“Jenna ada di Kelapa Dua mall.” Rama membaca pesan yang di kirimkan Bima kepadanya dengan dahi berkerut, laki-laki itu memang meminta Bima mencari tau di mana Jenna akan menonton bersama teman-teman kantornya hari ini.
“Mall yang nyaris bangkrut dan kumuh itu? ngapain dia nonton di sana?”
“Harga tiket bioskop di sana lebih murah.” Lagi-lagi kening Rama berkerut, laki-laki itu sama sekali tidak mengerti kenapa ada orang-orang yang mengorbankan kenyamanan hanya untuk mendapat potongan harga yang tidak seberapa.
“Permisi pak, bapak sudah di tunggu pak Pandu untuk makan siang bersama.”
“Batalin aja, bilang ayah kalau saya mau makan di Kelapa Dua Mall hari ini.”
“Ta..tapi pak.” Sekretaris Rama jelas kebingungan, karena atasannya yang sangat pemilih itu tidak akan bisa menemukan makanan apapun yang sesuai dengan seleranya di mall kumuh tersebut.
“Enggak usah banyak tapi, sekarang mending kamu hubungin supir kantor dan minta dia siapkan mobil. Saya enggak mau nunggu lama.” Setelah memastikan sekretaris pribadinya mengerti perintahnya, Rama memasuki lift yang langsung membawanya ke basement khusus direksi.
***
“Ck, memangnya sekecil apa gaji pegawai minimarket sampai dia harus nonton di mall yang bangunannya aja nyaris roboh kayak gini.” Rama terus saja menggerutu sepanjang langkah menelusuri mall untuk mencari keberadaan Jenna, ponsel di tangan laki-laki itu terus berkedip menampilkan pesan-pesan dari Bima yang terus melaporkan posisi terakhir Jenna bersama teman-temannya.
“Lo yang bener dong kalau ngasih informasi!” Rama kesal karena Bima membuatnya memutari seluruh mall kumuh tersebut.
“Itu bener bangsat.”
“Bener apanya?! Ini gue harus muter lagi bangsat, lo bilang Jenna di lantai dua gedung selatan, sekarang kenapa udah ada di lantai satu gedung utara!”
“Ck, ya emang dia ada di sana. Eh dia pindah lagi ke lantai tiga gedung timur, kayaknya mereka mau mulai masuk ke ruang teater sekarang.” Rama memejamkan mata kesal, di gigitnya lidah kuat-kuat menahan sumpah serapah untuk saudaranya yang seorang IT gadungan.
“Gue hajar ya lo Bim!”
“Hahahaha, yaudah sih. Lo tinggal samperin aja itu si Jenna di lantai tiga gedung timur, bioskop ada di lantai itu.” Rama benar-benar akan menghajar saudaranya itu begitu sampai di rumah nanti, tapi sekarang ia harus mencari escalator terlebih dahulu untuk bisa turun dan berputar ke gedung timur yang di maksudkan oleh Bima.
“Ngomong-ngomong, lo bilang Jenna sama temen-temen kantornya kan?”
“Hm.”
“Tapi kok di sini gue liat dia cuma berdua ya?” Langkah Rama langsung terhenti.
“Gue kira awalnya mereka memang lagi nunggu temen-temen yang lain, makanya muter-muter dulu. Tapi sampai akhirnya masuk ke dalem teater mereka tetep cuma berdua.”
“Laki-laki atau perempuan?” tanya Rama dengan suara dingin. Sedangkan si seberang sana Bima sedang menimbang-nimbang harus berkata jujur atau berbohong dan membujuk saudaranya itu untuk kembali ke kantor atau pulang sekalian.
“Haah, laki-laki.” Bima akhirnya memutuskan untuk jujur karena sejak dulu ia akan menjadi pendukung bagi saudaranya itu sebagaimana Rama selalu mendukung semua tindakannya selama ini.
Rama yang mendengar keterangan dari Bima menggenggam polselnya erat, matanya menggelap seiring dengan kemarahan yang memenuhi dadanya. Laki-laki itu langsung mematikan sambungan dan berusaha secepat mungkin sampai di gedung timur, ia harus melihat secara langsung siapa orang yang sudah berhasil membuat Jenna berani membohonginya.
