Share

Perkenalan Pertama

***

Hari itu cukup melelahkan bagi Arumi. Arumi selalu bekerja di shift 3 yaitu saat sore menjelang malam. Ditambah dengan malam ini adalah malam minggu. Cukup banyak pelanggan yang datang ke kafe tempat Arumi bekerja. Tapi meskipun begitu, Arumi senang karena itu artinya dia juga akan mendapatkan bonus karena sudah melebihi target penjualannya.

Arumi melihat jam tangan yang terpasang di tangan kirinya.

“Sudah jam 11 malam,” gumamnya, lalu menghela nafas berat.

“Minum dulu!” sela Ranti sambil menyimpan segelas air minum di depan Arumi.

Jam sebelas malam, saatnya kafe tersebut tutup. Arumi duduk di bangku pelanggan dengan nafas yang sedikit terengah-engah karena kelelahan.

“Terima kasih,” ucap Arumi, lalu meneguk air putih yang ada di depannya.

“Jadi…” ucapan Ranti terhenti kala ia akan duduk di samping Arumi, “Apa kau benar-benar akan berhenti bekerja disini?” lanjutnya.

Wajah Arumi berubah serius. Senyum tipis terpancar di bibirnya. Dia tahu, tidak mudah meninggalkan pekerjaan yang sudah menemaninya saat dia masih tidak memiliki apa-apa. Ditambah dengan karyawan-karyawan yang selalu baik pada Arumi, tentu sangat berat untuk Arumi mengucapkan selamat tinggal.

Tapi apa boleh buat, hidup Arumi harus terus maju. Jika dia terus berada di jalan yang sama, tidak akan ada kemajuan dihidupnya, begitulah yang dipikirkan Arumi saat ini.

“Sepertinya begitu. Aku harus mencari pekerjaan yang bisa menunjang kehidupanku. Tapi aku juga tidak akan langsung berhenti dari kafe ini. Aku tahu kalian harus mendapatkan penggantiku sebelum aku keluar, jadi sambil menunggu panggilan kerja, aku akan membantu orang baru tersebut agar dia tidak menyusahkan kalian disini,” jelas Arumi sambil tersenyum.

“Kita tidak tau apakah kita akan mendapatkan orang lain yang sama bagusnya denganmu,” ujar Ranti jujur.

“Hey! Kau tidak boleh bicara seperti itu. Dulu waktu aku pertama kali masuk juga kan tidak langsung akrab dengan kalian. Aku juga sering melakukan kesalahan, jadi wajar saja jika nanti penggantiku akan melakukan hal yang sama. Tapi siapa tau, dia bisa lebih baik dari aku. Benar kan?” Arumi mencoba untuk menenangkan Ranti yang khawatir dengan kondisi kafe setelah Arumi pergi.

“Kau benar. Sebenarnya, aku malas sekali beradaptasi dengan orang lain, tapi aku kira itu memang jalan terbaik untukmu. Kau harus menemukan pekerjaan yang lebih baik,” ucap Ranti mencoba untuk berpikir positif.

Arumi hanya mengangguk sambil tersenyum. Saat ia akan bicara, ponselnya berbunyi. Arumi cukup bingung karena jarang sekali ada yang menelponnya. Ia mengambil ponselnya dan melihat nomor tidak dikenal. Arumi cukup ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, tapi karena takut ada hal yang penting, Arumi memutuskan untuk mengangkatnya.

“Halo?” jawab Arumi ragu.

“Halo? Apa ini benar dengan Arumi Saira Valerie?” tanya seseorang dari balik telpon.

Arumi cukup takut karena suara laki-laki yang ia dengar terdengar cukup berat dan sedikit tegas. Ditambah dengan dia yang mengucapkan nama lengkap Arumi.

“Iya betul, saya sendiri. Ada masalah apa ya?” tanya Arumi ragu dengan wajah gugup. Ranti yang ada di sampingnya juga menunggu Arumi untuk menjelaskan siapa yang menelponnya.

“Tidak ada, tadi aku mengirimkan pesan padamu lewat aplikasi dating online, tapi kamu hanya membaca pesanku. Kebetulan kamu mencantumkan nomor ponselmu, jadi aku memutuskan untuk menelponmu,” jawab laki-laki tersebut dengan suara yang cukup tenang namun masih terdengar tegas.

Arumi baru ingat kalau dia baru membuka satu pesan, dan itu adalah dari Bima. Arumi tidak langsung bicara. Dia melihat kembali profil milik Bima, sampai akhirnya dia kembali menempelkan ponselnya di telinganya.

“Kau Ardana Bima Cakra kan?” tanya Arumi ragu-ragu.

“Iya benar, itu aku,” jawab Bima.

“Oh, maaf ya tadi aku sedang bekerja. Waktu mau membalas pesanmu, aku sudah di panggil temanku tadi,” ucap Arumi sedikit gugup.

“Oh begitu. Baiklah,” jawab Bima singkat.

