“Bu Idha, nanti Intan tolong bikinin jus alpukat sama susu.” Retno melirik pada kotak susu hamil, yang tergeletak di luar kantong kresek. Kemarin, Lintang memang sempat membawanya, dan ternyata isinya belum dituang ke sebuah wadah. “Baik, Bu.” Idha menghentikan kegiatannya memotong buncis, dan melihat Retno meraih kotak susu yang tidak jadi dibuka oleh Intan. “Bu, tadi mbak Intan ke dapur mau bikin susu, tapi dipanggil mas Safir ke kamar.” “Anak itu!” Retno berdecak. Meletakkan kembali kotak susu di tempatnya, dan berbalik. “Kamar Intan?” “Sepertinya iya, Bu,” “Makasih, Bu.” Retno mengangguk-angguk sembari mempercepat langkahnya. Ia segera pergi ke kamar Intan, dan mengerutkan dahi. Semakin dekat, Retno dapat mendengar suara perdebatan di dalam sana. Sampai akhirnya, Retno langsung membuka pintu kamar Intan setelah mendengar suara teriakan gadis itu. “Apa-apaan ini!” “Bu—Bu Retno.” Intan melangkah mundur dengan perlahan. Menjauhi dari Safir, dan menunduk karena tidak berani menat
Safir membuka mobile banking-nya, lalu melihat nominal saldo yang dimilikinya saat ini. Ia pun berdecak, karena nominal yang ada ternyata jauh dari yang diharapkan dan dibayangkan. Ke mana perginya gaji dan tunjangan perusahaan yang setiap bulan di dapatnya, selama ini? Mengapa semua seolah menguap begitu saja, dan tidak ada bentuk fisik yang bisa Safir lihat di depan mata. Seharusnya, dengan penghasilannya sebagai salah direktur perusahaan, Safir setidaknya sudah bisa memiliki rumah, apartemen, atau mungkin sebidang tanah untuk investasi. Namun, semua itu tidak ia miliki sama sekali. Bahkan untuk hal sepele yaitu mobil, Safir pun tidak memilikinya. Hanya ada satu buah city car pemberian Ario saat Safir kuliah dulu, dan satu mobil lagi yang baru saja ditarik oleh sang papa. Itupun, sedan mewah tersebut bukan milik Safir, tetapi milik Ario. Statusnya hanya dipinjamkan saja. Kenapa juga Safir baru memikirkan itu semua di saat ia sedang jatuh seperti sekarang. Safir sama sekali tidak me
“Ada jadwal kuliah hari ini, Tan?”Retno mempercepat langkahnya, saat melihat Intan berjalan lesu menuju dapur. Gadis itu tertunduk malas, dengan langkah yang tampaknya berat. Semoga saja, Intan bisa bersabar menghadapi Safir selama kehamilannya.Tidak kurang-kurang Ario dan Raga memperingatkan dan mengancam Safir, tetapi putra bontotnya itu masih saja berani berulah. Semoga dengan pembicaraan kemarin, Safir bisa berubah dan menjadi lebih baik lagi. Karena sebagai seorang ibu, Retno sebenarnya tidak tega jika harus melihat anak-anaknya hidup menderita di luar sana. Namun, bila Safir tidak diberi pelajaran, maka putranya itu tidak akan pernah tahu dengan arti kata tanggung jawab.Intan terhenyak. Menahan napas, dan memegang dadanya dengan kedua tangan. Entah apa yang Intan lamunkan barusan, sampai-sampai teguran Retno mampu membuatnya terkejut setengah hidup.“Bu-bu Retno.”“Jangan ngelamun.” Retno menoleh sebentar pada Intan yang sudah berada di sampingnya. “Kalau ada jadwal kuliah, a
Intan sedikit tersentak, saat mendengar tarikan kursi yang tidak jauh darinya. Ia menoleh pelan, kemudian melihat Safir duduk pada kursi di sudut meja makan dan menatapnya. Karena tidak nyaman dengan tatapan tidak bersahabat Safir, Intan langsung menelan makanan di mulutnya sekaligus. Ia memundurkan kursi, kemudian mengangkat piring dan bersiap untuk pindah ke dapur. Lebih baik menghindari Safir, daripada mereka kembali berdebat dan bertikai.“Duduk!” titah Safir ketika melihat Intan baru saja berdiri. “Memangnya aku kuman, he? Kamu mau makan, ya, makan aja.”“I-iya, Mas.” Dengan perlahan dan sangat hati-hati, Intan kembali duduk dan meletakkan piringnya di meja makan. Ia menunduk, lalu menyuapkan lagi makanannya ke mulut dengan tenang. Tidak menoleh ke mana pun, dan hanya fokus pada piringnya saja.“Bu Idha …” panggil Safir dengan suara kerasnya.“Bu Idha, lagi makan siang di rumah belakang sama yang lain, Mas.” Intan tetap mempertahankan posisi wajahnya. Tidak menoleh ke mana pun, d
