Keras. Hidungnya panjang dan lurus, tidak pesek dan lebar seperti kebanyakan hidung orang Apache. Lagi-lagi Azura mensyukuri darah kulit putih lelaki itu. Ia terkesiap pelan ketika matanya beralih ke mata Rodriguez dan mendapati lelaki itu ternyata sedang mengawasinya. Rambutnya tampak sangat hitam di sarung bantal yang putih bersih.“Kenapa kau diam saja?” bisik Azura.“Kebiasaan.” Hanya dengan susah payah Azura bisa tetap diam ketika lelaki itu mengangkat satu tangan dan mengambil sehelai rambut pirang berombak dari pipi Azura.Sambil menatapnya dengan saksama, ia menggosok-gosokkan rambut itu di antara jemari. Akhirnya ia menaruh helaian rambut dengan hati-hati di batal Azura.“Tapi selama beberapa tahun belakangan iniaku belum terbiasa terbangun dengan seorang wanita di sampingku. Aromamu enak.”“Terima kasih.”Laki-laki lain mungkin akan bertanya,“Kau pakai parfum apa?”atau“Aku suka wangiwangianmu.” Tapilelaki yang satu ini tidak banyak bicara, tidak banyak memuji, namun
Rodriguez menoleh tajam dan bertanya ketus,“Apa yang kau pandangi?”“Kau.”“Jangan begitu.”“Karena kau jadi gugup?”“Karena aku tidak suka dipandangi.”“Tidak ada lagi yang bisa dilihat.”“Lihat saja pemandangan di sekitarmu.”“Kapan kau menindik telingamu?”“Sudah lama.”“Kenapa?”“Kepingin saja.”“Aku suka melihat anting-anting itu di telingamu.” Ia kembali menoleh sekilas pada Azura." Di telingaku?” tanyanya sinis.“Maksudmu, aku pantas pakai anting-anting karena aku orang Indian?”Azura menahan diri untuk tidak memberi jawaban marah.Ia berkata pelan, “Tidak. Maksudku, di telingamu anting-anting itu jadi sangat menarik.”Ekspresi keras Rodriguez tersibak sejenak sebelum ia kembali memusatkan perhatian pada jalan raya dua jalur yang membawa mereka ke ketinggian White Mountains.“Aku juga pakai anting-anting. Mungkin kita bisa saling tukar.”Gurauan Azura tidak mendapat tanggapan.Azura mengira akan diabaikan sepenuhnya, tapi tak lama kemudian Rodriguez berkata, “Aku cuma mema
" apa ini?” gerutunya saat truknya mendaki bukit terakhir.Azura mengoleh ke sana-sini, berusaha melihat se-muanya sekaligus. Merasa sikapnya seperti anak kecil, ia melihatlihat dengan lebih tenang dan berusaha men-cerna apaapa yang dilihatnya.Tanah itu terletak di antara dua bukit rendah yangmembentuk ladam. Di salah satu tempat terbuka itu ada sebuah lapangan luas berpagar. Dua lelaki berkuda menggiring sekumpulan kecil kuda melalui gerbangnya.Sebuah lumbung yang sudah tua menempel di sisi gunung.Di sisi lainnya berdiri sebuah trailer yang catnya sudah lusuh dan terkelupas. Trailer itu sendiri seperti Sudah siap ambruk setiap saat.Persis di tengah tanah itu berdiri sebuah rumah stucco. Warna rumah itu menyatu dengan tembok ka rang yang menjulang hampir tegak lurus di belakangnya. Ru m ah itu sangat sesuai dengan pemandangan sekitar nya.Di rumah itu tampak banyak orang sedang bekerja, saling berteriak, dan memukulkan palu. Dari suatu tempat Azura mendengar bunyi nyaring gerga
“begini, suatu hari, Alice dan aku berbincang-bincang sambil minum kopi,” kata Johnny sambil mengusap keringat di dahinya dengan bandana.“Kami memutuskan untuk menagih piutangmu pada beberapa orang yang masih berutang atas pelayanan hukum yang kauberikan. Tapi kami tidak meminta uang, melainkan barang. Misalnya, Walter Kincaid yang menangani lantai rumah itu. Pete Deleon yang memasang ledeng.”Ia menyebutkan sederetan nama lagi dan sumbangan yang mereka berikan untuk pembangunan rumah itu.“beberapa barang yang kami peroleh untuk rumah ini tidak baru lagi, Mrs. Rodriguez,” kata Johnny dengan nada minta maaf,“tapi semuanya sudah dibersihkandan tampak seperti baru.”“Semuanya bagus sekali,” kata Azura sambil mengagumi keset Navaho tenunan tangan yang cantik sekali, yang dibuatkan nenek seseorang untuk Rodriguez.“Terima kasih untuk semuanya, dan panggil saja aku Azura.”Johnny mengangguk dengan tersenyum.“Satu-satunya perabot yang bisa kami dapatkan adalah perangkat kursi makan un
