“Kalau riasanmu habis, kabarkan padaku. Aku akan membelikannya sebagai stok seumur hidup.”Jenar menoleh ke arah Mada setelah berjingkat-jingkat keluar dari dalam mobil presdir Lawana tersebut.“Kalau begitu, belikan aku saham di salah satu toko kosmetik yang terkenal, bagaimana?”Jenar berjalan dibelakang Mada sedangkan Mada memasang raut dinginnya yang biasa, mencoba menjaga sikap dengan Jenar setelah malam panas di dalam mobil yang keduanya jalani.Tidak ada yang boleh tahu bahwa mereka memiliki kedekatan lebih dari sekadar profesional.Ah, tentu saja mereka profesional.Profesional di kantor sekaligus profesional dalam memuaskan hasrat satu sama lain.“Permintaanmu terlampau sederhana untuk aku turuti, Nona Penggoda.”Mendengar sapaan yang sudah lama tidak terucap dari belah bibir Mada, Jenar menjadi berjengit dan bulu kuduknya mendadak meremang.Dari arah belakang, Jenar memperhatikan Mada dan terus mengekor dibelakangnya, menjaga jarak aman selayaknya sekretaris pribadi dan pres
“Kamu bisa bicara denganku baik-baik seperti tadi, tidak perlu menghardik.”Jenar membuntuti Mada lalu menutup pintu ruang kerja si pria kemudian menatap tajam ke arah lelaki yang tadi mempermalukannya.“Itu benar-benar mempermalukan diriku, Mad,” geramnya lagi dengan hati yang terasa panas.“Seolah-olah, kamu berupaya menjatuhkanku dan membuat diriku terlihat buruk di hadapan pekerja yang lain,” protes Jenar dengan berdiri beberapa langkah dibelakang Mada yang sedang memunggunginya.“Mada, jawab,” desak Jenar kepada Mada yang masih menutup mulutnya, berusaha menebar banyak jala teka teki hingga perempuan itu dilanda oleh emosi yang berkecamuk.“Jujur padaku, apa yang aku lakukan selalu mengecewakanmu?” tuntutnya meminta kejelasan.Berkat hardik yang diberikan kepada dirinya oleh Mada tadi, Jenar praktis merasa malu hingga telinganya memerah.Dia merasa bahwa Mada tidak memerlakukannya dengan manusiawi, untuk itu dia meminta penjelasan.Selangkah demi selangkah, Mada mendekati Jenar.
“Semalam, kamu jadi bertemu dengan Mada?” Ryota memandang lurus ke arah luar, menatap lapangan golf yang terlihat begitu hijau sebelum perlahan menatap ke arah Tash yang tengah mengunyah muffin cokelat dengan sangat perlahan. “Tebakanmu benar, dia datang dengan perempuan yang sama dengan di acara charity.” Tash menggerakan jemarinya kemudian meraih gelas berleher tinggi untuk meneguk isinya seraya sedikit memiringkan tubuh menjauhi titik pandang Ryota. “Itu Jenar, sekretarisnya,” balasnya sejurus kemudian setelah mencari tahu lingkup terdekat Mada setelah di acara charity, Mada bersikap mencurigakan. "Dan aku yakin, Jenar bukan sekadar sekretaris bagi Mada." Ryota menyilangkan kedua tangannya di depan dada lalu bersandar di kursi seraya memandang penjuru di lounge tersebut. Matanya menyipit dan sudut bibirnya terangkat pada satu sisi. "Dia pasti spesial, tidak mungkin Mada mengajak sembarang orang ke acara charity lalu berusaha mati-matian menyembunyikan identitasnya." “Aku ta
“Peningkatan dalam kuartal ketiga di tahun ini seharusnya menjadi indikator yang baik untuk Lawana Corporation, tetapi saya kira tidak demikian.” Jenar berjarak cukup jauh dari Mada. Dirinya bosan sekaligus lapar. "Apa yang saya katakan bisa menjadi benar sekaligus salah. Bukankah keraguan adalah pertanda bahwa kita kritis terhadap hal yang dikerjakan?" tanya Mada seraya berjalan menuju tempat duduknya. Mendengar pemaparan rapat meski hal ini merupakan bagian dari pekerjaannya, tetap saja membuat perempuan yang sedang menahan lapar itu jenuh. “Harus diakui bahwa memang kurvanya terlihat lebih tinggi, tapi apakah para stakeholder menyadari bahwasanya …” Jenar memutuskan untuk meneguk air serta mengunyah makanan ringan yang disajikan sambil sedikit memalingkan wajah sedangkan telinganya terus saja mendengar suara Mada. “Pak Mada, saya izin menyela, Pak.” Mada mengangkat kepala, begitu pula beberapa pasang mata yang langsung mengarah kepada si pria paru baya tersebut. “Silakan,” k
