Hatiku meringis nyeri mengingat kejadian menyakitkan itu. Hari lahirku hadi awal malapetaka dan itu kado yang tak kan pernah bisa aku lupakan. Saat itu Ray akan bertunangan entah sama siapa dan saat itu juga adalah hari lahirku yang tak pernah kuinginkan ada kejadian menyakitkan.
Aku terjatuh dan buta lalu Farhan berniat mendonorkan matanya untuk menebus segala kesalahannya yang tak sengaja mendorongku hingga jatuh. Hingga pada akhirnya aku lari dari rumah sakit dan tertabrak oleh pengendara motor yang tak bertanggung jawab sampe pada titik aku sudah tidak diselamatkan.
Namun kuasa Tuhan yang maha dasyat, aku selamat dan kebutaan permanen ku pun sembuh total. Luar biasa kuasa illahi, maha dasyat kuasa sang khalik. Dan itu membuktikan kekuatan dan kuasa Tuhan.
"Farhan, terima kasih sudah mengikhlaskan matamu buatku. Tapi Tuhan punya kuasa lain, mata yang ada di tempat kamu itu milikmu bukan milikku dan akan tetap menjadi milikmu. Percayalah akan kuasanya
Aku masih terpana dengan kejadian ini. Masih terhipnotis dengan sikap tante Alliya, mamanya Raya dan Farhan Dinata.Bahka Feronika menangis bukan hanya karena tamparan wanita paru baya itu tetapi karena sikap wanita itu yang tiba-tiba tidak berpihak kepadanya."Tante, salahku apa? Kenapa, Tante menamparku?" Rintih Feronika menghiba sambil mengusap-usap pipinya yang sudah memerah."Fero!" Suara itu tidak seperti biasanya. Begitu tenang dan tegas tanpa senyum sedikit pun."Dari kecil orang tuamu tidak pernah mendidikmu untuk menghina harga diri orang lain apalagi menjatuhkannya, tapi kenapa kamu memilikk sifat sepicik ini? Awal mula kamu membenci Move, Tante paham karena kesakitanmu kehilangan Ray. Tapi kenapa barusan Tante dengar kamu bawa-bawa masalah janda?" Berhenti sejenak unguk menelan saliva."Apa kamu pikir di dunia ini wanita punya pilihan untuk menjadi janda? Siapa yang mau menjadi janda? Tidak satu pun yang menginginkannya. Kamu jang meleb
"Farhan!" teriakku sambil menubruk tubuhnya yang benar-benar mengeluarkan darah dari dadanya dan ini bukan sekedar halusinasiku seperti beberapa minggu yang lalu."Farhan, bangun! Ini aku, kamu nggak boleh begini!" ucapku histeris. "Tolong, panggil dokter!" teriakku kembali lebih panik.Dan kulihat Ray sudah datang dengan dokter Careld. Tubuh Farhan yang sudah lemah dan terdiam segera dipindahkan dan di buka baju yang membalut badannya. Terlihat di sana di dada Farhan luka itu menganga dan darah masih terus mengalir. Sama persis mimpiku beberapa minggu yang lalu.Jantung buatan itu terbuka karena beban tubuh Feronika yang tiba-tiba memimpanya tanpa sengaja. Aku, Ray dan sluruh yang ada di situ panik. Nerujing di ruang gawat darurat dan Profesor LinHuang di panggil segera.Aku lihat wanita paruh baya itu menangis tersedu di tempat duduk penungguan. Di sampingnya om Halim suaminya. Ray yang sedang tak berbaik hati mukanya sedang Dattan yang barusan da
Nit nit nit ...Suara itu sebenarnya menggangguku uang sedang larut dalam kesedihan. Namun aku simak. Ini sebenarnya suara apa. Aku merenggangkan pelukannya Rau."Ini suara apa Ray?" tanyaku sambil menyusut air mata yang terus mengalir di pipi tirusku.Ray hanya bergeming dan seolah mendengarkan sesuatu."Suara monitorkan, Sayang,"Mak jleb di hatiku mendengar Ray memanggilku begitu."Iya, memang monitor, tapi monitor siapa?" tanyaku sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan."Ya Tuhan! Farhan!" Aku menjerit bukan lagi kaget. Lengkingan jeritanku terdengar sampai ke luar ruangan. Membuat orang yang di luar langsung masuk terutama Profesor LinHuang dan dokter Careld."Farhan," jeritku kembali tertahan.Dokter Careld mendekat tergesa di mana tubuh Farhan yang sudah dingin kembali menghangat."Puji syukur ya Alloh," aku makin terjerembab ke dalam dekapannya Ray. Kulihat Farhan menggerakan tangannya.