Beberapa minggu berikutnya membawa perubahan yang sungguh mengherankan dalam kehidupan mereka. Temanteman Rodriguez, di bawah pengawasan Johnny Derin water, berhasil menyelesaikan bagian dalam rumah itu. Rumah itu memang tidak mewah, tapi nyaman. Dengan seleranya yang bagus dan keterampilannya mendekor, Azura menata rumah itu hingga tampak seperti rumah model di majalah.begitu telepon dipasang, Azura menghubungiScottsdale dan mengatur pengiriman perabotan miliknya ke rumahnya yang baru. Ia menyebutkan barangbarang yang diinginkannya, termasuk mesin cuci dan penge ringnya, lalu mengecek ulang daftar tersebut dengan perusahaan pengangkut.Van pengangkut tiba beberapa hari kemudian. Ketika perabotan tersebut sedang diturunkan, Rodriguez datang berkuda dan dengan gesit meluncur turun dari pelana. Pertama kali melihatnya berkuda, napas Azura tersekat. Ia begitu gagah. Azura senang melihatnya mengenakan celana jeans lusuhnya, kemeja koboi, sepatu bot, topi, dan sarung tangan kerja dari
“Aku jadi tidak perlu takut dia terguling daritempatnya berbaring. Kaulihat tidak, sekarang dia semakin aktif?”Azura mengelap mulut dengan serbetdan menundukkan kepala.“Dan dia jadi tidak perlu tidur di antara kita lagi.”Ia melihat Rodriguez raguragu saat mengangkat garpunya ke mulut. Lelaki itu mengunyah dan menelan makanannya, lalu mendorong piringnya.“Aku mesti kerja.”Ia cepatcepat meninggalkan meja.“Tapi aku membuat pai untuk penutup.”“Mungkin nanti saja.”Dengan kecewa Azura memandangi bahu suaminya yang lebar menghilang di balik pintu. Mungkin seharusnya ia gembira karena mereka tidak bertengkar lagi tentang perabotan itu, tapi ia kecewa karena lelaki itu begitu tergesagesa meninggalkan meja, apalagi pada saat ia baru saja membuka pembicaraan tentang pengaturan tidur di antara mereka.Sejak mereka pindah ke rumah itu, Tony terpaksa diletakkan di antara mereka kalau tidur. Tapi Azura merasa bukan kehadiran bayi itu yang membuat Rodriguez tidak lagi menyentuhnya sejak
Dan rasa permusuhan itu masih terus bersarang di antara keduanya. Pada hari pernikahan Dokter Gene Dexter dengan Alice Rodriguez, Azura berusaha sedapat mungkin untuk tampil cerah, purapura bahwa hubungannya dengan Rodriguez sangat membahagiakan.Dekorasi untuk perkawinan itu tidak mewah, namun rumah itu tetap memancarkan suasana pesta. Semua tamu merasa senang. Azura sudah terlatih untuk menjadi nyonya rumah yang baik.Namun, Alice tak bisa dibohongi.“Aku tak percaya kau akhirnya menjadi istriku.”Gene dan Alice bermobil ke Santa Fe untuk berbulan madu. Kini, saat memeluk istrinya dengan lembut sambil membelai rambut hitamnya yang lurus, Gene masih tetap belum percaya bahwa mimpinya pada akhirnya menjadi kenyataan.“Gerejanya cantik sekali, bukan?” tanya Alice.“Kau yang cantik. Tapi sejak dulu pun kau selalu cantik.”“Azura bersusah payah menyelenggarakan pesta. Tak kusangka semuanya sebagus itu.”“Dia gadis yang baik,” gumam Gene sambil lalu, sambil mengecup pipi Alice yang halus.
Untuk mengenyahkan rasa malu Alice, Gene melepaskan sisa pakaian istrinya. Dibopongnya Alice, lalu dibawanyake tempat tidur dan dibaringkannya. Alice memejamkan mata sementara suaminya melepaskan pakaian.Lalu Gene menghampirinya, meraihnya ke dalampelukannya, dan mendekapnya erat. Rasa bahagia mengaliri tubuhnya. Alice pun gemetar.“Alice,” bisiknya,“jangan takut. Aku rela hanya memelukmu, selama yang kauinginkan. Aku tahu kau ta-kut dan aku mengerti sebabnya. Tapi aku bersumpah takkan pernah menyakitimu.”“Aku tahu, Gene. Aku tahu. Aku hanya… sudahbegitu lama dan…”“Aku tahu. Kau tidak perlu mengatakannya. Takkan terjadi apaapa sampai kau sendiri menghendakinya.”Dipeluknya Alice dengan protektif, sambil menahan hasratnya sendiri. Ia tahu ia mesti belajar bersabar dengan wanita ini. Alice sungguh layak mendapatkannya.Lambat laun Alice menjadi lebih santai, dan Genemenjadi lebih berani memberikan belaian padanya.Kulit wanita ini sangat lembut. Tubuhnya seperti tubuh wanita yan