadi gadis bodoh. Jantungnya dibuat berdegup kencang hanya oleh satu kalimat receh dari profesor dokter itu."Kamu masih marah?"Prisha mengatupkan bibir. Marah? Ya, ia marah. Marah pada kenyataan yang mengombang-ambingkan hidupnya. Namun, apakah tepat melampiaskan kemarahan itu pada Gavin? Apa salah lelaki itu?"Sha, mari kita bicara di tempat lain. Nggak enak dilihat orang di sini. Masuklah ke mobil." Gavin menahan diri untuk tidak menggandeng tangan Prisha dan menuntunnya masuk mobil. Gadis itu masih dalam mode galak, susah didekati.Prisha melirik sebentar ke arah orang-orang yang masih menjadikan Gavin dan dirinya sebagai obyek perhatian. Tampak wajah-wajah terpukau bercampur kepo akut. Bahkan beberapa paramedis, mengarahkan kame
Prisha diam-diam memperhatikan Gavin lewat ekor matanya. Pria itu tampak menyuap bubur dengan enggan. Wajah Gavin agak mendung dan kelopak matanya sayu.Prisha mengerti, suaminya kurang menyukai sarapan semacam bubur atau masakan daerah. Menurut Bik Iyam dan Bik Semi, Dokter Gavin terbiasa menyantap roti manis berkawan susu putih atau oatmeal, diselingi menu sandwich, omelet atau salad buah. Maklum, keluarga besar Devandra kebanyakan kuliah dan berbisnis di kalangan Eropa. Namun, sepertinya terlalu berlebihan jika Gavin murung hanya karena tidak suka terhadap menu sarapan di luar kebiasaan. Mungkinkah tanggapannya barusan membuat lelaki arogan itu tidak bahagia? Kalau benar demikian, alangkah kekanak-kanakannya! Bukankah wajar bagi seorang istri meminta bukti cinta?Prisha letih berharap. Tanpa sadar, pikirannya menguap ke alam lamunan. Bubur ayam yang lezat hanya ditelan tiga suap, selebihnya diaduk-aduk dengan tatapan menerawang.Setelah kematian neneknya, Prisha merasa terjebak di
"Vin, jaga sikap! Jangan bantah kakekmu!" tegur Diana. Suaranya pelan saja, tapi keningnya berkerut. Perempuan lanjut usia yang baru hijrah beberapa tahun terakhir itu tetap memperlihatkan ketenangan, meski emosi mulai menyesakkan dadanya. Ruang keluarga seluas lebih dari lima belas meter persegi, mendadak hening dan terasa lengang, sebab empat orang di ruangan tersebut--selain Zed--segan membuka mulut gara-gara menyaksikan ekspresi murka Zed Pratama. Dua paman Gavin, Danu dan Reno, yang duduk berseberangan dengan Gavin, menampakkan wajah keruh. "Bicaralah." Dengan nada rendah dan dingin, Zed memerintahkan sambil mengulapkan tangan ke arah cucunya.Sang cucu berdeham ringan. Sebelum mulai bicara, ia memperbaiki letak duduk dari bersandar menjadi tegak lurus. Gavin ingin menunjukkan tekad yang kuat dan percaya diri. Posisi tersebut selalu ia andalkan setiap hendak bernegosiasi dengan investor atau mitra bisnis. "Mengenai pencairan saham Prisha, saya sudah menjelaskannya di forum k
"Hebat betul hoaks yang kau bikin!" teriak Reno. Panik bercampur berang. Terbayang di benaknya, kebangkrutan yang bakal dialami. Utangnya sebesar puluhan juta dollar karena kalah judi di kasino kelas atas di Makau, belum lunas. Semula ia mengira, dengan menggapai pucuk pimpinan di perusahaan induk, keuntungannya akan berlipat ganda. Ia dapat melunasi semua utang berbunga itu dengan mudah. Tak dinyana, keuangan Healthy Light bermasalah, sahamnya berkurang, dan nilainya anjlok di bursa saham. Semua gara-gara anak dan menantu Tibra!"Apa perlu saya bawa saksi sekaligus buktinya kemari?" tantang Gavin."Papa, kenapa anak kurang ajar ini dibiarkan memfitnah kami? Dia udah mundur dari Healthy Light! Copot saja sekalian jabatannya dari DIMS. Kalo perlu, coret dari daftar ahli waris!" seru Danu. Hatinya juga dilanda kecemasan. Satu anaknya terjerumus narkoba, satu lagi terlena gaul bebas, dan yang bungsu, hobi balap motor. Hobi anak bungsunya itu menuai beberapa korban tabrakan. Gara-gara