“Hamil?” Retno melihat Mana yang ada di gendongan Raga, lalu segera mengambil sang cucu dari tangan putranya. Ia mengangkat Mana setinggi wajah, lalu menggeleng-geleng sembari terkekeh. “Kamu mau punya adek? Ckckck, papamu itu …” Subuh tadi, Rama sudah melakukan panggilan video dengan Retno maupun Ario, guna memberi kabar tentang kehamilan Lintang. Dari wajah Rama serta suara yang begitu antusias itu, Retno bisa membayangkan rasa bahagia bocah itu. Semoga saja, anak kedua Lintang nanti berjenis kelamin perempuan, agar sesuai dengan keinginan Rama. “Mumpung mamanya masih muda,” ujar Raga memberi alasan dan ikut terkekeh. “Tapi Mana baru tiga bulan, Ga.” Retno kembali menggeleng lalu membawa Mana duduk di sofa, dan memangkunya. Tidak lupa, ia juga mengajak Raga dan Lintang yang baru saja datang itu duduk bersama. “Ini memang direncanain, atau kebobolan, hayo!” Lintang dan Raga terkekeh dengan kompaknya. Tidak perlu dijelaskan pun, mereka yakin Retno sudah bisa menebak arti dari kekeh
Anwar tersenyum lebar saat menyambut kedua cucunya yang baru keluar dari mobil. Kedua tangannya sudah terbuka lebar, dan siap menangkap Rama yang berlari kecil ke arahnya. Sementara Mana, masih berada di belakang dan ada di gendongan Raga.“Sering-sering main ke rumah kakek!” seru Anwar saat memberi pelukan pada Rama. Setelah mengurainya, Rama langsung beralih pada Indri yang juga memberi satu pelukan hangat.“Papa sibuk,” jawab Rama lalu sedikit menggeser langkahnya setelah pelukannya dengan Indri terurai. Ia melihat ke ruang yang lebih dalam lagi, kemudian melangkah masuk dengan perlahan karena mendengar suara dari dalam sana. “Ada siapa di dalam, Kek?”“Ada tante Biya, sama om Maha,” jawab Indri masih sempat mengusap rambut Rama, sebelum bocah itu berlari setelah mendengar nama Biya dan Maha.Mendengar nama kedua orang itu, senyum Lintang sontak memudar. Kenapa Maha dan Biya, bisa datang bersamaan dengan Lintang seperti sekarang? Tahu begini, Lintang akan memastikan dulu kedua oran
Safir memelankan langkahnya menuruni tangga, saat melihat Intan berjalan menunduk dengan membawa tas selempangnya. Rambut hitam gadis itu digelung rendah seadanya, tetapi penampilan Intan sangat terlihat rapi. Hari bisa terbilang masih pagi, tetapi gadis itu tampaknya sudah mau pergi. Namun, pergi ke mana? Safir tahu pasti, Intan tidak ada mata kuliah di hari sabtu. Karena itu, wajar saja bila Safir mencurigai sesuatu. “Mau ke mana kamu?” tegur Safir kembali mempercepat langkahnya menuruni anak tangga. Andai cacing di dalam perutnya tidak memberontak, Safir pasti masih betah merebahkan diri di kamar, menghabiskan hari liburnya. “Mama sama papa pergi keluar kota, terus kamu juga mau ikut-ikutan keluar? Bukannya nggak ada kelas hari ini?” Kenapa juga Intan harus bertemu dengan Safir? Selama pria itu cuti, Intan jarang sekali bertemu dengan Safir meskipun mereka berada satu rumah. Safir jarang sarapan, makan siang, serta makan malam dengan tepat waktu. Pria itu lebih banyak tidur di k
“Kenapa ada mobil ibu di sini, Pa?” Lintang sampai menoleh ke belakang, saat mobilnya melewati roda empat milik Retno yang terparkir di halaman rumahnya. Lintang hanya ingin melihat nomor plat mobil tersebut, dan memastikannya. Ternyata benar, mobil tersebut adalah mobil milik Retno. “Ibu sama bapak bukannya lagi keluar kota?”“Mobil mama, kan, dipake Intan sekarang.” Raga hanya melihat sekilas, dan sudah menebak ada Intan sedang berkunjung ke rumahnya. Mungkin, Intan pergi mengunjungi Lintang karena tidak betah berada satu atap dengan Safir. “Jadi, Intan paling ada di dalam.”Saat mobil mereka berhenti, Raga lebih dulu membuka pintu dan langsung mengangkat car seat berisi Mana yang sudah tertidur pulas sejak tadi. Sementara Rama, tidak mau ikut pulang ke rumah dan masih betah berada di kediaman Dewantara.Lintang berdecak, saat mengetahui Intanlah yang saat ini berada di rumahnya. “Anak itu, pasti ada di gudang. Padahal sudah aku bilang nggak usah kerja lagi.”“Ma.” Raga tidak langsu