Allice mencoba mengangkat tubuhnya untuk naik ke permukaan laut. Tapi kakinya sungguh teramat sakit jika bergerak. Ingin pula berteriak memanggil Brian, namun dia berada di dalam air. Sayangnya gerakan Allice yang berlebihan membuat air laut perlahan masuk ke selang udara. Sementara Brian sudah semakin jauh, jagoan kecil itu hobi berenang. Jadi dia bisa dengan lihai bermain disana. Memperhatikan penyu, tanpa menyentuh. Karena penyu merupakan hewan yang sensitif jika sembarang disentuh. Setelah beberapa menit, Brian baru sadar jika mamanya tidak mengikuti. ‘Mama dimana, ya?’ pikirnya dalam hati. Akhirnya Brian naik ke permukaan melihat ke sekitar. “Kak Brian!” Anna nampak sumringah melambaikan tangan pada saudara kembarnya itu. Tapi Brian justru menunjukkan ekspresi panik lalu kembali menyelam. Kode itu membuat Arsen mengerutkan keningnya tajam. Dia sudah mulai merasa ada yang tak beres. Terlebih dia tidak bisa melihat selang udara Allice yang seharusnya nampak di permukaan. Ti
Allice sejak tadi memikirkan kenapa Arsen tidak ada di rumah sakit. Pria itu hanya meminta salah satu anak buahnya untuk menjemput dan mengantar ke resort.Ingin dia menghubungi suaminya itu, tapi tas dan ponsel kata pengawal sudah Arsen bawa.“Ma, kenapa melamun?” tanya Brian melihat ibunya diam sejak mobil keluar dari area rumah sakit.“Melamun? Tidak. Mama hanya mengantuk,” jawab Allice berbohong.Dia lalu menunduk, melihat Anna yang tidur dengan menjadikan pahanya sebagai bantal. Sedangkan kaki Anna berada di pangkuan Brian.“Kamu tidak mengantuk, Sayang?” Allice kembali menatap Brian, memberikan senyuman hangatnya untuk pria kecil itu.Brian menggeleng. “Kalau aku mengantuk, nanti mama bagaimana? Susah gendong kita bersamaan.”“Ah, anak mama ini suka sok dewasa,” canda Allice mengulurkan tangan kanan untuk mengusap kepala Brian.“Hish, mama jangan buat rambut aku berantakan.” Brian langsung membenarkan rambutnya.“Hahaha ... oke oke. Gimana kalau kita main tebak-tebakan supaya ti
Nadya mengatakan kalau ada beberapa preman yang datang ke panti asuhan. Kemudian mengacak-acak panti itu. Hingga membuat ibu panti terluka.Arsen tak bisa menolak untuk tidak segera datang. Bagaimanapun, ibu panti adalah ibu angkat Safira dan Nadya. Tak mungkin Arsen tutup mata membiarkan wanita yang Safira sayang itu sakit.Kini semua sudah membaik. Arsen baru bisa masuk ke kamar yang selalu disediakan untuknya kalau sedang bermalam di panti ini.“Allice masih belum menjawab pesanku?” gumam Arsen seraya menarik ponsel dari dalam sakunya.Entah mengapa dia merasa tak tenang melihat tak ada balasan apapun dari Allice. Juga wanita itu tidak menelfon balik.Padahal biasanya Allice kalau marah selalu mengirim banyak pesan. Hingga Arsen makin kesal dan menganggap semua pesan itu hanyalah sampah.Tapi sekarang, tak ada satupun. Apa Allice tidak marah? Atau justru kali ini lebih marah dari biasanya? Pikir Arsen.“Ck! Apa peduliku?” Arsen melempar ponselnya ke atas ranjang. Kemudian dia melep
Bibir Allice mengulas senyum ketika telefon dari Arsen berakhir begitu saja.“Entah terpaksa atau tidak, tapi aku rasa kamu memang cemburu, Arsen,” gumamnya dalam hati.Allice kemudian meletakkan telefon di meja resepsionis, kemudian membungkuk singkat sambil mengucapkan terimakasih.Wanita itu kembali ke kamarnya terburu-buru. Dia lalu melihat Anna yang sebelumnya masih tidur di ranjang kini berpindah dalam gendongan seorang pria separuh baya.“Ayah, Anna terbangun lagi?” tanya Allice mendekat, lalu mengusap punggung gadis kecilnya itu.“Dia tadi menangis mencari papanya,” bisik Pak Satria, ayah kandung Allice.Pagi tadi, Satria menghubungi Allice setelah melihat foto di story chat. Dimana Allice memajang foto Brian dan Anna dengan background matahari terbit.Satria yang kebetulan ada kepentingan bisnis, mengecek bahan dasar produksi untuk pabriknya di Raja Ampat. Dia pun menghubungi Allice. Ternyata mereka ada di pulau yang sama.Jadilah Satria menenami Allice jalan-jalan. Namun say
