Napas Harger tercekat. Dia diam beberapa saat untuk berpikir lamat. Daisy mungkin akan menunggu sampai sebuah jawaban terungkap dari bibirnya. Mula – mula yang harus Harger lakukan hanyalah memastikan sang hakim tidak terlibat untuk sementara waktu. Dia langsung bergegas memisahkan diri. Memungut satu demi satu kain tercecer asal di lantai, dan memastikan dia mengenakan semua detail dengan utuh.“Kau harus pura – pura tidur!”Harger menarik selimut tebal. Membiarkan tubuh sang hakim terbungkus sebagian, lalu cekatan menendang sisa – sisa pakaian Deu yang teronggok ke kolong ranjang.“Tunggu sebentar, Daisy,” ucap Harger setengah berteriak. Jari – jari tangannya menyisir rambut yang teracak, lalu tanpa membayangkan Daisy akan membeku di tempat, Harger segera membuka pintu kamar.“Kau bilang apa tadi?” Dia bertanya seraya tersenyum kaku. Daisy seperti menerima sengatan hebat sehingga wanita itu perlu beberapa saat untuk mengerjap. “Deu ... apa dia sudah kembali?”Ntah mengapa, rasa gu
Setelah rambut membasah nyaris separuh kering. Harger mengeluarkan perkakas alat make-up. Berjalan cepat ke arah sang hakim yang menunggu dengan sabar sejak dia masuk dan keluar dari kamar mandi.Masih di satu titik yang sama. Harger mendapati kening sang hakim bergenyit dalam saat mengamati tangan – tangannya secara cekatan mengeluarkan satu benda asing bagi pria itu. Perlengkapan make – up yang dibeli bersama Daisy di pasar. Sekarang Harger akan sangat membutuhnya.Dia mengeluarkan bagian penting pertama. Pelembab. Dan akan segera mengaplikasikan di kulit leher sang hakim. Itu nyaris ....Sebelum Deu mengelak diliputi alis yang bertaut heran. Harger memutar mata malas. “Percaya padaku,” ucapnya. Tak tanggung – tanggung segera menangkap tubuh sang hakim tetap diam di tempat. Semua proses pemberian pelembab berjalan cukup tak begitu mulus; sesekali Deu mengelak geli, dan suara kekehan pria itu nyaris menyerupai erangan tak tertahan.“Diam-lah, Deu!” Bagaimanapun Harger memutuskan seg
“Harger bilang kau sering merasa kelelahan, Daisy. Jadi aku memutuskan untuk meminta Asrof membantu pekerjaan tuan hamburger, dan Miley bertugas membantumu di dapur.”Akan tetapi, betapa pun sang hakim sedang nyata – nyata dihakimi oleh sorot mata Daisy yang garang, pria itu tetap bersikap sangat tenang. Lengan membatas di garis bahu Harger telah meninggalkan. Harger merasa sedikit ringan ketika sang hakim berjalan pelan; duduk mengenyakkan bahu di sandara sofa setelah meletakkan tas jinjing ke atas meja.“Kali ini aku tidak menerima bantahan.”Sang hakim seolah sudah mengerti apa dan mana yang akan Daisy katakan ketika wanita tua itu mengambil tindakan yang sama, menyampirkan tubuh di atas di atas sofa dengan tegang. Raut wajah keberatan mengatakan semuanya. Harger meringis saat Daisy memindahkan iris mata menatapnya ... seolah; Harger perlu membantunya membujuk sang hakim agar keputusan yang telah dibuat segera diurungkan.Harger segera menunduk; anggap saja dia tak bisa melakukan a
Hanya ada satu momen, di mana hasil rajutan akan segera selesai. Harger hanya perlu melakukan tahapan terakhir; menutup seluruh rumpang tersisa dengan pola yang sama, lalu mengunci di satu titik paling penting. Sempurna ....Harger tersenyum tipis mengamati topi hasil buatan tangan. Semua didominasi hitam, tetapi di sisi samping memiliki uraian huruf yang dirajut dengan benang berwarna berbeda, cokelat keemasan yang dibeli di pasar waktu itu. Nama tengah sang hakim; Harger merasa puas saat ujung jarinya meraba teksur huruf – huruf yang timbul serasi, terlihat mencolok walau sudah sengaja dibuat cukup kecil.Setelah memastikan semua itu dengan baik, termasuk bagaimana topi rajut buatannya memiliki kelenturan solid, Harger segera mencondongkan tubuhnya untuk mengambil gunting. Namun, dia baru mengingat satu hal begitu tindakannya dibatasi oleh seseorang.Harger lupa bahwa satu jam lalu, setelah sarapan pagi selesai, sang hakim datang ikut duduk di atas sofa, lalu meminta izin untuk tidu