Kakiku berhenti seketika mendengar suara itu. Dengan gerakan reflek aku memutar badanku menghadap arah suara itu.Feronika Alfarest, wanita itu menatapku dengan pandangan mengharap sesuatu. Dengan pandangan yang dingin aku mendekati wanita itu."Move," panggilnya luruh membuat hatiku seketika mencelos. "Maafkan, Aku,"ucapnya dengan suara menguar perih terdengar di hatiku.Kupeluk erat wanita itu dan kubusikkan sesuatu yang mampu membuatnya bangun dari segala mimpi buruknya."Aku sahabatmu, Fero. Bangunlah, jangan menyerah," ternyata ucapan itu mampu membuat wanita yang umurnya jauh di bawahku itu tersedu. Kutepuk pelan punggungnya lalu kuelus dengan lembut."Dok, bagaimana perkembangannya?""Dia butuh teman oebdukung, mbak Move. Dan saya rasa, Mbak lah yang cocok untuk mendampinginya,""Tapi, Dok," aku hanya memandang tak mengerti."Kami ini saling bermusuhan," akhirnya aku meloloskan ucapan pahitku.Dokter itu hanya ter
"Sial!" Dengusnya membuat beberapa perawat memperhatikan sikapnya."Pak Ray nggak masuk?" Salah satu suster menyapa dengan ramahnya."Oh iya, Sus." Agak gugup Ray membalas sapaan suster itu. Dengan kekesalannya dia masuk ke ruangan itu dan masih melihat drama ala korea dan china. Saling membelai dan menggenggam tangan."Sudah belum dramanya?" tanyanya tanpa basa-basi.Aku dan Farhan saling bertatapan dan melepas tangan satu sama lain."Ray, kenapa?" tanya Farhan polos membuat Ray yang awalnya ingin marah tiba-tiba melunak. Aku bangkit dan mendekatinya."Kalian ngobrolah, Aku tinggal dulu." ucapku sambil bangkit dan berjalan menjauhi mereka."Move," panggil Ray. Dan sesaat aku berhenti."Kamu dan Farhan tidak bermain curang di belakangku kan?"Aku saling tatap dengan Farhan dan entah kenapa aku ingin tertawa geli. Ada seulas senyum terukir di bibir Farhan."Memang boleh kalau Aku ambil dia dari kamu?" l
"Tante Alliya!" teriakku sedikit terpekik. Aku melihat wanita anggun itu tertunduk mengambil pecahan piring yang pecah."Biar saya aja, Tante," ucapku sambil menunduk memunguti pecahan piring itu."Tante duduk di sofa aja, ya biar saya saja," sekali ucapku dengan hormat."Maafkan, Tante ya, Move," aku hanya tersenyum lantas ku ekor sosoknya menuju sofa.Aku kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba apalagi tahu-tahu sudah ada di dapur."Auw," ringisku pelan karena tergores beling piring. Baru saja hari itu mau aku angkat, tangan seseorang sudah mengambilnya dan menghisap jari yang berdarah itu."Ray," suaraku bergetar melihat sosok tampan itu sudah ada di depan mataku dsn mengulum serta menghisap jemariku."Kapan datang?" Kembali kuajukan pertanyaan. Lagi-lagi hanya dijawab dengan senyuman. Lalu mengecup jemariku."Semalam waktu kamu tidur," jawabnya."Sama tante?" Ray hanya mengangguk lalu memunguti sisa pecahan p
Sungguh aku terpana dan cengok mendapatkan kejutan demi kejutan hari ini. Disana banya bunga, banyak makanan yang dikirim untukku hari ini."Tante!" teriakku dengan keras. Wanita paru baya itu datang dengan senyum misterius."Ini , siapa yang beli, untuk apa makanan sebanyak ini, Tan?" tanysku meluoakan status aku dan status dia siapa. Sebegitu akrabnya aku memanggilnya seolah kami tak pernah ada masalah sebelumnya."Untuk kita maks, dan kita hidangkan bersama," jawabannya membustku mengerutkan kening."Lihst siaoa yang ada di balik karangan bunga itu?"Aku mengerjab dan melongok ke arah belakang karangan bunga yang besar itu."Feronika," desisku tak percaya."Hai-hai. Lady-lady. Aku sudah datang. Maafkan sedikit terlambat karena pesanannya yang behitu banyak jadi harus pelan-pelan dan hati-hati," ucapnya sambil mendorong bawaannya yang berada di troli barang.Sumpah demi apapun, aku gagal paham dengan semua i
Aku bangun dengan tergagap ketika ada suara dering telpon menguar dari atas nakas. Lalu kupeluk seseorang yang sudah dari semalam menemani begadangku. "Sayang, bangun. Berangkat kerja," suaraku sambil mengelus punggung telanjangnya yang terasa dingin. "Aku cuti, Yank," ops lupa. Dia sudah ambil cuti beberapa hari untuk pre wedding kami. Lalu ku elus kembali punggungnya dan aku rasa dia sudah terlelap dalam tidur kembali. Karena hari ini aku juga ada persipan ke kantor Farhan aku bergegas mandi. Kutinggalkan dia sendiri di apartemen. "Lho, kok malah ke sini?" tanya Farhan sambil meletakkan berkas di atas meja kerjanya. "Aku cuma mau lihat kamu, terus ada janji sama teman," ucapku lalu membereskan meja kerjanya yang berantakan. "Jangan buat aku kembali ke dunia khayalku lagi. Nanti aku nggak bisa move on dari kamu," sekilas aku tersenyum lalu menghampirinya. "Aku pergi, ya?" ucapku. "Tunggu!" Kuhentikan langkahku. Menungg