Micky Tanjaya yang merupakan wakil direktur sekaligus penanggung jawab yang memimpin Grup Angkasa langsung datang untuk menyambut pria itu.Senyuman Micky yang menyanjung itu membuat Amel mendecakkan lidah. Dia mendengar banyak gosip tentang Grup Angkasa dari rekan-rekan kerjanya di toko makanan penutup. Namun, ekspresi Micky selalu tampak sangat sombong."Apakah mereka sedang menyambut bos asli dari Grup Angkasa?""Apa?"Dimas tertegun, ekspresinya sama sekali tidak bisa ditebak.Amel hanya merasa bahwa Dimas tidak terlalu paham tentang kondisi Grup Angkasa karena baru datang. Terpikir akan Dimas yang baru akan masuk kerja hari ini, Amel pun menjelaskan dengan serius, "Grup Angkasa adalah perusahaan besar di sini, tapi kantor pusatnya bukan di sini. Pokoknya, Grup Angkasa hanya salah satu perusahaan dari sekian banyak usaha yang dimiliki oleh Keluarga Cahyadi.""Kamu pasti pernah mendengar soal Keluarga Cahyadi, 'kan? Katanya, kepala keluarganya adalah orang tampan yang sangat hebat d
Mendengar ucapan tersebut, semua orang pun menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Hardi.Irfan langsung tertegun.Direktur?!Bibir Irfan berkedut. Berani sekali orang ini mencari masalah sampai ke direktur perusahaan mereka.Apakah Dimas masih perlu mengandalkan koneksi untuk mendapatkan suatu jabatan? Kalau mau dibilang, koneksi ini juga diatur oleh Irfan sendiri.Irfan memegang hidungnya sendiri. Dia berusaha keras untuk menunjukkan sikap dari seorang bos di hadapan Dimas, meskipun pada kenyataannya dirinya sangat panik. Dia bertanya, "Maksudmu ada orang yang membantunya untuk masuk ke perusahaan?"Mendengar hal tersebut, Hardi pun tertegun. Dia memang ingin berbicara demikian, tapi karena identitas Irfan, dia tidak bisa melaporkannya secara langsung. Bagaimanapun juga, posisinya sekarang juga didapatkan melalui koneksi.Melihat Hardi tidak berbicara, Irfan pun berkata, "Sebenarnya, yang paling dipentingkan oleh perusahaan adalah kemampuan individu. Bahkan karyawan lama yang masuk dengan
"Istri?!" teriak Irfan dengan terkejut.Dimas sedikit mengernyit. Kemudian, dia berbicara dengan nada yang agak pamer, "Benar, di adalah istri saya. Kami adalah suami istri yang sah secara hukum."Irfan yang sedang asyik menonton pun terkejut. Ditambah lagi, orang itu bukan penggemar direktur, melainkan istrinya direktur!Namun, kenapa istri direktur meminta dirinya untuk menjaga direktur? Irfan sendiri tidak memiliki kualifikasi untuk melakukan itu!Irfan menjadi agak panik. Tampaknya, istri direktur masih belum mengetahui identitas asli direktur.Dimas juga khawatir dirinya akan ketahuan, sehingga dia pun berkata, "Jangan khawatir, Pak Irfan. Saya pasti akan berusaha keras dan bertanggung jawab atas posisi saya sebagai manajer lokasi konstruksi. Saya dan istri saya pamit dulu."Dimas menggandeng Amel secara natural.Irfan mengangguk dengan kaku, "Ba ... baiklah."Setelah pergi jauh, Amel pun berkata, "Padahal kalau dilihat dari jauh, kupikir manajer itu sangat berwibawa dan sulit dia
"Aku berikan waktu tiga menit untuk kembali ke toko. Kalau nggak, jangan harap untuk memasuki ruang panggang, begitu juga dengan bonus kehadiran penuh!"Manajer toko sudah bekerja bersama cukup lama dengan Amel, jadi dia mengetahui titik kelemahan Amel. Manajer toko bisa membuat Amel menurut dengan memotong gajinya dan melarangnya untuk memasuki ruang panggang.Setelah teleponnya dimatikan, Amel menghela napas. Saat ingin berpamitan, dia malah menabrak dada Dimas."Ada apa?" Dimas tampak prihatin.Amel menggosok hidungnya yang memerah sambil berkata, "Manajer toko menyuruhku untuk kembali.""Manajer toko?" tanya Dimas dengan ekspresi yang kurang baik.Suara lengkingan wanita di telepon bisa terdengar jelas walaupun tanpa speaker. Di telepon saja sudah seperti itu, apalagi kalau berhadapan langsung.Istrinya tidak boleh ditindas begitu saja oleh orang lain. Tatapan Dimas tampak dingin.Namun, dia tahu bahwa Amel tidak ingin membuatnya khawatir, jadi dia pura-pura tidak mendengar apa-apa
