Laila sudah terbangun sebelum matahari menyembul sempurna. Ia sedang merapikan tempat tidurnya. Semalam Laila bersikeras tidur di sofa. Padahal Malik sudah berbaik hati menawarkan tidur di ranjang besarnya. Laila rikuh bersebelahan dengan laki-laki itu. Laila berlalu ke kamar mandi lalu turun ke lantai bawah. Langkahnya tertuju pada dapur yang sejak kemarin membuatnya penasaran dengan orang-orang di dalamnya. Tentang siapa Bi Mina, wanita yang katanya akan mengantarkan makanan padanya semalam. Laila penasaran dengan wajah-wajah penghuni rumah besar itu selain tuan rumah mereka.“selamat pagi..” sapa Laila.Dua wanita di dapur tergagap kedatangan majikannya sepagi buta ini. Biasanya mereka akan menyapa tuan rumah mereka saat tuan rumah mereka bersiap sarapan di meja makan.“Non.. kenapa kesini? Ini masih gelap.” Protes Bi Mina.“memangnya kenapa, Bi? Saya tidak boleh kesini?” tanya Laila cemberut.“bukan. Tapi..”“saya mau bantu-bantu..” ucapnya lagi.“aduh, apalagi ini, jangan Non. Na
Laila duduk di sebelah Malik yang masih fokus pada tab-nya. Tak lama kemudian Bi Mina menyusul keluar membawa nampan berisi jus buah lalu Bi Mina berbalik menuju dapur, dan keluar lagi membawa nampan berisi roti tawar berikut bermacam-macam selai. Laila mengamati detail pergerakan Bi Mina. Sementara Pak Agung mengamati Laila yang sedang mengamati Bi Mina. Hanya Malik yang tertunduk sibuk pada tab-nya. Tak mengacuhkan istrinya sendiri.Pak Agung sudah merasa ada yang aneh dengan putranya. Dia yang awalnya menolak menikah karena tidak memiliki pacar atau kekasih, lalu tiba-tiba mengenalkan seorang gadis padanya yang katanya calon istrinya lalu menikahinya dengan terburu. Dan sekarang, sikap mereka berdua sama sekali tidak seperti suami istri.Apakah mereka sedang bertengkar? Tapi kalaupun suami istri bertengkar suasana tidak akan sekaku itu. Malik kaku, Laila apalagi. Batin Pak Agung menduga-duga.“Apa kegiatanmu hari ini Laila?” suara Papa mertuanya membuyarkan fokusnya yang masih meng
Laila tengah duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan jendela. Di depannya sudah terhidang satu cangkir kopi latte panas yang menemaninya. Ia menunggu Malik yang sedang berada di ruangan Saka. Entah apa yang mereka bicarakan. Laila tak mau tahu. Ia hanya tahu Malik akan menjelaskan sesuatu pada Saka.Laila meraih cangkir lattenya. Menyesapnya lalu meletakkan kembali. Pandangannya terlempar keluar jendela, tapi pikirannya jelas tidak disitu. Ia memikirkan nasibnya yang terjerat pernikahan dengan tuan arogan bernama Malik.Berkali-kali mengatai dirinya sial dalam hati. Laila tidak percaya diri bahwa dia mampu bisa menjalani pernikahan akibat jerat hutangnya pada tuan arogan itu. Ditambah Malik sudah menegaskan bahwa dia tidak akan menceraikannya sampai kapanpun, Laila merasa semakin merana. Siapa yang tahu tentang masa depan, bagus jika kelak mereka akan saling mencintai. Tapi kalau tidak? terlebih ibu mertuanya sangat tidak menyukainya. Laila lagi-lagi meratap dalam hati. Air
Beberapa jam sebelumnya.“halo tante.. tante di rumah kan? Gladis mau kesana sekarang. Malik tante, Malik mengabaikan Gladis lagi..” rengek Gladis. Ia sedang mengadu pada mama Malik. Senjata paling ampuh baginya saat Malik tak acuh padanya.Seperti kebiasaannya yang selalu menempel pada Malik, Gladis jamur parasit yang datang tanpa diminta. Karena merasa mama Malik telah memberi lampu hijau padanya, sebab memang ibunya lah yang menjodoh-jodohkannya, Gladis dengan leluasa menempel, mengatur dan bahkan menyetir Malik untuk mengikuti semua keinginannya. Kalau tidak, Malik akan mendapat omelan panjang dari Mamanya.Gladis dengan cepat menyambar tas nya di atas meja. Langkahnya cepat dan menyentak. Heelsnya yang tinggi itu menyentak nyaring menyisakan bunyi gema di lorong-lorong kantor Malik.Ia tak mempedulikan pandangan semua orang yang mengarah padanya. Dengan menegakkan kepalanya ia melewati semua mata itu yang sedang mencibirnya. Terdengar pula bisik-bisik, ada pula yang sengaja denga
