Matahari telah beranjak lebih ke Barat, telah lewat tengah hari ketika Elara tiba di depan pintu rumah.Tidak ada prasangka apapun dalam pikiran Elara, ia melangkah masuk dan cukup terkejut saat melihat beberapa orang di ruang keluarga.Bukan hanya Tony --ayah tirinya.Namun juga Tina --sang bibi tiri, lalu Dianne --sepupu tiri dan bahkan Nyonya Besar White --nenek tirinya pun ada di sana.Elara terkesiap, melihat Tony berderap mendekat dengan cepat ke arahnya.“Ayah, ada ap--”PLAKK!Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Elara, hingga kepala gadis cantik itu terpaling ke kiri dan kacamata yang ia kenakan, terlempar jatuh.“Ayah?!” Dengan memegangi pipinya yang terasa perih dan memerah, Elara menoleh pada Tony dengan tatapan sangat terkejut yang tidak kuasa ia sembunyikan. “Kenapa ayah menamparku?”“Kau tidak perlu sampai menjadi jalang hanya untuk mengambil hati ayahmu, Ela
Elara berada di depan pagar rumahnya dengan wajah bingung. Tatapannya sempat kosong, namun tidak memakan waktu terlalu lama, karena tampaknya gadis bermanik zamrud itu segera menyadarkan diri. Ini terlalu mendadak dan ia jelas tidak punya tempat. Harus kemana ia sekarang? Kedua tangannya menggenggam erat gagang koper, sementara di punggungnya tersampir ransel hitam yang juga tampak penuh. Sementara itu, hanya tiga ratus meter dari tempat Elara berdiri dengan bingung, satu SUV mewah dan berwarna hitam pekat, terparkir rapi. Dengan kaca yang dilapisi pelapis ditambah suasana sore hari menjelang petang, membuat siapapun akan kesulitan melihat seseorang yang berada di dalamnya. Namun jendela bagian belakang mobil tersebut bergerak halus, membuka setengah. Seorang pria tengah menikmati adegan yang terjadi di seberang sana. Wanita muda yang terlihat linglung dan masih tak percaya pada pengusiran yang ia alami. Pria itu duduk dengan santai menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya
Prakk! Dianne Palmer meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja. “Kau kenapa lagi?” Alex Palmer --kakak kandung Dianne, melirik dan bertanya malas pada adiknya. Ia baru saja membalas pesan instan yang masuk ke ponselnya. “Itu menghilang!” “Apa yang menghilang?” Alex tidak terlalu tertarik dengan urusan adiknya. Sejak dulu Dianne memang sering membuat keributan dan masalah. Namun Tina Palmer --ibu mereka, selalu membereskan masalahnya. Terutama lagi ketika perusahaan yang dipimpin oleh paman mereka, Tony White, maju begitu pesat dan membawa keluarga besar White ke golongan atas. “Sesuatu yang bagus!” Dianna mengentak punggungnya ke sandaran sofa dan melipat tangannya di depan dada dengan kesal. Sungguh, ia kesal. Hasil kerja kerasnya hanya menjadi berita setengah hari. Sebenarnya Dianne tidak terlalu mengerti, mengapa pria dalam foto itu berbeda dengan lelaki paruh baya yang membayar mahal untuk tidur dengan Elara. Ia tidak peduli. Semalam, ia hanya menerima amplop beris
“Kau dari mana? Lama sekali kau keluar. Ibuku sudah selesai menyiapkan makan malam untuk kita. Ayo,” Jeanne menarik tangan Elara begitu melihat sahabatnya itu masuk ke dalam rumah. Namun Elara menahan tarikan Jeanne dan bertahan di tempat. “El?” “Emm… J, aku harus pergi sekarang,” ucap Elara pelan. “Apa? Tapi.. kenapa?” “Sesuatu terjadi. Aku akan menyelesaikan sesuatu dulu. Boleh aku titip koperku di sini? Sementara?” Elara menatap penuh permohonan pada sahabatnya itu. “Kau ngomong apa! Tentu saja boleh.” Jeanne menghela napas. “Paling tidak makan dulu, El.” “Maaf, ini benar-benar tidak bisa ditunda. Nanti aku cerita,” sergah Elara segera, tatkala melihat mulut Jeanne yang terbuka hendak bertanya. “Aku belum bisa menceritakan apapun padamu saat ini. Tapi percayalah, semua baik-baik saja.” Atas kalimat terakhir Elara itu, Jeanne menolak tetap bungkam. “Baik-baik bagaimana? Kau baru saja diusir oleh ayah tirimu! Dan kau masih belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi!” “Ak
