Dua minggu kemudianSejak pertemuan terakhir di Bandung, aku tidak lagi pernah bertemu dengan Noni. Sebagai pengobat kerinduanku pada Noni, aku kencan dengan Anya, gadis yang aku kenal di Cafe dekat kantor. Anya benar-benar duplikasi Noni, baik secara postur tubuhnya, gaya bicaranya, juga perilakunya. Anya ternyata seorang penulis, dia sedang observasi tentang perilaku lelaki separuh baya yang menjadi tokoh utamanya. Aku dan Anya kencan di sebuah hotel dibilangan Jakarta Pusat, itu semua atas keinginan Anya, “Karena waktu itu kita gak jadi, maka hari ini aku ajak om ketemu.”“Iya Anya.. om minta maaf, waktu itu om cukup sibuk sih.”“Aku lagi nulis novel om, judulnya Cinta Beda Usia. Nah, tokoh utamanya itu lelaki seusia om..”“Jadi? Ceritanya kamu lagi observasi nih?”Anya jelaskan padaku, bahwa tokoh dalam ceritanya sangat mirip dengan karakter aku. Banyak sekali pertanyaan yang diajukan Anya, terutama cara aku memperlakukan para gadis muda yang aku kencani. Sampailah aku menceri
Setelah pertemuanku dengan Anya saat istirahat jam makan siang, aku kembali ke kantor. Berbincang-bincang dengan pak Anggoro tentang prospek perusahaan. Pak Anggoro meminta agar aku ke Surabaya untuk membenahi kantor cabang yang baru dibuka di sana. “Pak Danu keberatan gak kalau saya tugaskan ke Surabaya?” tanya pak Anggoro. “Ya gaklah pak, selalu siap ditugaskan kemana pun, saya malah senang pak.”Pak Anggoro jelaskan apa saja yang harus aku urus di kantor cabang Surabaya. Selama satu minggu itu aku mendapat fasilitas menginap di hotel. Di Bandung tugasku dianggap sudah selesai, karena sudah berjalan sesuai dengan harapan beliau. Menjelang purnatugas, aku memang harus memaksimalkan pelayanan terhadap perusahaan. Aku sangat bersyukur masih dibutuhkan tenaga dan pemikiranku, itulah satu bukti kalau perusahaan menghargai profesionalitasku. “Oh ya.. saya lupa, kemarin Grace titip salam pada pak Danu, udah lama katanya gak ketemu.”“Terima kasih pak.. saya memang sudah lama gak ketemu
Adriana menatap Noni yang ada di sampingku, seakan-akan dia menerima apa yang dikatakan Noni. Aku yang berada diantara mereka berdua, melihat sebuah realitas sosial yang pada kenyataannya dialami oleh anakku sendiri. Noni dan Adriana adalah cerminan anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua. Sementara, apa yang dialami Rani, anakku pun tidak jauh berbeda. “Aku selalu iri sama kamu Non.. sekarang kamu penuh kasih sayang dari kedua orang tua kamu.”“Dri.. kamu jangan lihat aku sekarang, kamu gak tahu apa yang aku alami selama sepuluh tahun. Aku hanya hidup berdua dengan nenek, dan aku harus menafkahi nenek, Dri.”Aku berusaha menengah, “Kalian berdua itu sama-sama hebat, bisa survive ditengah kesulitan hidup.”Seketika suasana hening, kami larut dalam pikiran masing-masing. Aku tidak bisa membayangkan kalau Radith bukanlah lelaki yang bertanggung jawab, bisa-bisa kehidupan Rani lebih buruk dari Adriana dan Noni. “Sekarang, sebaiknya kalian mensyukuri apa yang s
Keesokan harinya Sebelum ke Surabaya, aku sempatkan untuk sarapan pagi dengan keluarga. Ada suasana yang berbeda, Rani tidak lagi berada diantara kami. Hanya ada isteriku dan Priska, aku baru merasa kehilangan Rani. “Sri.. kalau kamu rindu dengan Rani, kamu bisa nginap di rumahnya selama mas di Surabaya.” Aku tatap wajah isteriku yang begitu murung. “Nanti saja mas.. Priska gak mungkin aku tinggal sendiri di rumah.”“Kalau Mama kangen sama kak Rani, aku temani Mama ke sana.” Priska menimpali. Sejak menikah, Rani memang memilih untuk tinggal di rumah yang sudah disiapkan Radith. Dia ingin hidup mandiri, ingin merasakan hidup berumah tangga tanpa dicampur orang tua. Pernikahan Rani dan Radith memang hanya dilakukan antar keluarga, tanpa ada resepsi. Itu memang sudah menjadi kesepakatan antara aku dengan besanku. Untuk menghindari stigma negatif terhadap Rani dan Radith. Kegagalan mengawasi Rani, membuat isteriku lebih hati-hati dalam menjaga Priska. Sri tidak ingin hal yang sama t
