[Pa, papa kapan pulang bawa mama? Papa jangan ikut pergi ya. Kami sama siapa kalau papa ikut pergi kayak mama.]Pesan yang Brian kirim dari nomor ponsel Satria pagi tadi baru bisa Arsen baca sore ini. Pria itu baru saja turun dari kapal dan memilih menunggu ke pencarian berikut.Sudah satu minggu tragedi jatuhnya pesawat AJT66 menggemparkan tanah air. Tim yang dikirim dari beberapa negara sudah dikerahkan untuk mencari badan pesawat yang kemungkinan jatuh di perairan laut lepas.Arsen memaksa untuk ikut mencari bersama Badan SAR Nasional. Selama seminggu, dia tidak merawat diri sama sekali. Rambut di rahangnya mulai muncul. Rambut juga acak-acakan. Serta cuaca panas di atas laut membuat kulitnya tidak seputih biasanya.Pria itu duduk di tepi pantai, memandang jauh ke depan. Harapannya masih tinggi sebelum badan pesawat benar-benar ditemukan. Dia masih berharap, siapa tau pesawat bisa mendarat dengan baik sebelum akhirnya meledak di dekat laut. Hingga penumpang selamat.“Allice, kamu h
Dua kali. Bayangkan saja ini kedua kalinya Arsen berada disituasi yang sama. Ditinggal selama-lamanya oleh istri. Jangan katakan Arsen untuk bersabar. Jangan minta dia untuk tabah. Nyatanya dia merasa putus asa saat ini. Hatinya hingga hidupnya merasa hancur saat ini juga. Arsen melupakan tujuannya masuk ke kamar. Dia lupa kalau Anna dan Brian sedang menunggu di bawah untuk makan bersama. Dia justru meraih figura yang terduduk di atas nakas. Itu adalah foto Allice dan Arsen. Pria itu menatap Allice, sedangkan sang istri tengah tertawa. “Aku rindu tawamu, Sayang ....” Jemari Arsen bergetar mengusap permukaan foto Allice. Cukup lama Arsen bicara sambil duduk di lantai. Mengucap banyak hal pada Allice di dalam foto. “Aku boleh ikut denganmu, Allice?” Arsen menunduk tak berdaya. Wajahnya sudah basah karena air mata. Pikirannya kacau. Apalagi selama 10 hari ini, dia makan hanya sedikit. Jarang tidur. Hal itu semakin memicu tingkat stress di otak dan rasa sakit di hatinya. Dengan pena
Sudah tiga pekan berlalu, suasana hati Dhea masih juga belum bersemi kembali. Layaknya hidup tanpa punya arah dan tujuan yang jelas, begitulah kondisinya saat ini.Astri yang mendapati Dhea tengah melamun, menghadap jendela kamarnya yang sengaja dibuka lebar, tak bisa untuk tidak menghampiri gadis berhati rapuh di sana.“Kamu tidak sarapan dulu? Masakan kesukaan kamu sudah matang loh,” cetus Astri tetap ramah dan berusaha mengajak Dhea mengobrol layaknya tak terjadi apa-apa.Sejenak Dhea membalikkan badan. Memberi senyum tipis, lalu kembali membelakangi posisi kakak Hexa yang masih setia menemaninya di sini.“Kakak duluan aja. Aku masih belum lapar,” tolak Dhea halus.Untuk kedua kalinya, Astri menghela napas panjang. Dia memang tidak bisa merasakan apa yang Dhea derita, tapi kehilangan sosok Hexa jelas membuat Astri juga sengsara.Tangan Astri menyentuh bahu gadis cantik di hadapannya dengan lembut. “Aku tahu ini tidak mudah buat kamu.”“Tapi percayalah, Dhea, seandainya Hexa melihat
"Apa semuanya sudah siap?"Lucas menyorot tegas sosok pria berjas hitam dengan dasi senada yang tak lain adalah Cakra, asisten Arsen di kantor."Sudah, Tuan Besar. Sebentar lagi Tuan Arsen akan sampai," jawab Cakra lugas dan tetap sopan.Kali ini, Lucas memilih menganggukkan kepala tanpa banyak bicara. Rasa percayanya pada sang putra membuat Lucas langsung melenggang masuk ke ruang pertemuan.Sedangkan Cakra, pria dengan rambut klimis itu tampak gelisah menunggu sang bos yang belum juga kelihatan batang hidungnya."Tidak mungkin Tuan Arsen lupa bukan? Aku sudah meninggalkan pesan pagi tadi untuk agendanya hari ini," gumam Cakra sambil mondar-mandir depan ruang meeting.Walau sebenarnya masih tersisa dua belas menit lagi menuju sesi pembukaan meeting, tetapi tetap sebetulnya Arsen harus sudah tiba di ruangan.Hanya saja, mengapa Arsen belum juga ada kabar?Jika sampai Arsen tidak hadir pada meeting kali ini, Cakra sungguh tak tahu nasib buruk apa yang akan menimpa sang bos.Karena masa
