Share

PERTEMUAN PERTAMA

“Kak– Kak Bima?” ucap Arumi dengan terbata-bata.

Arumi kaget bukan main. Badannya melemah, tangannya gemetar dan jantungnya berdetak tak karuan. Bahkan berkas yang Arumi pegangpun langsung tercecer di lantai. Dia tidak sadar dengan keadaan yang ada di sekelilingnya. Fokusnya saat ini adalah pada Bima yang selama tiga bulan terakhir ini selalu mengisi hari – harinya dengan pesan singkat yang membuatnya nyaman.

Tak hanya Arumi, Bima yang sedang berdiri di hadapannya pun hanya bisa tersenyum melihat Arumi. Dia bersyukur karena Arumi yang selama ini selalu bertukar pesan dengannya ternyata gadis yang benar-benar cantik dan bukan seorang penipu.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu secepat ini,” ucap Bima memecah keheningan di antara keduanya.

Arumi langsung tersadar dari lamunannya. Dia langsung merapikan berkas yang berceceran di lantai lalu kembali memegangnya dengan erat. Bima hanya tersenyum melihat sikap salah tingkah dari Arumi.

“Aku ingin mengobrol sebentar denganmu, Arumi,” ucap Bima lagi.

Arumi mencoba memutar otaknya. Banyak sekali kemungkinan yang akan datang padanya jika dia mengakui kalau dirinya lah Arumi yang selama ini bertukar pesan dengan Bima.

“Saya tidak mengerti maksud anda, Pak. Saya datang ke sini hanya untuk menyerahkan berkas dari mbak Vanessa,” ucap Arumi sambil menunduk. Dia bahkan tidak berani untuk menatap Bima, tapi dengan mudahnya dia berbohong pada Bima.

“Apa maksudmu? Kau Arumi kan? Kita selalu saling bertukar pesan setiap hari. Aku sangat mengenal wajahmu dan aku yakin itu kamu,” jawab Bima dengan suara yang sedikit meninggi.

Arumi menoleh ke kanan ke kiri takut ada yang melihat dan mendengar ucapan dari Bima. Dia kembali fokus pada percakapannya bersama Bima dengan perasaan was-was.

“Mungkin Pak Bima salah orang, atau bisa saja ada yang menggunakan foto saya dan ternyata yang bertukar pesan dengan Pak Bima itu adalah orang lain,” jelas Arumi dengan gagap. Sungguh! Arumi sangat tidak lihai dalam berbohong, tapi dengan modal nekat dia berbohong pada Bima yang jelas-jelas tidak akan percaya pada ucapannya.

Bima tersenyum miring. Dia mengeluarkan ponselnya dan langsung mengetik sesuatu di ponselnya. Arumi sangat kaget ternyata dia sedang menelpon dirinya. Ponsel Arumi yang tidak pernah dia silent pun langsung berbunyi karena Bima menelponnya. Bima hanya terkekeh pelan melihat ponsel yang ada di saku celana Arumi berbunyi.

“Kenapa kau tidak angkat?” tanya Bima dengan senyum miring, lalu memperlihatkan layar ponselnya pada Arumi yang menunjukkan kalau dia sedang menelpon Arumi.

Arumi tak bisa berkutik lagi. Dia tidak tahu berapa kebohongan lagi yang harus dia keluarkan untuk menutupi kebohongannya yang lain.

Arumi melihat ke sekeliling ruangan Bima yang tampak tidak ada siapapun. Dia langsung mendorong Bima masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintunya dengan rapat.

Nafas Arumi memburu tatkala Bima mendekat dan berdiri di hadapannya. Perbedaan tinggi antara keduanya membuat Arumi sedikit menengadah ke atas saat melihat wajah Bima. Arumi bisa melihat dengan jelas wajah tampan Bima yang saat itu sedang tersenyum sambil melihat ke arahnya. Rahangnya yang kokoh dan kedua mata indah milik Bima seperti membius Arumi untuk tidak mengalihkan pandangannya.

“Jadi kau ingin mengobrol secara diam-diam, Arumi?” tanya Bima lalu tersenyum miring. Dia memajukan badannya sedikit sehingga Arumi yang saat itu pas sekali berada di depan pintu, tidak bisa pergi kemanapun karena badannya dikungkung oleh kedua tangan Bima.

“Kak-, eh maksudku Pak Bima, saya rasa kita harus meluruskan masalah ini,” ucap Arumi dengan gagap.

“Meluruskan apa? Tidak ada yang perlu diluruskan, Arumi. Aku sudah meyakinkan diriku sendiri kalau kau adalah milikku. Aku berjanji akan menikahimu ketika aku bertemu denganmu,” ucap Bima dengan yakin.

