Anna berbalik dan seketika itu dia melihat seorang wanita berusia sekitar 40-an keluar dari kamarnya. Hal pertama yang dipikirkan olehnya adalah betapa lancang wanita ini telah memasuki kamarnya tanpa seizin darinya."Maaf, Anda siapa? Kenapa Anda bisa keluar dari kamarku?" Anna berusaha keras untuk menahan perasaannya walaupun sebenarnya saat ini dia sangat kesal.Anna menjalani hari yang melelahkan dan ketika sampai di rumah dia sangat berharap bisa segera merebahkan diri di ranjangnya yang hangat. Tetapi ketika sampai dia malah dihadapkan dengan situasi seperti sekarang."Kamarmu?" Vania membeo, dia lalu melihat kenarah Eric yang memalingkan wajahnya. "Eric, bisa kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat ini?"Anna langsung melihat ke arah Eric, pria itu kini menatapnya dan Vania secara bergantian dengan senyum cerah di wajah. Hal yang jarang sekali Anna lihat di diri Eric."Eric, kau mengenalnya?"Vania tersenyum ke arah Anna, "Saya adalah ibu kandung Eric." Mendengar itu, se
Eric bisa merasakan kemarahan yang ditahan sejak tadi oleh istrinya. Segera dia memegang bahu Anna tetapi malah ditepis olehnya. "Jangan bicara di sini, lebih baik pergi ke kamarku dulu baru kita bisa leluasa berbicara. Aku takut Mama bisa mendengar pembicaraan kita," ucap Eric membujuknya. Setelah memikirkan bahwa perkataan Eric benar, akhirnya Anna mengikuti pria itu turun kembali ke lantai satu. Lalu masuk ke kamarnya dan dengan tidak sabaran dia langsung kembali bertanya. "Jadi, bisa kamu jelaskan apa yang sudah kamu bicarakan bersama dengan ibumu? Kenapa kamu malah membawanya ke kamarku? Apakah di rumahmu tidak ada kamar lain?" Anna bertanya dengan napas yang menggebu-gebu. "Aku pikir tidak ada salahnya jika Mama menempati kamarmu. Lagi pula kamarku lebih besar daripada kamarmu jadi cukup untuk kita berdua," Eric menjawabnya dengan santai seakan tidak sedang menanggapi Anna yang sedang marah. Anna menundukkan kepala sembari membuang napas, dia memijit pelipis untuk mengura
Hal pertama yang dilihat dari ketika pintu kamar mandi sudah dibuka adalah Anna yang sedang berendam di dalam bathtub dengan kedua mata terpejam. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang, khawatir jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada istrinya.Eric segera menghampiri Anna, menepuk wajahnya dan tak lama istrinya itu langsung membuka kedua mata. "Aarrgggghhh!" "Anna! Hei! Ini aku, Eric," Eric menjelaskan. Dia berpikir istrinya telah mengalami hari yang buruk hingga bisa ditemukan dalam kondisi seperti ini."Kenapa kamu di sini? Keluar!" Anna langsung menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah menahan malu sebab ini adalah kedua kalinya dia tidak memakai apapun di depan suaminya. "Tapi, aku hanya ingin memastikan—""Keluar!" Anna berteriak mengusirnya, membuat Eric pasrah dan langsung menuruti keinginannya. Setelah Eric keluar dari kamar mandi, Anna memejamkan kedua matanya. Menutup wajah dengan tangan tetapi tetap saja rasa malunya tidak menghilang."Kenapa pria it
Setelah selesai menyantap makanannya, Eric langsung berkata, "Tidak perlu dibereskan. Biar aku yang membawanya ke dapur."Mendengar perkataan Eric, tidak membuat Anna menjadi kesenangan. Mana mungkin dia tega membiarkan pria itu membereskan sisa makanannya. Sudah dibuatkan makanan, setidaknya dia juga harus tahu diri dengan tidak membiarkan pria itu membereskan sisanya."Tidak, kamu sudah membuatkanku makanan, jadi biarkan aku membereskan sisa makananku sendiri," ucap Anna, dia segera beranjak dari sana, tetapi dengan cepat Eric segera menahan pergerakannya. "Jangan sampai kita tidak tidur semalaman hanya karena perkara membereskan sisa makanan. Biarkan aku untuk melayanimu malam ini sebagai permintaan maafku atas kejadian—""Sssttttt!" Anna langsung meletakkan jari telunjuknya di depan mulut pria itu. "Ke depannya, jangan pernah bahas lagi mengenai permasalahan ini, mengerti?"Eric menahan senyumannya, tetapi dia tetap mengganggukan kepala sebagai jawaban. Lebih baik saat ini dia me