“Udah cukup seneng-senengnya Jenna?”“Ra.. rama.” Jenna tanpa sadar menjatuhkan ice cream yang baru saja di belinya begitu melihat Rama berdiri menjulang di belakangnya.“Cih, makanan sampah apa yang lo makan ini?” tanya Rama sembari menginjang cone ice cream di lantai.“Kalau lo mau Ice cream, harusnya bilang. Gue bisa beliin lo ice cream premium yang biasa kita makan di rumah.”“Oh, lo belum ngenalin gue sama temen baru lo ini. Apa harus gue sendiri yang nyari tau dia siapa?” Jenna langsung gelagapan, urusannya pasti akan panjang nanti.“Dia… temen Ram. Kenalannya Leni.” Rama tidak akan begitu saja percaya.“Lo udah pinter bohong ya sekarang.”“Ram..”“Pulang!” Rama langsung menarik tangan Jenna dengan kasar, Rudi yang tidak terima kekasihnya di perlakukan sekasar itu jelas protes.“Jangan main kasar
“Di sini?” Rama mengecup singat tulang panggul Jenna, sedangkan perempuan itu hanya menggeleng pelan. Rama benar-benar membuatnya kelelahan hari ini.“Ah, kalau begitu di sini?” Kali ini Rama mengecup bagian di bawah panggul, sembari sesekali memberikan gigitan pelan.“Ram, udah ya. aku cape.”“Sttt, masih banyak tempat yang belum gue tandain Jenna.”“Ram..” Jenna melengkungkan tubuh, sama sekali tidak siap dengan serangan yang di berikan Rama dengan tiba-tiba. Tanggan Jenna terulur ke atas, mencari pegangan saat Rama lagi-lagi membuat tubuhnya tersentak kuat.“Sttt, Ram. Emh..”“Kalian juga melakukan ini?” Jenna menggeleng, mulutnya tidak lagi bisa di gunakan selain untuk mendesah dan merengek agar lama memperhalus gerakannya.“Jangan coba-coba Jenna, atau lo bakal tau gimana rasanya neraka di dunia.”“Eng! Ramh.. Rama!”
Jenna terbangun dan langsung terkesiap, seluruh tubuhnya benar-benar terasa nyeri sekarang. Wajah oriental Jenna juga langsung menegang begitu mendapati jam di atas nakas menunjukan pukul setengah satu siang, ia sudah sangat terlambat untuk bekerja.“Arh! Ck, pasti potong gaji lagi.” Gerutu perempuan itu dengan sebal sembari meremas-remas bed cover yang menutupi tubuh telanjangnya dengan gemas.“Kenapa enggak ada yang banguni aku sih.”“Kami bisa kena masalah kalau tuan Rama sampai tau.”“Astaga!” Jenna spontan memegangi dadanya, ia terkejut karena tidak mengira ada orang lain di kamar itu.“Ck, bu Asih! Kasih tanda dong kalau ada di kamar ini juga, aku kan kaget. Untung eggak jantungan.” Perempuan paruh baya yang di panggil bu Asih hanya tersenyum kemudian bergerak membuka tirai, cahaya yang masuk langsung membuat mata Jenna sakit.“Kamu mau tirainya di tutup lagi?”