Pagi hari berikutnya, Elara terbangun di dalam kamar asing. Terlalu lelap semalam, sepertinya Arion membawa dirinya hingga ke dalam kamar. Elara terkesiap, membayangkan pria bermanik kelabu itu menggendongnya masuk ke dalam kamar ini dan bergegas memeriksa seluruh tubuh. “Pakaianku masih sama.” Ia membuang napas lega. “Dia sepertinya tidak melakukan sesuatu yang aneh.” Setelah berangsur menjadi tenang, Elara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kamar ini tidak luas, tapi juga tidak terlalu sempit. Kasur yang ia tempati berukuran lebar seratus delapan puluh meter dan cukup empuk. Terdapat meja rias kecil bergaya minimalis dengan dua jenis sisir yang tersimpan vertikal di satu wadah tinggi. Cukup rapi. Perabot lain yang ada di dalam kamar itu, semua serba minimalis. Puas menelisik seluruh isi kamar itu, Elara segera turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari Arion. “Mister…” panggil gadis itu, namun ia tidak menemukan Arion di manapun. Kakinya terhenti di dapur mini
Pagi berikutnya Elara telah berada kembali di kampus, melakukan kembali kegiatan rutinnya seperti biasa.Ia baru saja hendak menuju kelasnya, ketika di koridor melihat satu sosok familiar seorang lelaki.“Elara White,” sapa lelaki itu.Di wajahnya tersungging senyuman yang mengembang lebar --mungkin maksud dia senyuman manis, namun bagi Elara itu senyuman licik.“Henry Wycliff,” balas Elara datar.Ia tidak menghentikan langkahnya dan berniat melewati lelaki itu, namun tangannya dicekal dengan cepat.“Bukankah tidak sopan melewati orang yang menyapamu?”Elara menoleh dan menjawab malas. “Bukankah tidak sopan mencekal lengan seseorang di luar keinginannya?” Mendengar itu, Henry melepas tangannya dari Elara. “Kalau begitu, kamu seharusnya berhenti dan menyapaku.”“Aku sudah menyapamu,” balas Elara tidak sabar. “Kalau ada sesuatu, cepat katakan. Aku harus mengejar kelasku.”Henry menyeringai. “Siang nanti aku traktir kau makan.”“Tidak, terima kasih. Aku tidak–”“Aku akan menjemput ke ke
Henry Wycliff berjalan mendekati kedua gadis itu. Elara dan Jeanne terkesiap. Bukan karena Henry, melainkan tiga pemuda lain di belakang Henry yang ikut masuk dan mendekati mereka berdua. Alasan lain Elara senantiasa bersikap cukup sopan pada Henry adalah, karena pemuda itu adalah pemuda manja yang berpikiran pendek. Henry berasal dari keluarga Wycliff yang kaya dan berkuasa di kota Hillsborough ini. Kehadirannya di kampus selalu dikelilingi gadis-gadis yang menginginkan barang mewah dengan cara mudah. Menarik perhatian Henry, adalah salah satu yang diimpikan gadis-gadis itu. “Apakah ada yang Tuan Muda Wycliff butuhkan?” Jeanne tersenyum manis –menutupi kegugupan saat melihat tiga pemuda lainnya di belakang Henry yang mengawasi dirinya dan Elara dengan tatapan tak ramah. “Aku menjemput Elara untuk makan siang,” jawab Henry tak acuh. Ia lalu mengulurkan tangan pada Elara yang langsung mengerutkan keningnya dengan kesal. “Aku tidak ingat menyetujui itu,” ujar Elara. “Aku akan ma
Begitu berbalik, Henry mendapati seorang pria bertubuh tinggi dan atletis berdiri menatapnya dingin. “Si-siapa kamu hah?!” Suara gentar Henry terdengar. Pria itu memiliki manik kelabu yang menyorot suram. Tubuh tingginya menguarkan aura yang menghancurkan mental dalam waktu sekejap. “Sini.” Tatapan pria itu terpancang pada Henry, namun perkataannya ditujukan pada Elara. Tentu saja Elara bergerak, hendak menuju pria itu. Namun tangan Henry dengan cepat menahan lalu mencengkeram pergelangan tangan Elara. “Isshh..” Elara meringis, karena cengkeraman Henry terlalu kuat. Pria itu melangkah mendekat, tatapannya terhujam penuh pada sosok Henry --membuat pemuda manja itu tanpa sadar bergerak mundur. “Hajar dia!” perintah Henry pada ketiga kawannya yang langsung bergerak maju. Henry menyeringai. “Kau akan menyesal mengganggu urusanku, Gembel!” serunya sambil menatap penuh cemoohan pada pria tersebut. Sama sekali tidak terganggu dengan hinaan Henry, pria itu tetap berjalan mendekat dan