Arumi bisa merasakan deru nafas dari Bima yang sedikit memburu. Ada rasa kesal yang keluar dari Bima ketika mengatakan hal itu. Arumi yakin kalau Bima tidak sedang main-main dengannya, tapi Arumi sendiri takut kalau dia akan sakit hati. Dia takut kalau Bima hanya ingin mempermainkan perasaannya. Dia takut kalau Bima suatu saat akan meninggalkannya ketika dia sudah sangat jatuh cinta padanya.

“Saya tidak tahu apa ucapan Pak Bima itu benar atau salah-“

“Berhenti memanggilku dengan sebutan formal seperti itu, kau itu istimewa untukku, Arumi,” ucap Bima dengan wajah kesal.

“Tapi saya disini adalah karyawan Pak Bima sendiri. Saya tidak mungkin memanggil anda dengan santai ketika anda menjabat sebagai presiden di perusahaan tempat saya bekerja. Saya mohon, Pak Bima bisa mengerti itu,” ucap Arumi mencoba untuk meminta pengertian pada Bima kalau dia merasa tidak terbiasa dengan panggilan santai untuk Bima.

“Kau memang karyawanku, tapi kau juga calon istriku,” ucap Bima dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi.

Arumi langsung menutup mulut Bima dengan telapak tangannya. Dia takut kalau orang lain di luar mendengar ucapan Bima. Arumi mencoba menenangkan dirinya sendiri dan mulai berani menatap mata Bima dengan lekat.

“Dengarkan saya, Pak. Urusan kita berdua itu adalah urusan di luar kantor. Ketika saya dan Pak Bima ada di sekitar kantor, jabatan bapak adalah atasan saya, dan saya adalah karyawan. Saya akui orang yang bertukar pesan dengan Pak Bima adalah saya, tapi kita tidak bisa membahas ini disini,” ucap Arumi dengan tangannya yang masih menutup mulut Bima.

Terlihat dari matanya yang menyipit kalau Bima saat itu sedang tersenyum. Dia tidak menyangka bisa menghirup aroma tangan Arumi yang harumnya seperti harum parfum vanila. Arumi yang sadar akan hal itu, langsung melepaskan tangannya dari mulut Bima dan benar saja, Bima sedang tersenyum sambil menggigit bibirnya. Dia merasa gemas dengan gadis polos yang ada di hadapannya itu.

Arumi kembali fokus pada topik pembahasan yang sedang dia bahas, “Saya akan mengirimkan alamat tempat kita bertemu nanti. Saya akan selesai bekerja pada jam 8 malam, jadi kita bisa bertemu mungkin sekitar setengah sembilan malam. Bagaimana?” tanya Arumi dengan wajah serius.

Bima tidak menjawab. Matanya malah fokus pada bibir mungil milik Arumi yang menurutnya terlihat sangat manis.

“Pak Bima?” seru Arumi dengan wajah bingung karena Bima tak merespon ucapannya.

Bima berdehem dan langsung fokus kembali. Dia kembali menatap mata biru Arumi yang tampak berkilau, lalu berkata, “Aku setuju. Aku akan selalu setuju pada apapun yang kau katakan, kecuali kau mengatakan kau ingin pergi dariku,” ucap Bima dengan wajah serius.

Arumi tidak menyangka kalau orang yang selama ini membuatnya terasa nyaman juga bisa menjadi sosok yang cukup menyeramkan. Wajah serius dari Bima cukup mengintimidasi Arumi yang wajahnya polos dan sayu.

“Saya rasa saya tidak perlu berada di sini lagi. Ini berkas laporannya, saya permisi dulu!” ucap Arumi lalu memberikan secara paksa laporan yang sedari tadi ia pegang.

Arumi langsung kabur dari ruangan Bima dan langsung menutup pintu ruangannya kembali. Dia menenangkan jantungnya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia berjalan kembali ke arah meja kerjanya yang tak jauh dari ruangan Bima.

Arumi duduk dengan badan yang lemas. Dia membenturkan kepalanya dengan pelan ke meja beberapa kali sampai teman kerja yang ada di sampingnya cukup bingung dengan sikap Arumi yang tampak tak bersemangat.

“Ada apa Arumi? Bukannya tadi kau habis dari ruangan Pak Presdir? Apa Dia mengancam nyawamu sampai kau seperti ini?” Pertanyaan Rio membuat Arumi semakin frustasi. Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

Arumi sudah sangat senang karena pada akhirnya dia bisa berhubungan dengan laki-laki yang bisa membuatnya nyaman walaupun hanya virtual. Tapi dia tidak menduga kalau laki-laki yang selama ini bertukar pesan dengannya adalah bos nya sendiri. Entah sebuah keberuntungan atau kesialan yang sedang menimpa Arumi, tapi kali ini dia yang bahkan selalu cepat tanggap dalam menangani masalah pun tak tahu jalan keluar seperti apa yang harus dia lalui agar bisa keluar dari masalah yang membelitnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status