Di ruang makan, Allice tetap tak bisa menyembunyikan senyumannya. Buket bunga dan pelukan itu benar-benar membuang rasa kesalnya akibat ulah Arsen di Raja Ampat kemarin lusa.“Aku nanti pulang malam,” ucap Arsen datar di sela mengunyah sarapan paginya.Allice mengangguk ringan, tak menjawab dengan kata-kata karena dia baru saja memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulut.“Papa sibuk banget. Kita baru pulang udah ditinggal kerja. Terus pulangnya malem,” ucap Anna.Arsen mengusap kepala Anna, karena gadis itu duduk paling dekat dengannya.“Iya, papa juga kerja untuk kalian. Kamu jangan banyak bermain. Besok harus bisa sekolah, okey,” ujar Arsen.“Okey, Papa ....”Allice merasa semakin kesini perubahan Arsen sedikit nampak. Sedikit ya ... entah karena tak enak pada Nadya menolak sarapan bersama. Atau memang Arsen sudah mulai menerima Allice sedikit demi sedikit.Arsen yang dulu. Dia sulit untuk berada satu ruangan dengan Allice, meski hanya sekedar makan. Tapi sekarang, Allice tak perlu
Hening. Allice tak tau apa Arsen disana sedang memejamkan mata atau sedang berfikir. Tak mungkin juga baru merebah sudah terlelap.“Ini hanya pertanyaan saja, Arsen,” ucap Allice lemah.“Hem. Jangan tanyakan hal yang tak penting. Pastikan alat kontrasepsimu terpasang dengan baik,” jawab Arsen pada akhirnya.Meski dijawab dengan nada datar dan lirih, namun Allice bisa menarik kesimpulan kalau Arsen tak menginginkan dirinya hamil lagi.Allice pun tersenyum miris dan bergumam dalam hati, “Alat KB? Aku bahkan tak pernah memakai itu. Sebelum hari itu, kamu sangat jarang menyentuhku lagi, Arsen. Aku hanya mengandalkan pil penunda kehamilan.”Ya, untuk apa menggunakan alat KB kalau mereka saja sangat-sangat jarang melakukan itu. Allice hanya menyediakan pil penunda kehamilan yang dia minum setelah berhubungan badan.Tapi bukan tidak mungkin kalau pil itu tak terlalu berfungsi dengan baik.“Tidak, aku juga tak ingin hamil lagi,” pikir Eleana.*** Kegiatan pagi hari seperti biasa. Al
“Mama kenapa?” tanya Anna melihat ibunya sedikit pucat siang ini.Allice menggeleng. “Mama Cuma ngantuk. Tapi mama harus hadiri rapat. Kamu mau ke kantor papa dulu?”Anna yang duduk di kursi panjang halaman sekolah tersenyum pertanda dia menyetujuinya. Pasalnya, Arsen berjanji akan mengajak jalan-jalan ke taman lalu pergi ke rumah oma dan opa setelahnya.Tapi sayangnya, Allice dan Arsen ada rapat masing-masing. Jadi hanya supir yang sedang menunggu di depan sekolah.Allice mengusap kepala Anna, kemudian menoleh ke pintu masuk. Mereka masih menunggu Brian yang katanya sedang ke toilet sebentar.“Kalian jajan apa tadi? Apa Brian sakit perut?” tanya Allice khawatir.“Kak Brian ngga jajan. Tapi tadi Kak Brian ngabisin nasinya Anna. Soalnya Anna kenyang. Apa Kak Brian sakit gara-gara Anna?” Gadis kecil itu jadi menunjukkan raut bersalahnya.Namun belum juga Allice menjawab, Brian sudah lebih dulu muncul bersama Jasmine.“Aaaah, rupanya lama di dalam karena menunggu Jasmine?” ledek
Allice mencoba menghubungi Arsen. Pasalnya ban mobil kempes saat dia sudah setengah jalan menuju kantor suaminya.Tapi justru nomor pria itu tak bisa dihubungi.“Ish, dia sedang apa, sih?” gerutu Allice.Allice berdiri di samping mobilnya. Melihat padatnya jalanan ibu kota. Tapi dia belum menemukan taksi satupun.Montir yang dia pesan juga belum datang. Mungkin masih beberapa menit lagi.Dahi Allice mengernyit, saat kepalanya mulai pusing terkena teriknya matahari siang.“Ssssh ....” Dia mendesis sembari memijit dahinya.Dicoba lagi menghubungi Arsen. Masih saja sama.Tin! Tin! Tin!Suara klakson membuat Allice menoleh. Ah, rupanya Tuhan masih sayang Allice. Mobil Hexa terlihat berhenti di depan mobil Allice.Segera Allice mendekati kaca mobil bagian depan yang dibuka oleh Hexa.“Mau ke kantor Arsen?”“Iya, mobilmu mogok?” Hexa menunjuk ke belakang dengan gerakan kepalanya.Allice mengangguk. “Aku ikut kamu ya?”“Hem, masuk.”Tanpa basa basi, Allice membuka pintu mobil. Bisa-bisa dia