Kotoran kuda; lembek, setengah basah dan setengah keras, sedang dalam proses eksekusi yang dilakukan Mr. Thamlin. Pria dengan perut bulat itu fokus mengumpulkan kotoran – kotoran di sisi satu ke sisi lainnya, yang akan dijual ke pemilik pabrik pembuatan pupuk. Ini merupakan prospek bagus. Menjual kotoran kuda adalah keuntungan solid, selain dari pada untuk mengisi kegiatan di hari tua.Mr. Thamlin membiarkan alat penggaruk kotoran, panjang – panjang terulur hingga menyentuh pagar kandang. Hanya perlu melakukan sesuatu pada sisa – sisa kotoran kuda, kemudian memasukkannya ke dalam bak. Memang butuh sedikit keterlatenan. Mr. Thamlin masih begitu fokus menyelesaikan satu pekerjaan secara serius. Hanya, kadang – kadang akan melirik ke arah French, ketika kepala pengurus kuda tengah sibuk menyikat kaki kuda.Mula – mula tidak ditemukan hal ganjil, sehingga lewat ketenangan yang dimiliki, Mr. Thamlin kembali melanjutkan kegiatan lebih giat. Nyaris selesai, hanya perlu mengerjakan satu kotor
Harger terpaku sesaat pada sebentuk tubuh pria; separuh tenggelam di antara air jernih; hanya seperempat bahu telanjang terungkap dengan butiran – butiran air mengalir berusaha menjadikannya kering. Tidak banyak yang dilakukan pria itu di sana, seperti hanya berendam atau menunggu momen yang tepat untuk menyelam ke dalam air.Harger menelan ludah sebentar, kemudian segera membuka pintu mobil jip untuk kemudian mengumpulkan perlengkapan yang telah disediakan. “Terima kasih atas tumpanganmu, French. Kau boleh pergi, nanti aku akan pulang bersama Deu.”Dengan handuk dibiarkan menjuntai di garis bahu dan sebelah lengan mendekap ember mandi berisi sabun maupun sampo, Harger melambaikan tangan kepada French yang menyalakan mesin mobil. Pria itu tersenyum tipis seraya berpamitan pergi.Lurus – lurus iris mata Harger menunggu sampai mobil jip meninggalkan daerah dengan limpasan air jernih dan tenang; sebuah sungai di mana bebatuan terlihat lebih mencolok, bahkan pohon – pohon menjulang sanga
Sudah Harger duga. Dia melotot tak percaya mengamati setiap detil langkah sang hakim adalah untuk membuatnya tak berdaya di tempat. Secara naluri Harger menengadah dan menyengir lebar saat sang hakim sudah menjulang tinggi di hadapannya. Tubuh pria yang basah, tak pernah luput dari air – air yang menetes. “Kenapa kau ke sini, Yang Mulia? Mandilah dengan cepat. Setelah itu, kita akan pulang.” Harger melakukan gerakan tangan mendorong. Harap – harap sang hakim segera menyingkir, tetapi dia hanya menciptakan sebuah tujuan konyol. Cengirannya semakin tidak terkendali mendapati wajah luar biasa datar. Bahkan tubuh Harger terlonjak saat telapak tangan dingin itu mencekal lengannya. “Ampun, Yang Mulia, tidak lagi. Aku tidak akan mendorongmu lagi!” Kendati demikian, Harger masih diliputi perasaan geli; ingin kembali tertawa, sayangnya dia tak cukup berani mengeluarkan suara semacam itu. Terlebih kali ini tatapan sang hakim semakin tak terbaca. Luar biasa datar. “Kau memanggilku apa?” tany
“Seperti itu, Deu. Di sana. Pelan - pelan ....”Nikmat-nya hampir membuat ketiduran. Tanpa sadar tubuh Harger terdorong bersandar di dada sang hakim. Itu mungkin akan membuat Deu mengalami sedikit kesulitan, tetapi sang hakim tidak sekali pun mengajukan kata – kata protes. Secara naluri membuat Harger tahu bagaimana harus menegakkan tubuh.Beberapa saat masih terasa seperti kebebasan menghadapi udara segar. Sentuhan sang hakim masih di sana, di puncak kepalanya, walau Harger tak menapik sedikit gerakan ganjil perlahan membuat pijatan sang hakim nyaris tak terasa.Mungkin kelelahan ....Mula – mula itu yang dia pikirkan. Tanpa menaruh curiga, Harger benar – benar hanya menunggu tindakan sang hakim kembali bertenaga. Seharusnya demikian.Beberapa saat, tiba – tiba gerakan pria itu menjauh. Bunyi suara air menegaskan sang hakim sedang mencuci tangan. Membasuh busa sampo untuk kemudian menekan pelipis dengan kedua pergelangan tangan. Dan setelah menyadari keanehan di sana, Harger mulai me