Eric hanya diam saja, dia tidak memiliki kata-kata untuk bisa menjawab pertanyaan istrinya. Ketika dia menyadari bahwa dirinya mencintai Anna, itu Karena rasa cinta di hatinya muncul secara tiba-tiba tanpa dia rencanakan. Setelah apa yang terjadi pada kedua orang tuanya, Eric tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada seseorang. Bahkan dia sudah bertekad untuk tidak membina sebuah hubungan. Dia tidak ingin menikah dan mengulang kesalahan yang telah diperbuat oleh ayahnya. Saat memutuskan untuk menikahi Anna, selain karena bentuk balas budinya pada Ibu Anna, dia juga dipaksa oleh sang ayah untuk menikah jika ingin mewarisi Shailendra. Eric tidak pernah menyangka bahwa setelah dia bersama dengan Anna, rasa cinta itu malah hadir saat dia melihat istrinya. Jadi, ketika gadis itu bertanya apa arti cinta menurutnya, tentu saja dia tidak bisa menjawabnya. Sebab yang dia tahu adalah dia mencintai Anna. Eric ingin selalu berada di sisinya dan melindunginya. Dia tidak suka Ketika sang istr
Anna mencengkram erat bantal yang dia pegang. Menatap Eric dengan sinis, napasnya berubah cepat. Ingin sekali dia menjahit mulut pria itu yang berani berbicara sembarangan. Seenaknya saja menuduh dia mesum padahal dirinya sendiri lah yang memiliki pikiran kotor tentang hal seperti itu. "Bagaimana ini? Aku tidak mau menjadi korbanmu tapi aku juga tidak bisa tidur di sofa," Eric terus saja berbicara seakan dia tidak melihat wajah Anna yang sudah merah karena amarah. "Atau aku membalut saja tubuhku dengan selimut supaya kamu tidak bisa menyentuhku?" Eric sebenarnya tahu dengan perubahan emosi di diri Anna. Hanya saja menggoda gadis itu menjadi suatu kesenangan baginya. "Sepertinya aku harus meminta seseorang meletakkan satu kasur lainnya untukku." Bugh!Tiba-tiba sebuah bantal mengenai kepala Eric, membuat pria itu terpelanting hingga bunyi debum yang sangat keras terdengar di kamarnya. Eric segera mengambil bantal yang terjatuh ke lantai. Setelah itu melihat Anna yang ternyata suda
Anna melihat keraguan di mata Eric, dia tidak mau memaksa pria itu tetapi untuk acara kali ini, bukankah sudah semestinya mereka hadir? Bukan untuk membungkam mulut orang-orang. Melainkan untuk menghargai Edmund sebab dia merupakan ayah kandung suaminya. Perlahan, Anna memegang kedua tangan Eric, senyuman di wajahnya juga terkembang. Hingga akhirnya pria itu membalas tatapannya lalu menganggukkan kepala. "Baiklah, kita lihat saja besok. Jika aku ingin pergi maka aku akan mengajakmu pergi bersamaku," meski kalimat itu diucapkan dengan tidak peduli, tetapi Anna tahu bahwa suaminya itu pasti akan datang. Setelah obrolan pagi di atas ranjang, mereka lalu bersiap untuk pergi bekerja. Anna mandi lebih dulu kemudian berdandan dengan rapi seperti biasa. Setelah selesai, dia hendak keluar dan pergi ke ruang makan. Tetapi dia teringat bahwa saat ini mereka tidak hanya tinggal berdua. Ada ibu mertuanya yang pasti sudah menunggu mereka. Anna bukannya merasa keberatan dengan kehadiran Vania d
Vania melihat ke arah anak dan menantunya secara bergantian. Seketika dia merasakan sebuah keanehan. Vania menegakkan punggungnya, menatap kembali wajah Anna dan seketika dia menyadari suatu hal."Anna," panggilnya, memegang tangan menantunya sembari tersenyum hangat. Anna menoleh, ditatap seperti itu seketika membuat hatinya tersentuh. Dia tidak pernah mendapatkan tetapan seperti itu dari sosok seorang ibu. Sebab ibu kandungnya sudah tiada ketika melahirkannya dan yang tersisa ternyata adalah ibu tiri yang membencinya. "Iya, Ma, ada apa?" "Hari ini selain bekerja, apakah kamu memiliki rencana?" Anna tidak langsung menjawab pertanyaan Vania. Tentu saja dia merasa keheranan, tetapi dia tidak menunjukkannya. "Tidak ada, Ma. Kebetulan pekerjaan hari ini tidak begitu banyak. Jadi aku bisa pulang lebih awal dari biasanya. Apakah Mama menginginkan sesuatu?" "Bagus sekali! Mama ingin mengajakmu ke suatu tempat. Bisakah?" Meski merasa bingung, Anna tetap menerima ajakan ibu mertuanya t