Pagi-pagi sekali ketika hendak mengganti pakaian Sania dikejutkan oleh bercak darah di celana dalamnya. Tangan perempuan berusia dua puluh dua tahun itu mendadak gemetar karenanya. Dia lalu berteriak memanggil sang suami, menunjukkan noda merah tersebut."Ini tanda-tanda mau melahirkan, Sayang. Dulu Vero selalu seperti ini saat mau melahirkan!""Mulesnya juga makin terasa, Yah. Perut aku nyeri banget!"Sadewa membingkai wajah cantik sang istri dan mencium puncak kepalanya dengan mesra. Ada rasa deg-degan juga khawatir menyelimuti hati Sadewa, dan entah mengapa tiba-tiba dia merasa gelisah."Astaghfirullahal'adzim..." Sania menjatuhkan pakaian yang ada di tangannya, memeluk erat pinggang Sadewa sambil memejamkan mata merasakan nyeri luar biasa."Nia!” Tok! Tok! Tok!"Masuk, Mam. Nggak dikunci!" teriak Sadewa.Pelan-pelan Maryam memutar hendel pintu, melangkah masuk ke dalam kamar anak menantunya lalu menghampiri Sania yang sedang meringis kesakitan."Bawa ke rumah sakit saja, Wa. Kayak
“Dokter, istri saya kenapa? Apa yang terjadi?!” tanya Sadewa tanpa melepas genggamannya. Hatinya teriris perih melihat wajah istrinya kian memucat dengan kaki bersimbah darah.“Tensi Ibu tinggi, Pak. Kejang saat persalinan bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi atau biasa disebut hipertensi yang tidak terkontrol. Mungkin karena rasa panik luar biasa sehingga membuat tensi Ibu naik,” jawab perempuan beralmamater putih seraya terus memeriksa keadaan Sania.“Sayang bangun. Liat anak kita udah lahir. Dia pengen dipeluk sama kamu,” bisik Sadewa di telinga istrinya sambil menangis.Sungguh. Saat ini dia merasa begitu takut kehilangan istri yang teramat dicintai.“Pak, silakan diazani dulu anaknya. Insya Allah Ibu tidak apa-apa,” perintah dokter anak yang tengah sibuk mengurus bayi berjenis kelamin laki-laki yang baru saja dilahirkan istri Sadewa.Pria dengan garis wajah tegas itu mencium kening istrinya dan segera beranjak dari kursi, mengusap lembut kepala jagoan kecilnya lal
“Sayang, aku keluar dulu sebentar. Aku mencintai kamu,” ucap Sadewa seraya mendaratkan kecupan singkat di kening istrinya.“Duh, manis banget sikap suami kamu, Nia!” ledek Azizah.“Sepertinya dulu calon kamu bukan dia, Nia. Apa karena saya cuma liat di foto jadi kelihatan beda ya? Perasaan waktu itu kelihatannya masih muda?” tanya Nyai Halimah dengan mimik terlihat bingung.“Memangnya Gus Fadlan nggak cerita?” Wanita berhijab violet itu menoleh ke arah laki-laki yang tengah berdiri menatap keluar jendela diikuti oleh yang lainnya.“Saya belum sempat cerita sama Ummi. Karena saya pikir itu bukan ranah saya menceritakan masalah orang!” Suara Gus Fadlan terdengar bergetar seperti orang sedang menahan tangis.“Argh!” Sadewa memukul tembok, meluapkan emosi yang sejak tadi dia tahan. Ia tidak mau menunjukkan rasa kesal serta cemburunya di depan orang-orang terutama Sania.“Kenapa kamu bohong, Sayang. Kenapa kamu bilang kalau teman kamu yang datang itu perempuan?” racaunya sambil menjambak r
Apa yang sedang merasuki pikiran kamu, Emilia. Sadar, helllow ... Sadewa itu bukan pria yang mudah tergoda, apalagi sama perempuan agresif seperti kamu! Bisik kata hatinya menertawakan.Sadewa mengambil kursi dan lekas mengenyakkan bokong di atasnya, menggenggam jemari sang kekasih hati yang tiba-tiba diam tanpa kata dan terus saja fokus menyusui anaknya.“Emm ... Bu. Maaf, tadi saya tidak sengaja dan tidak bermaksud apa-apa. Ibu tenang saja. Saya tidak punya hubungan apa-apa sama Pak Dewa, kok. Dia itu tipe laki-laki setia. Dia juga begitu mencintai Ibu!” Emilia merasa tidak enak hati sendiri dibuatnya.Sania mendongak dan mengulas senyum kepada sekretaris suaminya, mencoba menutupi cemburu yang memang tengah bersarang di kalbu.“Tuh, kamu dengar sendiri, ‘kan?” Sadewa ikut menimpali.“Iya, Ayah. Aku percaya.” Dengan penuh kelembutan wanita berparas ayu itu mengusap lembut pipi Sadewa, menatap lamat-lamat wajahnya yang semakin terlihat memesona lalu menyunggingkan bibir menyuguhkan s