Aku melihat kalau Ita tidak begitu nyaman saat berbicara denganku. Setelah aku memberitahukan nomor kamarku, Ita tergesa-gesa segera pamit. Aku hanya bisa menyaksikan kepergiannya dengan menyisakan banyak pertanyaan dibenakku. Setelah urusanku di resepsionis selesai, aku segera menuju ke lift untuk naik ke lantai 7. Sampai di lantai 7 aku menyusuri koridor hotel mencari kamar 707. Sebelum masuk ke kamar, seorang gadis keluar dari kamar 706 dan melintas di depan kamarku. Aku tidak terlalu menghiraukannya, karena pikiranku masih tertuju pada Ita dan Kalina. Aku membuka ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk sembari mengaso di tempat tidur. Salah satu pesan masuk dari Kalina, [Om Danu.. kalau tidak keberatan, boleh aku tahu nomor di Hotel mana om menginap? Jangan lupa kasih tahu nomor kamarnya, ya?] itulah pesan dari Kalina. “Waduh! Godaan apa lagi nih?” tanyaku dalam hati. Apa iya setiap pertemuan dengan seorang gadis selalu berakhir di atas Ranjang? Pertanyaan seperti itu mengha
Sebelum membuka pintu hatiku berdebar, aku menebak-nebak apakah Kalina atau Ita yang datang. Perlahan-lahan aku buka pintu kamar, ternyata yang berdiri dihadapanku bukanlah Kalina atau pun Ita. Tapi, seorang gadis belia yang cantik, molek dengan dandanan yang juga modis. “Adik cari siapa?” tanyaku “Hhhmm.. maaf om, kayaknya aku salah kamar.” Jawab gadis itu. Aku masih mencoba menahannya dengan sebuah pertanyaan, “Emang kamu cari kamar nomor berapa?”“Nomor kamarnya sih benar, om. Tapi, orangnya bukan om.”Aku merasa aneh dengan jawaban gadis itu, kok bisa nomor kamarnya sama. Tapi, orang yang dicarinya malah beda. Aku dan gadis itu terus bicara di depan kamar. “Coba telepon dulu deh, kok bisa salah kamar?”Gadis itu mencoba mendial ponselnya, namun rupanya tidak tersambung. “Masuk dulu aja yuk! Gak apa-apa kok, om juga hanya sendiri di kamar.”“Gak usah om.. di luar aja.”“Kenapa? Takut ya sama Om? Jangan khawatir, om tidak akan tutup pintunya.” aku berusaha untuk meyakini dia.
Flora yang merasa kurang nyaman atas kedatangan Ita, berdiri dari duduknya dan pamit untuk meninggalkan kamar ku. “Yaudah, om.. aku pamit dulu ya.” Flora menyalami aku dan Ita sembari berlalu dari kamarku. “Okey, Flo.. nanti kasih tahu saja sama Peter, kalau kamu sudah ketemu om.” Aku katakan itu saat Flora keluar dari kamarku. Ita masih tercengang melihat situasi yang ada di kamar itu, dia tanya padaku, “Itu siapa, om? Tamu dari kantor?”“Iya Ita, dia diutus untuk menyambut kedatangan om di Surabaya.”Aku menutup pintu kamar dan mengajak Ita berbicara di tempat tidur. “Kamu sudah berapa hari nginap di hotel ini?”“Baru dua hari, om.. rencananya satu minggu di hotel ini. Kebetulan calon suamiku lagi ada proyek di Surabaya.”Ita menceritakan kalau dia sehari-hari hanya di kamar saat calon suaminya bertemu klien. Dia merasa sangat menderita menghadapi keadaan seperti itu.“Tapi, om lihat kamu begitu sehat sekarang ini? Tubuh kamu semakin sintal?”“Memang sih, om.. Gimana gak sehat?
Begitu pintu terbuka, dihadapanku berdiri seorang lelaki berusia muda dengan tubuh tegap dan atletis. Hatiku semakin berdebar, aku merasa sedang berhadapan dengan sebuah masalah.“Maaf.. bung siapa? Mau cari siapa?” tanyaku.Lelaki itu melongok-longok ke dalam kamar seakan mencari seseorang. Tanpa mengindahkan pertanyaanku, lelaki itu seketika berteriak,“Ita!! Keluar kamu!!”“Sebaiknya bung masuk saja, tidak elok berteriak di depan kamar.” aku membuka pintu kamar lebih lebar untuk mempersilahkannya masuk.“Tidak penting!!” lelaki itu menolak tawaranku dengan tatapan tajam.Ita dengan penuh ketakutan menghampiri laki-laki itu, tanpa bicara sepatah kata pun dia berlalu begitu saja dengan lelaki itu. Aku hanya bisa memandang kepergian Ita dengan perasaan sedih. Lelaki itu menyeret Ita dengan sekuat tenaganya.Seorang karyawan hotel yang berpapasan dengan lelaki itu memberikan hormat sambil menundukkan kepala. Aku penasaran siapa lelaki itu? Kok karyawan hotel sangat menghormatinya. Saat