Mas Vino ternyata sudah tahu perihal Ratu yang ingin menyusul suaminya ke Kota Malang. Katanya, Wisnu sempat cerita lewat chat dengannya.“Selain karena tugas, Wisnu juga sedang menempuh pendidikan untuk bisa naik pangkat. Dan dukungan istrinya pasti sangat dia butuhkan. Apalagi mereka sama seperti kita, pengantin baru. Pengennya nempel melulu.”Aku hanya mengangguk dan membenarnya semua ucapannya. Terlebih di kalimat paling akhir.“Oh, ya. Ratu sempat kasih aku kado, Mas. Bentar!”Aku beranjak. Mengambil kado yang kuletakkan di lemari laci. Kado berbentuk kotak dengan lapisan kertas warna merah jambu dilengkapi pita warna merah hati. Manis sekali. Segera kuhampiri suami dan menunjukkan pemberian istri dari teman baiknya itu.“Coba buka!”"Oke!"Segera kubuka kado tersebut. Katanya khusus untuk pengantin. Isinya apa, ya, kira-kira? Jadi mendadak deg-degan begini. Saat kotak sudah terbuka, keningku berkerut melihat kain berbahan transparan yang berjumlah tiga. Astaga naga! Ratuuu ....
Aku hanya bisa mengangguk dengan gerakan pelan.“Sendiri?”“Enggak, diantar sama Pak Narto. Tadi waktu berangkat belum hujan, Mas. Ini tiba-tiba airnya kek ditumpah dari langit, deres banget.”“Bukannya besok kalian mau berangkat ke Semarang?”Aku kembali mengangguk.“Kenapa enggak dicegah aja Vino mau keluar?”Tuh, kan, perasaanku semakin tidak tenang mendengar kalimat dari Mas Alan. Papa menghentikan tatapannya dari layar ponsel.“Harusnya tadi ketemuannya di rumah saja, Kal. Vino suruh share lokasi rumah Om ke temennya itu.”Aku menatap Papa, pun beliau. Kami tampak baru sadar dengan ide Mas Alan. Ah, sudah telanjur.Hingga jarum jam menunjuk angka sepuluh malam, Mas Vino juga belum sampai rumah. Tidak ada kabar walau hanya sekadar chat yang mengabarkan mau pulang jam berapa. Hujan masih deras. Awet sekali. Aku terus berzikir setelah salat Isya. Mukena masih kupakai. Ponsel suami tidak bisa dihubungi. Mungkin terkendala sinyal karena hujan benar-benar lebat. Begitu juga dengan Pak
Papa menyerahkan dompet Mas Vino kepadaku. Dengan iringan isak tangis yang masih tersisa, kuraih benda itu dari uluran tangan Papa. Pak Narto sudah sadar walau masih terlihat linglung. Beliau ditemani Papa segera menuju kantor polisi untuk membuat laporan, berikut kesaksiannya.Mama dan Mas Alan menemaniku di luar ruangan ICU. Di dalam sana, suamiku sedang terbaring lemah dengan lebam di beberapa bagian wajah. Kedua matanya masih memejam rapat. Tindakan operasi pemasangan pen masih akan dijadwalkan secepatnya. Setelah memastikan hasil rontgen dan lainnya. Kami saling bungkam dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya aku masuk ruangan suamiku setelah memakai pakaian khusus. Aku mendekat dan duduk di sebelah pembaringan Mas Vino, menggenggam satu tangannya, menciuminya, lalu menaruhnya ke pipi.“Mas ... buka matamu, Sayang,” ucapku lirih. “Istrimu di sini. Kamu sudah aman.”Dokter bilang, dia sudah melewati masa kritisnya, tetapi kondisinya masih sangat lemah.“Mas, bangun ....” I
“Vin?”“Iya, Mas. Aku memberanikan diri untuk keluar dari mobil.”“Kenapa enggak coba minta bantuan dengan menelepon seseorang?”“Kondisi panik terkadang menyita setengah dari pikiran manusia,” ucap Mas Vino tenang.Suamiku lalu berkisah. Dua orang tak dikenal itu mengancam akan memecahkan kaca mobil jika keduanya tak mau keluar. Lelaki dengan memar di salah satu ujung bibirnya itu juga bilang, ia masih sempat berpikir, jika kaca mobil dipecahkan, tampaknya mereka berdua akan semakin kesal. Akhirnya, saat Mas Vino membuka pintu, salah satu dari mereka malah merangsek dengan menarik lengan Mas Vino.“Pak Narto berusaha teriak minta tolong, tapi rupanya obat bius di kain sudah disiapkan untuknya.”Kembali Mas Vino menceritakan rentetan peristiwa sampai aksi baku hantam akhirnya terjadi.“Awalnya aku bisa mengimbangi tiap serangan lawan, tapi saat sebuah bogem mendarat di wajahku, satu temannya lagi menendangku dari arah belakang.”Mas Vino menjeda kalimatnya. Emosinya seperti datang saa