Sebuah mobil APV terlihat terus mengikuti rombongan pengantar Sania. Wanita berkerudung hitam itu mulai terlihat ketakutan, apalagi saat ini ada seorang bayi dalam gendongannya.“Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Ada aku di sini yang akan selalu melindungi kamu.” Sadewa merangkul pundak istrinya memberikan ketenangan kepada sang pujaan hati.Sania merapatkan duduknya, mendekap erat buah hati mereka yang diberi nama Syailendra Arkana Sadewa, yang artinya pemimpin yang berpengetahuan luas dan terhormat anaknya sadewa.“Barja, tolong beritahu yang lain suruh menepikan mobilnya di gang yang berbeda-beda, biarkan mobil APV yang mengikuti kita menyalip lalu kita giring dia ke kandang!” perintah Sadewa kepada salah satu anak buahnya yang sedang memegang kemudi.“Baik, Bos.” Lelaki berpenampilan sangar serta berbadan penuh tato itu segera mengambil ponsel dari dalam saku jaket, menghubungi teman-temannya memberitahu apa yang diperintahkan sang bos baru saja.Sadewa menoleh ke belakang dan men
Di kantor polisi.Aditya dan beberapa rekan sejawatnya tengah menginterogasi dua orang anak buah Darmi yang tertangkap. Semua informasi yang dia dapat terus ia catat, sekalian mengumpulkan bukti yang akan memperkuat tuduhan Sadewa kalau selama ini asisten rumah tangganya itu yang telah meneror keluarganya.Setelah dicek dan ditelusuri lebih mendalam, ternyata nama asli Darmi adalah Diana Pitaloka, seorang residivis pembunuhan tujuh belas tahun yang lalu. Dia didakwa dua puluh tahun penjara, tetapi baru beberapa tahun menjalani masa tahanan Diana sudah dibebaskan. Aditya semakin bertambah ngeri membayangkan keselamatan sahabatnya karena ternyata Diana atau Darmi seorang penjahat ulung yang begitu licin seperti belut dan susah untuk ditangkap.Ponsel milik salah satu anak buah Darmi berdering nyaring. Aditya meminta si empunya telepon untuk menjawab panggilan, akan tetapi tidak boleh memberitahu kalau saat ini mereka sudah tertangkap.“Lama banget angkat teleponnya. Kalian di mana? Suda
“Iya!” Kevin mengangguk membenarkan meski hatinya tercacah perih.Setelah keadaan mulai membaik dan rasa nyeri di lengan mulai berkurang, dokter memperbolehkan Sadewa pulang karena tidak ada hal yang terlalu mengkhawatirkan. Polisi juga membawa proyektil peluru yang sudah diangkat dari lengan Sadewa untuk dijadikan barang bukti.Beberapa orang petugas berpakaian preman terus saja mengawal mobil sang pemilik perusahaan ekspor impor daging tersebut hingga sampai ke halaman rumah. Sania yang sudah menunggu kepulangan Sadewa segera berlari ke luar saat mendengar deru mesin kendaraan memasuki pekarangan rumahnya, akan tetapi Sapror segera mencegatnya dan melarang Sania keluar dari rumah.“Kenapa, Bang? Saya mau menemui suami saya!” sungut si pemilik bulu mata lentik tidak terima.“Demi keamanan Ibu. Silakan tunggu saja di dalam. Bapak sebentar lagi masuk. Kami khawatir ada yang mengikuti Bapak seperti kemarin,” jawab Sapror dengan sopan.Sania mengentakkan kaki dan langsung membanting boko
Darah segar terus mengalir dari nadi asisten rumah tangga Sadewa. Pandangan perempuan itu mulai mengabur dan kepalanya bagai tertimpa batu besar. Berat, juga sakit teramat dahsyat.Darmi menerbitkan senyuman. Matanya terpejam merasakan lembutnya sentuhan Sadewa yang terus membelainya dengan mesra.Sambil melengkungkan bibir laki-laki dengan jambang tipis itu mendekatkan wajah, bibir plumnya menyapu lembut pipi Darmi yang terasa mulai kebas serta membeku.Darmi membuka mata.“Kenapa baru sekarang kamu datang, Sayang. Kamu tahu, aku sangat mencintai kamu. Tolong bawa aku bersamamu. Ajak aku terbang ke Nirwana menyelami samudera cinta bersama. Aku mencintai kamu, Dewa. Aku mencintai kamu,” racaunya seraya mengusap pipi Sadewa, menangkupnya dengan kedua tangan sambil terus mengunci pandangannya dengan tatapan penuh cinta.“Aku juga mencintai kamu, Darmi,” bisik Sadewa begitu lembut, membuat perempuan yang tengah berbaring itu merasa tubuhnya seperti sedang melayang ke udara.“Jangan tingg