Pagi berikutnya dan berikutnya, Laila kembali terbangun lebih dulu saat langit masih gelap. Dia merasakan badannya lebih bugar. Badannya tidak pegal seperti kemarin-kemarin lagi. Semalam, Malik memaksanya untuk tidur di ranjang yang sama. Tentu saja dengan dua guling sebagai penyekatnya. Malik tidak mau terlihat terlalu kejam dengan membiarkan Laila tidur di sofa meski wanita itu bersikeras.Laila merapikan bantal dan gulingnya sejenak. Lalu melirik Malik yang masih terlelap, terlihat dari deru nafasnya yang teratur. 30 menit kemudian Laila sudah rapi dan seperti biasa dia akan langsung pergi ke dapur. Setidaknya setiap pagi ia memiliki kegiatan yang baginya menyenangkan. Mengobrol dan merusuhi pekerjaan Bi Mina dan Mbak Yani. Sudah 5 hari berada dirumah besar itu, ia selalu berhasil menghindari mama mertuanya. Mertuanya itu sepertinya juga sangat sibuk, sehingga membuat Laila sedikit lebih leluasa kesana kemari di rumah besar itu.Malik terbangun terdengar suara pintu berderak lalu b
Ternyata, hal yang selama di rumah itu coba Laila hindari akhirnya terjadi. Mama mertuanya sedang duduk halaman depan setelah melakukan senam ringan di bawah terik matahari pagi. Sambil menyesap jus tomat kesukaannya, ia melirik Malik dan Laila yang sepertinya tergesa.“pagi Ma..” sapa Laila. Mama tak menjawab sapaannya.“mau kemana kalian terburu-buru?” tanyanya.“kami mau lihat apartemen Ma, mungkin setelah ini kami akan pindah ke rumah kami sendiri.” Jawab Malik di depan pintu mobilnya. Sedikit berteriak karena jarak antara mobil dan tempat duduk mamanya lebih dari 10 meter jauhnya.“tunggu!” teriak Mama. Mama bergegas berdiri dari duduknya. Dengan cepat melangkah mendekati anaknya.“siapa yang mengijinkan kalian pindah? Nggak! Nggak boleh, kamu harus tetap disini. Kamu nggak kasihan sama Mama, Malik? kakakmu sudah melanglang buana di luar sana, nggak pernah pulang dan kamu juga akan pergi meninggalkan mama di rumah sebesar ini?” cegah Mama. Dia harus berhasil menahan Malik agar t
Mama melangkah memasuki rumah besar itu dengan senyum jumawa membawa kemenangan. Malik tidak akan pernah bisa menolak permintaannya. Terlebih Laila sudah membantunya meyakinkan Malik untuk tetap tinggal di rumah besar dan mewah itu. “kenapa senyum-senyum? Tadi Papa denger ada ribut-ribut di depan, siapa Ma?” “Mama sama Malik..” jawab Bu Lina santai, baru saja ia menghempaskan tubuhnya di kursi ruang keluarga. Tangannya terangkat menyeka sisa keringat hasil adu mulut dengan anaknya sesaat lalu. “ada apa lagi? Mama sudah tua jangan terlalu sering ribut sama anak sendiri.” Pak Agung sudah tak heran lagi dengan istri dan anaknya itu. hampir setiap hari mereka selalu beradu mulut. Dan hal yang diributkan hampir selalu sama. Istrinya yang menuntut Malik meladeni Gladis, dan Malik yang selalu mangkir dari permintaan Mamanya. “Malik mau pindah dari rumah ini Pa.. ya jelas Mama enggak ijinin lah!” sungut Bu Lina sambil membenarkan rambut-rambut yang terlerai dari ikatannya. “memangnya kena
Hari berlalu biasa saja bagi Malik. Rutinitas paginya masih seperti biasa. Yang berbeda hanyalah, sekarang setelah menikah Malik akan terbangun lebih pagi. Bersiap lebih cepat dan turun ke ruang makan lebih awal. Malik menyempatkan diri menikmati obrolan Laila bersama Bi Mina dan Mbak Yani. Entah kenapa hal itu membuat hatinya menghangat. Seperti sebuah bekal untuk ia bekerja seharian. Sangat menyenangkan. Dan Laila belum menyadari bahwa selama ini suaminya menguping pembicaraan mereka. Pagi itu, Laila menceritakan tentang desa nya pada Bi Mina dan Mbak Yani. Bi Mina dan Mbak Yani terlihat sangat menikmati cerita yang disampaikan Laila. Bagaimana Malik tahu? Jelas karena ia mengintip ke arah dapur itu. Meski sama-sama dari desa, tapi Mbak Yani apalagi Bi Mina sudah lama sekali tidak pulang ke desanya. Sudah berapa tahun? 5 tahun? 7 tahun? Ah, mungkin lebih. Mereka sampai tidak ingat. Laila terus bercerita sampai ia dengan spontan menceritakan tentang oleh-oleh kelapa yang dipetik ol