Segera setelah itu, ekspresi Amel berubah. Dia bergegas menerjang ke sana dan berteriak, "Berhenti, apa yang kalian lakukan?!"Amel melihat sekumpulan pria yang mengenakan seragam konstruksi sedang mengepung Dimas, mereka tampak seperti ingin memukul Dimas.Salah satunya ada juga yang bertelanjang dada dan menatap Dimas dengan menyeramkan, seperti sedang melihat mangsanya.Amel menarik mereka, lalu masuk ke kerumunan orang dan datang ke sisi Dimas.Saat melihat Amel berlari menghampiri dirinya, Dimas langsung melepaskan tenaganya.Ekspresinya menjadi muram. Tatapannya tidak pernah beralih dari Amel sejak awal.Amel merasa bahwa suaminya sedang ditindas!"Apa yang kalian lakukan!"Amel berdiri di depan dan melindungi Dimas seperti sedang melindungi anak, dia menatap orang-orang di sekitar dengan sangat marah.Di saat ini, orang-orang yang hanya ingin beradu untuk mengetahui siapa yang paling kuat di tempat konstruksi itu pun kebingungan.Ada apa ini?Padahal mereka hanya sedang membangu
Begitu ucapan kepala pekerja konstruksi terlontar, para pekerja konstruksi lainnya pun jadi mengikuti ucapannya, "Benar, Pak Dimas 'kan baru datang, jadi kami ingin latihan bersama."Amel menoleh ke arah Dimas, lalu bertanya, "Apakah benar begitu?"Dimas mengangguk dengan polosnya.Amel masih merasa khawatir, dia melihat Dimas dan bertanya lagi, "Benar kamu nggak terluka?"Dimas membungkuk dan berbisik pada Amel, "Suamimu nggak semudah itu terluka."Amel tersipu dan memegang pipinya dengan canggung. "Baiklah."Amel punya adik laki-laki, jadi dia sering dibuat khawatir olehnya.Jadi, Amel sangat takut kalau sampai keluarganya terluka.Namun, sekarang dia sudah menyadari, Dimas adalah Dimas, adiknya adalah adiknya, mereka bukan orang yang bisa disamakan.Amel pun berbalik dan meminta maaf pada orang-orang tadi ,"Maaf, aku sudah salah paham pada kalian."Kepala pekerja konstruksi melambaikan tangan, mengisyaratkan bahwa dia bisa memahaminya, "Hahaha, nggak apa-apa, kalau istriku yang meli
Hari ini matahari bersinar dengan sangat terik. Sekalipun sudah terbenam, hawa panas yang melingkupi udara tidak kunjung hilang.Dimas sengaja menyimpan sebotol minuman dingin. Dia membuka tutupnya, lalu menyodorkannya ke hadapan Amel. "Di luar panas. Minumlah ini. Aku akan mengantarmu ke kantor."Amel menerima botol air itu. Sensasi dingin dari botol tersebut membuat kegelisahan dan kekhawatiran di hatinya banyak berkurang.Amel mengikuti Dimas menuju kantor kontainer, lalu berkata dengan emosional, "Hari pertama bekerja, kamu bisa menjalin hubungan baik dengan karyawan di lokasi konstruksi. Dimas, kamu pasti bisa memenuhi syarat untuk pekerjaan ini."Saat ini, senyum Amel yang cerah, cemerlang dan memesona memancarkan cahayanya sendiri di mata Dimas.Sudut bibir Dimas terangkat dan seulas senyuman muncul di wajahnya yang tampan.Saat keduanya berjalan berdampingan, sayup-sayup terdengar suara di kejauhan."Bahan baku ini dikirim oleh pemasok yang mana lagi?""Aku dengar harga bahan b
Begitu melihat Dimas, Amel langsung menghampirinya dengan khawatir. "Apa kamu baik-baik saja?"Dimas menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Aku nggak apa-apa.""Apa kamu juga mendengar yang dikatakan barusan?"Amel tidak menyangkal dan mengangguk.Dimas agak menundukkan kepalanya. Dia berpikir sebentar sebelum akhirnya berkata, "Perusahaan punya tanggung jawab besar atas masalah ini. Aku ingin menyelesaikan masalah ini, meskipun itu sulit."Dimas mendongak. Bayangan Amel terpantul di matanya. "Kalau aku memilih untuk berdiri di pihak para pekerja dan menyinggung orang-orang di perusahaan, apa kamu akan keberatan?"Pendidikan moral yang diterima Amel sejak kecil membuatnya tahu jika dunia ini dibagi menjadi hitam dan putih. Jika ada yang melakukan kesalahan, akan ada orang yang memperbaikinya. Jadi, jika Dimas ingin menjadi orang yang membenahi kesalahan, Amel tidak melihat ada yang salah dengan semua itu.Amel menggelengkan kepalanya dan berkata dengan tegas, "Aku nggak keberatan. Y