Happy Reading*****Fandra memilih diam dan memejamkan mata. Sejak tadi, dia berusaha menahan rasa sakit dan menampilkan senyuman pada sang pujaan. Kini, rasa sakit di sekujur tubuhnya sudah tak bisa lagi ditahan. Tanggap dengan keadaan lelaki di depannya, Wening segera menyelimuti Fandra. Sementara itu, Rahmat pamit pulang karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Damayanti juga ikut pulang untuk mengambil pakaian ganti dan juga membawakan makanan Wening.***** Sesuai permintaan Fandra tadi, Ibra segera ke kantor polisi sepulang dari rumah sakit. Menemui salah satu sahabatnya dan menceritakan tentang kecelakaan yag dialami oleh adik sahabatnya. "Aku akan menyelediki kasus ini untukmu, Ib. Jika memang terbukti bahwa ada unsur kesengajaan, maka kecelakaan ini sudah masuk ranah pidana," kata Polisi muda tersebut. "Ya, aku harap kamu menangani kasus ini dengan sebaik mungkin. Terima kasih sebelumnya," ucap Ibra. Berdiri dan menjulurkan tangannya ke arah si polisi. "Sama-sama, se
Happy Reading*****Setelah saling pandang, Mahmud dan Fatimah menatap Fahri. "Apakah kamu sudah menjenguk saudaramu itu hingga bisa berkata demikian?" Fatimah membuka suara.Pasalnya dari cerita Wening, tidak ada satu pun keluarga Fandra yang menjenguknya sejak kecelakaan itu. Wening dan keluarga iparnya selalu bergantian menjadi bahkan manajer yang notabene adalah orang lain juga ikut menjaga di kala senggang. Fatimah sama sekali tidak mendengar nama Fahri dan Karima disebut oleh putrinya."Tentu saja, Bu. Saya sudah menjenguk adik saya itu. Jadi, saya hia mengatakan hal ini. Jika tidak, mana mungkin saya berani memberikan informasi. Apakah Ibu meragukan informasi yang saya berikan? Saya bisa menunjukkan hasil perkembangan kesehatan Fandra selama kecelakaan. Bagaimana?" Fahri menundukkan kepala dan merogoh saku celana. Mengeluarkan benda persegi ajaib yang digunakan oleh banyak orang. Lalu, menatap Mahmud dan Fatimah bergantian. "Untuk apa juga saya harus berbohong."Lelaki paruh
Happy Reading*****Wening terdiam mendengar percakapan Fandra dan Rahmat. Bersyukur dalam hati ketika dia sudah menceritakan keadaan calon suaminya tadi pagi pada Fatimah. Si gadis sengaja bercerita pada ibunya supaya ada yang mendukung ketika Mahmud berubah pikiran nantinya."Mbak, gimana itu?" tanya Fandra yang melihat Wening malah menanggapi dengan cuek. Bahkan si gadis pujaan malah membuka kotak-kotak bekal yang dibawa oleh Silvia."Menurutmu, aku harus bagaimana? Kita kan sudah membahas hal ini. Apa pun yang terjadi nantinya, ya, kita hadapi. Masak mau lari, Dek. Ya, capeklah." Mata Wening berbinar ketika membuka salah satu kotak bekal yang isinya pancake madu kesukaannya."Mulai pinter ngebanyol Mbak Ning," sahut Silvia, "nggak tahu mukanya Mas bos sudah pucat gitu.""Ngebanyol gimana, Vi. Apa yang Mbak omongin itu benar. Kalau kita lari dan menghindari masalah, pasti kita akan capek. Jadi, mari hadapi bersama semua masalah yang akan datang." Wening menyendokkan pancake tersebu
Happy Reading*****Duduk tak tenang di rumah mertuanya, Fahri selalu mengecek ponsel. Apa yang diucapkan Hartawan bahkan sama sekali tidak dihiraukan. Tiara yang berada di sampingnya saja, tidak dia pedulikan saat ini.Menuliskan pesan pada seseorang, Fahri bertanya, "apa mereka sudah sampai?"Beberapa detik selanjutnya, sebuah balasan sudah didapat oleh Fahri. "Sudah dan mereka sekarang berada di rumah sakit. Mungkin sudah bertemu dengan target." Begitulah isi dari chat yang dikirimkan seseorang itu."Bagus, terus pantau bagaimana keadaan mereka semua. Sebentar lagi, aku pasti menyusul ke sana," balas Fahri.Setelah mengirimkan balasan, lelaki itu menatap istri dan mertuanya. "Pa, sepertinya aku tidak bisa menemani cek pabrik kain di Surabaya. Adikku tiga hari lalu mengalami kecelakaan dan sampai saat ini, aku belum menjenguknya sama sekali.""Fandra kecelakaan? Di mana?" tanya orang tua Tiara."Di Malang, Pa. Kebetulan, sekarang dia menetap di sana. Usaha yang dirintis lebih bany