Bunyi banyaknya pesan masuk pada sebuah ponsel berwarna silver, membuat seseorang mencari keberadaannya.Bunyi itu tidak hanya sekali. Tapi berulang.“Suara apa itu? Bukankah disini tidak ada yang menyembunyikan HP?” tanya pria berkemeja hitam lengan pendek.Seorang pria lainnya, dengan pakaian yang sama karena itu adalah baju seragam dengan logo asing, dia mendekat seraya menjawab, “HP apa?”Netra pria berambut ikal itu menunjuk pada benda pipih yang tergeletak di atas pasir putih.Ya, mereka bertiga sedang berada di sebuah pantai. Salah satu dari mereka mengambil HP itu lalu melihat layar yang terkunci. tapi mereka bisa menangkap banyak sekali pesan masuk dari nama kontak yang sama.“Matikan! Bisa bisa mampus kita kalau ketahuan memegang HP.” Titah pria bernama Frank.Benar seperti yang dikatakan, mereka disana tidak ada yang boleh memegang alat komunikasi apapun. Hanya orang tertentu yang diperbolehkan“Mungkin punya orang-orang yang terdampar,” sahut teman lainnya.Frank mengambil
"Apa kakimu sudah lebih baik?" tanya seseorang pada pasiennya.Pria itu mencoba menggerakkan kaki kanannya tapi yang ada justru dia meringis kesakitan."Masih sakit," jawab Hexa.Allice menghela nafasnya. Dia melepas alat tensi dari lengan Hexa yang kini sedang menjadi pasiennya.“Aku rasa kakimu benar-benar harus di gibs, Hexa. Itu lebih baik. Jangan dulu keluyuran merawat pasien lainnya,” kesal Allice.Bagaimana tidak, sejak mereka selamat dari maut. Dalam kondisi luka, Hexa masih kesana kemari untuk merawat korban lainnya yang menurutnya masih bisa diselamatkan.Ya, ini sebuah kesempatan hidup dari Tuhan yang tidak bisa mereka sia-siakan.Mereka adalah dua dari beberapa orang yang selamat dari kecelakaan pesawat.Jika mengingat kejadian itu, merupakan suatu kengerian yang nyata. Pesawat hilang kendali ketika radar mendadak hilang. Pilot mulai membawa mereka entah kemana. yang pasti sudah keluar dari jalur. Cukup lama pilot mencoba mencari lokasi yang menurutnya tepat untuk melakuka
“Apa kamu melihat ponselku terjatuh disini? Karena aku merasa membawanya ketika mencoba keluar dari pesawat itu,” tanya Allice masih berusaha membujuk. Bahkan dia bisa menunjukkan ekspresi sendunya meski dua pengawal itu masih nampak datar menatapnya. Ah, tapi setidaknya mereka tidak sedang memarahinya. “Aku memiliki dua anak kembar. Mereka belum genap 6 tahun. Kamu bisa bayangkan bagaimana sedihnya mereka saat menyangka kalau orang tuanya menghilang?” Mata Allice bahkan sampai berkaca-kaca karena mengingat bagaimana kesedihan Anna dan Brian. Apalagi selama ini yang mengurus kedua anaknya adalah dirinya. Allice menunduk mengusap air matanya. “Setidaknya aku ingin mengabarkan kalau aku masih hidup,” lirihnya. Frank sempat memikirkan perkataan Allice. Jangankan perempuan itu yang baru 3 minggu ada disini. Dia sudah hampir 5 tahun terjebak di tempat ini dan tak bisa keluar. Dia juga memiliki istri dan satu anak bayi kala itu. Entah bagaimana kabar mereka. Saat sedang melamun, Frank
"Kamu?"Kedua wanita itu sama-sama menunjuk saat keduanya bertatapan. Namun sebelum Allice membuka mulutnya lagi, lawan bicaranya langsung menggeleng samar. Memberi kode supaya Allice diam.Untunglah Allice mengerti meski dia masih terkejut bertemu wanita itu disini.Nadia. Bagaimana bisa wanita yang sudah lama menghilang ternyata ada di depannya. Bahkan di wilayah yang nampaknya sangat asing baginya."K-Kamu diperintahkan Tuan Oscar untuk menemuinya," ucap Nadia terlihat gugup.Allice masih terdiam meneliti pakaian yang Nadia kenakan. Terlihat seksi namun anggun. Jika saja Allice tidak mengenal Nadia sejak bertahun-tahun lamanya, mungkin dia tak akan mengenali.Mulai dari nada bicara yang lebih lembut dari pada sebelumnya. Rambut hitam kini sudah di cat menjadi blonde dan berombak. Make up juga lebih natural. Sepertinya Nadia mendapatkan perawatan yang sangat baik disini."Halo, Tuan Oscar tidak bisa menunggu terlalu lama." Nadia menggerakkan tangannya di depan wajah Allice. Membuat