Rama langsung menaikan alis, begitu melihat Bima sudah duduk dengan tidak sopan di atas sofa kamarnya. Di hadapan kembarannya itu juga ada Jenna, yang masih merengut sama sekali tidak mau nenatapnya.“Ck..ck.. kayaknya wakil presiden direktur kita ini punya banyak waktu luang ya sampai bisa pulang di waktu istirahat yang mepet banget ini.” Ucap Bima sebelum memindahkan lima tusuk sate bebek ke piringnya sendiri.“Berisik.”“Bim! Jangan di abisin, kamu udah makan banyak tadi.”“Duh, lo minta lagi aja nanti sama Hubert.”“Bima.” Satu terguran dari Rama membuat Bima meletakan kembali tusuk sate yang sudah di genggamnya, laki-laki itu menyerahkan piringnya kepada Jenna dengan wajah merengut.“Pelit.” Desisnya sebal.“Kamu udah makan dua puluh tusuk tadi, aku baru sepuluh tusuk sama yang ini.”“Argh! Telefon Hubert dong, suruh beli sate bebek i
Rama mengunci pintu kamarnya dengan cepat, di belakangnya Hubert hanya diam dan menyerahkan troli berisi piring sisa makanan Jenna kepada pelayan perempuan yang menunduk di sampingnya. Mereka semua menutup mata pada jeritan dan tangisan permintaan tolong Jenna yang tidak ingin di kunci di dalam kamar.“Awasin Jenna dari kamera pengawas dan jangan biarin sembarangan orang masuk ke kamar ini.” ucap Rama dengan dingin, laki-laki itu juga sudah mengamankan beberapa benda pecah belah dan juga benda-benda tajam di dalam kamarnya, ia khawatir Jenna akan mencoba melukai dirinya sendiri untuk mewujudkan ucapannya mengembalikan ‘kehidupan’ yang sudah keluarga Sore berikan untuk perempuan itu.Jenna adalah anak perempuan yang tidak sengaja di temukan Maira di jalanan, anak perempuan dengan wajah oriental itu sedang berusaha melarikan diri darikejaran beberapa preman ketika akhirnya nyaris tertabrak mobil yang di tumpangi oleh nyonya keluarga Sore. Maira da
Rudi mengumpat, sudah satu bulan ini Jenna tiba-tiba saja menghilang. Ia sudah mendatangi minimarket tempat perempuan itu bekerja, bukannya menemukan Jenna laki-laki itu justru mendapat kabar kalau pacarnya itu sudah tidak lagi bekerja di sana.“Brengsek.” Rudi menggenggam polsel bututnya gemas.“Rud.”“Eh, bang.” Laki-laki itu berusaha mengontrol mimik wajahnya begitu Karyo, ketua preman di tempat tinggalnya mendekat.“Gue harus nunggu sampe kapan ini?! Lo kebanyakan nanti tau enggak.”“Eng, sabar sebentar ya bang. Jenna lagi enggak bisa di hubungin.”“Cewe lo tau akal-akalan lo kali, di tinggal lo sekarang.”“Enggak bang, enggak mungkin itu. Jenna enggak sepinter itu soalnya.” Ucap Rudi dengan yakin, ia sudah enam bulan mengenal Jenna. Perempuan polos dan baik hati itu sangat mudah percaya pada orang lain termasuk mempercayai akal-akalan yang ia buat
Jenna sama sekali tidak menoleh ketika mendengar suara pintu kamar di buka dan kemudian di tutup, perempuan itu juga sama sekali tidak mengubah posisinya yang sedang tidur dengan posisi miring menghadap jendela besar di samping ranjang ketika seseorang bergabung bersamanya di atas ranjang.“Hey, udah makan?” Jenna memilih tidak menjawab, ia masih terus diam hingga seseorang di sampingnya beralih menelefon bu Asih dan menanyakan semua pertanyaan yang tidak mau Jenna jawab.“Hubert bakal bawain makanan, makan ya. Gue suapin.” Rama mengatakan itu sembari menggulung lengan kemejanya, laki-laki itu juga berpindah posisi ke sisi dekat jendela agar bisa lebih leluasa memandangi Jenna.“Lo tau Jenna, laki-laki yang sama lo di mall waktu itu dateng ke sini kemaren.” Rama tersenyum dingin begitu melihat Jenna mulai memberikan reaksi.“Gue penasaran, kok lo bisa pacaran sama laki-laki bar-bar kaya gitu? Sama sekali enggak pu
Jenna mengulurkan segelas air putih dingin yang langsung di minum oleh Maira, setelah meletakan gelas kosong di samping nakas Jenna baru melangkah menaiki sisi ranjang yang kosong dan bersiap untuk tidur.“Bunda kenapa?” Tanya Jenna karena sejak tadi ia merasa Maira terus memandang ke arahnya.“Bunda kangen, peluk bunda sini.” Jenna tertawa, perempuan itu kemudian sedikit bergeser agar bisa bergelung dengan nyaman di dalam dekapan malaikat penolongnya.“Kamu baik-baik aja kan?”“Jenna baik bunda.” Jenna merasakan Maira tersenyum sebelum membelai rambut hitamnya dengan penuh sayang.“Gaul sama ibu-ibu sosialita bermuka dua itu bikin bunda jadi lebih perasa loh Jen, bunda juga jadi bisa bedain kapan seseorang berbohong atau enggak.”Jenna begitu saja mengeratkan pelukannya setelah mendengar kalimat Maira.“Sekarang bunda juga tau kalau kamu bohong.”“Bunda..”“Stt, enggak apa-apa sayang. Enggak apa-apa..” Jenna mulai terisak.“Engga