Hening, dan percakapan mereka tidak berlanjut. Baik Bima ataupun Arumi, mereka sama-sama diam dan tidak bicara, tapi panggilan tersebut masih terhubung.

“Jadi…” Arumi dan Bima bicara bersamaan.

Arumi dan Bima tertawa serentak. Mereka merasa lucu sendiri dengan sikap gugup mereka yang baru pertama kali berbicara lewat telpon. Bagi Arumi, Bima adalah laki-laki pertama yang membuatnya gugup seperti itu. Rasanya Arumi tidak pernah segugup itu. Jantungnya merasa berdebar 2 kali lebih cepat dari biasanya. Sementara itu, Ranti hanya bingung melihat tingkah Arumi yang mulai tidak menganggap keberadaannya.

“Kau duluan,” ucap Bima memotong tawa mereka.

“Aku baru selesai bekerja, jadi apa kita bisa lanjut nanti? Aku harus membereskan tempat kerjaku dulu,” jelas Arumi. Sebenarnya dia tidak ingin mengakhiri panggilan tersebut, tapi karena pekerjaannya belum selesai, Arumi terpaksa untuk menutup panggilan tersebut.

“Baiklah, lagipula aku akan pergi meeting bersama teman kerjaku. Aku tutup dulu telponnya ya,” ujar Bima, lalu panggilanpun terputus.

Arumi langsung menatap ponselnya sambil tersenyum. Itu adalah pertama kalinya dia mendapatkan panggilan dari seorang laki-laki.

“Meeting? Mungkin dia seorang pekerja kantoran yang sibuk,” gumam Arumi sambil tersenyum-senyum sendiri.

“Astaga! Kenapa kau jadi gila begini setelah mendapatkan panggilan itu? Hey! Arumi! Sadarlah!” ujar Ranti, lalu menggoyang-goyangkan badan Arumi.

Arumi tidak langsung sadar. Wajahnya masih tetap berseri dengan senyuman terpancar di bibirnya. Dia beranjak dari duduknya dan mulai merapikan kafe yang akan tutup.

“Astaga! Orang yang sedang dilanda asmara memang suka sekali mengabaikan orang lain,” ujar Ranti kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya karena bingung dengan tingkah Arumi.

***

Sementara itu di Jepang, seorang laki-laki dengan perawakan yang tinggi dengan badannya yang tegap dan terlihat gagah. Dia sedang berdiri di luar restoran dan sedang memandang ponsel miliknya sambil tersenyum. Wajahnya yang tampan, terlihat dari hidungnya yang mancung di tambah dengan tulang rahangnya yang tegas, menambah kesan gagah pada dirinya. Sorot matanya yang tajam, membuat siapapun yang melihatnya akan merasa terintimidasi karena tatapannya yang menusuk.

Dia adalah Ardana Bima Cakra, laki-laki berusia 28 tahun yang saat itu sedang berada di Jepang untuk mengurus urusan pekerjaannya.

“Bim, ayo masuk! Kliennya sudah datang,” ujar seorang laki-laki yang menjabat sebagai sekertasis Bima. Dia bernama Gyan Indrayana.

Gyan sendiri tidak kalah tampan dari Bima. Kepribadian mereka berdua juga tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama dingin dan acuh pada sekitar. Keduanya sering sekali diejek sebagai jomblo tampan, karena memang keduanya belum pernah berhubungan dengan perempuan manapun.

Saat Gyan memanggil Bima untuk masuk, Bima tidak terganggu sedikitpun. Dia masih memandangi foto gadis yang baru saja dia telpon.

“Arumi,” gumam Bima sambil tersenyum.

“Hey! Ayo masuk!” ucap Gyan dengan nada bicaranya yang sedikit ditinggikan.

Bima langsung tersentak dan dengan cepat menyimpan ponselnya ke dalam saku jasnya. Dia takut kalau Gyan akan melihat gadis yang sedang dia dekati.

“Iya, iya, kau ini bawel banget sih!” ucap Bima dengan wajah kesal.

Gyan tidak peduli. Meskipun Bima adalah atasannya, sudah menjadi tugasnya sebagai sekertaris untuk mengingatkan bosnya sendiri.

“Klien sudah menunggu, mau sampai kapan kau berada di luar memandangi foto gadis tidak jelas itu?” ucap Gyan dengan cueknya.

“Apa maksudmu? Dia adalah gadis impianku, lebih baik kau diam dan urus pekerjaanmu dengan baik,” jawab Bima dengan wajah kesalnya.

Gyan tidak menanggapi sama sekali. Dia langsung pergi ke dalam restoran dan meninggalkan Bima di luar restoran. Bima yang masih kesal, kembali merogoh saku jasnya dan mengambil ponselnya. Dia kembali melihat gambar Arumi di ponselnya.

“Tunggu aku, Arumi! Setelah pulang ke Indonesia, kita akan bertemu! Kita harus menikah!” gumam Bima sambil tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status