Happy Reading*****Semua orang yang ada di kamar rawat Fandra terdiam. Fatimah bahkan tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di hati bahwa dia tidak setuju dengan keputusan suaminya. Sementara itu, Fandra menunduk makin dalam. Apa yang ditakutkan terjadi. "Bapak kok bisa gitu?" ucap Wening. Suaranya bergetar hebat. "Mbak," panggil Fandra. Dia menggelengkan kepala. Tentu sebagai tanda agar Wening jangan menangis. Satu kelemahan lelaki itu adalah tangisan dan kesedihan pujaannya. "Apa pun keputusan Bapak. Kita harus menerimanya. Jika memang Bapak ingin membatalkan pernikahan kami. Saya akan menerimanya.""Fan, kenapa mudah sekali menyerah. Nggak harus dibatalkan, kita bisa menundanya sampai kakimu sembuh. Aku nggak keberatan." Wening kembali menyahuti perkataan tunangannya."Jika selamanya dia nggak sembuh-sembuh. Apakah kamu kan tetap menunggunya? Ingat umur, Nduk. Ada batas usia pada setiap perempuan. Kamu nggak bisa menunggu Fandra." Mahmud berbalik menatap putrinya."Pak, jangan
Happy Reading*****"Kenapa kamu nggak setuju, Ib? Bukankah sebelumnya kamu ingin melamar Mbak Wening bahkan kamu sudah mengumumkan di hadapan semua karyawan bahwa kalian akan bertunangan. Sekarang, kesempatan itu datang. Mengapa kamu menolak?" Dua lelaki dewasa itu saling tatap. Embun di mata Fandra bahkan sudah memenuhi seluruh korneanya. Hal yang sangat sulit untuk diucap terpaksa harus dia katakan juga. "Aku tidak mungkin berada di antara kesakitan kalian berdua," jawab Ibra enteng. Lalu, dia menatap Mahmud. "Pak, kalau cum masalah kaki Fandra yang tidak bisa berjalan. Kita bisa mengupayakan mencari dokter terbaik. Jaman sudah modern dan dunia kedokteran pun sudah semakin maju. Bukan hal sulit untuk menyembuhkan kakinya Fandra apalagi dia memiliki banyak uang.""Banyak setuju dengan syarat yang diajukan Fandra. Nak Ibra bisa mempertimbangkannya. Nggk ada lelaki yang lebih pantas selain dirimu saat ini." Membuka kenop pintu, Mahmud mengeluarkan kepala dan menengok kanan kiri. Lal
Happy Reading*****Tertawa untuk menutupi rasa gugupnya, Fahri pun berkata, "Lha, buat apa aku memata-matai kamu, Dik. Kurang kerjaan banget. Nggak ada untungnya juga.""Lha, ya nggak tahu. Makanya, aku tanya. Untuk apa Mas melakukan hal itu. Kalau memang ingin mengetahui sesuatu tentang aku, ya, tinggal tanya langsung saja. Kan beres. Benar nggak, Ib?" tanya Fandra pada Ibra yang sejak tadi cuma geleng-geleng kepala."Aku tidak mau ikut campur. Itu urusan kalian berdua," sahut Ibra.Fahri mengedarkan pandangan. Seperti sedang mencari-cari sesuatu. Ibra juga mengikuti arah pandang sahabatnya. Tahu persis apa yang sedang dicari, lelaki itu berdeham."Ada apa, Ib?" tanya Fandra pura-pura tidak mengetahui yang dilakukan oleh saudaranya."Tidak ada. Cuma heran saja sama masmu," jawab Ibra, "nyari apa, sih, Ri?""Nyari apa? Tidak ada yang aku cari. Cuma heran saja, kok, sepi? Selama tiga hari ini, kamu sendirian saja? Tidak ada yang menjaga sama sekali?" Fahri masih mengedarkan pandangan.
Happy Reading*****Saat itu, Fandra ingin sekali turun dari ranjang dan mengejar Mahmud yang membawa pergi kekasih hatinya. Namun, karena keterbatasan yang dimiliki, lelaki itu terpaksa cuma diam dan menonton kepergian Wening tanpa bisa berbuat apa pun. Air mata terus mengalir, tak peduli jika banyak yang melihat kesedihannya termasuk Fahri dan Ibra."Fan, jaga diri baik-baik. Maaf, aku nggak bisa menepati janji untuk selalu bersama dalam keadaan suka dan duka." Itulah kalimat yang Wening katakan terakhir kali. Sebuah perpisahan yang sangat menyedihkan. Fandra tidak bisa mencegah kepergian sang pujaan hati. Ibra dan Fahri juga terdiam menyaksikan semua itu. Mereka tidak ada yang berani mencegah kepergian si gadis.Terisak sepanjang perjalanan menuju rumah Rahmat, Wening tak mampu protes pada Mahmud. Gadis itu, hanya menangis dan terus menangis. Sebagai ibu, tentu Fatimah membujuk suaminya supaya tidak melakukan hal sekejam itu pada putri mereka. Namun, sayang seribu kali sayang. Lel