“Apa kamu benar-benar tidak memiliki kekasih, Je?” tanya Taka kepada Jenar yang hanya terkekeh geli.[Pak Mada: Kalau ingin berkencan denganku, katakan saja.]Jenar mengibaskan tangan sedangkan matanya tertuju kepada layar ponsel yang memberikan notifikasi terdapat pesan baru dari Mada.“Begitu lah, Mas.”“Jangan berteka teki seperti itu, Je,” kekehnya mengamati raut Jenar yang terlihat cukup“Taka, sejujurnya aku tidak yakin jika Jenar masih sendiri,” sambung Lamina dengan mengedipkan mata ke arah Jenar.“Lami, jangan asal bicara,” timpal Jenar dengan mendengkus.“Artinya kamu sudah memiliki kekasih.”“Hei, bisakah aku memilih untuk tidak menjawabnya?”“Ladies, apa ada yang ingin menambah gyoza?”“Taka, aku kenyang.”“Aku …”Lamina bersiul dengan cukup panjang sedangkan Taka hanya mengangkat bahu, berusaha memberikan privasi kepada Jenar.Jenar sendiri tengah bersusah payah untuk menyalakan kontras di ponselnya agar sorot temaram dari tempat ketiganya bersemayam tidak membuat Jenar k
"Mada, kamu sedang bercanda, kan?""Tidak.""Mengakui hubungan kita kepada Lamina? Tidak," tegasnya dengan disertai gelengan kepala."Hubungan ini ... hal yang sedang kita jalani, entah apapun itu sebutannya lebih baik hanya diriku dan dirimu yang tahu."“Jenar, dengan kamu yang berniat pergi dengan Lamina tanpa melibatkan atau mempertimbangkan perasaanku, maka aku—”“Bagaimana dengan satu kecupan di pipi sebagai bayarannya?” tawar Jenar dengan mencoba menenangkan Mada yang sedang berada di dalam fase merajuk.“Hmm.”Mada bergumam kemudian mengetuk jemari ke atas meja, punggungnya bergoyang-goyang pelan di atas tempat duduk tersebut.“Itu yang kamu inginkan, bukan?”“Tidak,” balas Mada dengan menggerakan jemarinya, memberikan kode kepada Jenar untuk bergerak mendekat ke arahnya.“Kamu tidak ingin aku cium?!” tanya Jenar dengan terperangah kepada lelaki menggemaskan yang sedang merajuk tidak karuan ini.“Aku lebih ingin ikut dengan dirimu dibanding harus menerima satu buah ciuman lalu
“Apa sebaiknya saya pamit dari sini?” tanya Mada setelah beberapa saat.Laki-laki yang masih mengharapkan jawaban dari Jenar itu pada akhirnya memilih menawarkan diri untuk meninggalkan area tersebut dengan suka cita.“J—jangan Pak Mada, tidak apa-apa,” cegah Lamina ketika Mada sudah mengangkat bokongnya.“Mungkin Jenar memang terlihat kaku dan kurang bersahabat,” kilah Lamina dengan melebarkan matanya ke arah Jenar yang nampak jengah bukan main.“Jadi saya bisa tetap ikut bergabung di sini?”“Tidak.”“Iya.”“Tentu saja, Pak Mada.”Oke. Kali ini Jenar kembali kalah suara.Baik Taka dan Lamina menginginkan kehadiran Mada di sana sehingga tidak ada pilihan lain bagi Jenar untuk mengiyakannya saja.“Oh ayolah Je, aku tahu mungkin kamu bersitegang dengan Pak Mada.”Mada yang sudah kembali duduk pada posisinya lantas melirik ke arah Jenar, bersitegang apanya?Padahal selama ini di kantor, Mada sellau memperlakukan Jenar dengan sangat lembut dan manis, tidak ada kurangnya perhatian yang dia
“Kekasih,” ulang Jenar dengan memutar bola mata sebelum tubuhnya bergoyang-goyang pelan. “Kamu menganggap diriku lelucon semata, Jenar? Apa yang lucu dari kata yang aku lontarkan?” tanyanya. “Itukah sebabnya kamu menolak untuk menjawab pertanyaan yang tadi aku lontarkan? Itukah sebabnya kamu bersikap dingin dan menjaga jarak?” “Mada,” balas Jenar keheranan ketika menyadari bahwa Mada tengah bersikap pasif agresif kepada dirinya. “Apa yang kamu katakan? Ini sudah malam, jangan melantur,” kata Jenar dengan menguap dan nyaris terantuk sebelum memutuskan berdiri meski dirinya sedikit terhuyung. “Lagipula, apa benar kamu sedang menunggu seseorang untuk—” “Aku menunggumu,” potong Mada dengan senyum hangat yang membuat Jenar merasakan kehangatan matahari terbit di pagi hari. "Oh itu sangat manis, Mada." "Memang aku selalu manis, bukan?" Dirinya berjalan mendekat ke arah Jenar, lalu mengulurkan tangan agar Jenar dapat memegangnya sebelum berdiri dengan sempurna. Tubuh Mada yang menju