Hah? Hamil?Aku menoleh ke arah suamiku yang menatap lekat dari atas bed-nya. Dia tersenyum hingga terlihat barisan giginya yang putih.“Mama, ih. Mana ada aku hamil. Ngadon-nya aja baru beberapa hari, masa iya langsung jadi?” jawabku setengah berbisik.Mama terkikik. “Iya juga, sih.”“Apa aku salah makan, ya?” gumamku.“Atau malah telat makan?” sambung Mama.Aku mengingat kapan terakhir kali mengisi perut. Malam sebelum kejadian, Mas Vino memang tidak ikut makan malam di rumah karena mau ketemuan sekalian makan dengan temannya. Sementara aku memilih tak makan, hanya memasukkan beberapa potong buah saja.“Iya ini, kamu telat makan,” tebak Mama. “Pas Vino keluar, kamu cuma makan buah aja, kan?”Aku meringis, sedangkan Mas Vino menatapku dengan pandangan tak suka.“Semalam kamu enggak makan, Kal?”Aku menggeleng.“Kenapa enggak makan?”“Keganjel buah jadi lupa, Mas. Niatnya mau minta beliin makan pas Mas Vino pulang nanti, tapi mendadak semakin gelisah. Mana hujan gede.”Walau agak lema
“Jay, Bu Jainab, saya mohon maaf sekali lagi. Semua terjadi di luar kuasa kami sebagai manusia.”“Sudahlah, Zeem, jangan terlalu formil. Kita ini sudah menjadi keluarga. Aku juga tidak terlalu mempermasalahkan kejadian yang menimpa Vino. Yang penting Vino masih selamat. Kita fokus saja sama kesembuhannya.”Ada sedikit gurat senyum di wajah papa saat mendengar jawaban besan sekaligus kawan mondoknya itu. Sementara ibu mertua hanya mengembuskan napas pelan seraya mengusap lengan putranya.“Sabar, ya, Nak. Ini ujianmu. Ini juga ujian keluarga kalian,” ucap ibu mertua menatap anaknya dan aku secara bergantian.“Maafin Vino, Bu. Andai Vino peka sedikit saja sama kekhawatiran Kalila, pasti sekarang kita enggak akan kumpul di rumah sakit lagi,” ujar lelaki dengan selang infus di tangannya itu.“Sudah, Nak. Andai-andai itu bisikan setan. Semua sudah terjadi. Yang penting kamu enggak kenapa-napa.”“Makasih, Bu. Maafin Vino ....”Mas Vino mencium tangan ibunya dengan begitu dalam. Aku yang seda
Lima hari setelah operasi pemasangan pen, kini Mas Vino bisa kembali ke rumah. Acara yang diagendakan di Semarang tetap berjalan walau tanpa kami sebagai dua orang pemeran utama. Ayah dan Ibu membatasi sanak saudara yang ingin menjenguk keadaan Mas Vino di Jogja usai operasi. Namun, hal itu tak berlaku untuk Mbak Vera sebagai kakak kandung satu-sarunya dari suamiku itu.Aku yang sedang berada di hotel usai mengikuti rapat penting beralih fokus pada getar benda pipih di saku jas. Nama ‘My Hubby’ terpampang di layar ponsel membentuk sebuah panggilan video. Aku tersenyum tipis dan segera menggeser ikon terima.“Assalamu’alaikum, Mas.”“Wa’alaikumsalam, Sayang. Aku ganggu, nggak?”“Enggak, Mas. Ini meetingnya sudah selesai. Ada apa, Mas?”“Kangeennn ...,” rengeknya manja.“Hadeeeh ... dasar pengantin baru. Mesra-mesraan nggak paham sikon!”Terdengar suara seorang wanita dari seberang sana. Tepatnya di sebelah Mas Vino. Keningku berkerut.“Mas Vino ada tamu?”Tanpa menjawab, suamiku malah
Seorang lelaki berpostur tubuh tinggi tegap dan wajah tegas yang terbilang rupawan berjalan ke arah toko yang baru saja kumasuki. Lamat-lamat kuperhatikan dengan saksama, takut salah orang. Namun, aku benar-benar yakin itu dia, apalagi saat tubuh yang terbungkus pakaian kasual dengan celana jeans itu kembali ke mobilnya seperti mengambil sesuatu, lalu mengunci kendaraannya kembali dengan remot otomatis hingga benar-benar masuk ke toko brownis.Aku terenyak seketika. Ingin turun untuk memastikan bahwa penglihatanku tidaklah salah. Namun, getar dan suara panggilan kembali menarikku. Nama Mas Vino terpampang di layar.“Iya, Mas?”“Kal, enggak usah mampir-mampir. Di rumah sudah banyak camilan dan oleh-oleh ini.”Ternyata suara Mbak Vera yang terdengar. Aku tersenyum dan segera keluar dari area parkir.“Ah, enggak kok, Mbak. Ini cuma beli es krim buat para keponakan. Mereka pada ikut, kan?”“Wah, wah, wah ... aroma-aromanya bakal jadi tante kesayangannya anak-anakku, nih. Paham banget cara