Safir memelankan langkahnya menuruni tangga, saat melihat Intan berjalan menunduk dengan membawa tas selempangnya. Rambut hitam gadis itu digelung rendah seadanya, tetapi penampilan Intan sangat terlihat rapi. Hari bisa terbilang masih pagi, tetapi gadis itu tampaknya sudah mau pergi. Namun, pergi ke mana? Safir tahu pasti, Intan tidak ada mata kuliah di hari sabtu. Karena itu, wajar saja bila Safir mencurigai sesuatu. “Mau ke mana kamu?” tegur Safir kembali mempercepat langkahnya menuruni anak tangga. Andai cacing di dalam perutnya tidak memberontak, Safir pasti masih betah merebahkan diri di kamar, menghabiskan hari liburnya. “Mama sama papa pergi keluar kota, terus kamu juga mau ikut-ikutan keluar? Bukannya nggak ada kelas hari ini?” Kenapa juga Intan harus bertemu dengan Safir? Selama pria itu cuti, Intan jarang sekali bertemu dengan Safir meskipun mereka berada satu rumah. Safir jarang sarapan, makan siang, serta makan malam dengan tepat waktu. Pria itu lebih banyak tidur di k
“Kenapa ada mobil ibu di sini, Pa?” Lintang sampai menoleh ke belakang, saat mobilnya melewati roda empat milik Retno yang terparkir di halaman rumahnya. Lintang hanya ingin melihat nomor plat mobil tersebut, dan memastikannya. Ternyata benar, mobil tersebut adalah mobil milik Retno. “Ibu sama bapak bukannya lagi keluar kota?”“Mobil mama, kan, dipake Intan sekarang.” Raga hanya melihat sekilas, dan sudah menebak ada Intan sedang berkunjung ke rumahnya. Mungkin, Intan pergi mengunjungi Lintang karena tidak betah berada satu atap dengan Safir. “Jadi, Intan paling ada di dalam.”Saat mobil mereka berhenti, Raga lebih dulu membuka pintu dan langsung mengangkat car seat berisi Mana yang sudah tertidur pulas sejak tadi. Sementara Rama, tidak mau ikut pulang ke rumah dan masih betah berada di kediaman Dewantara.Lintang berdecak, saat mengetahui Intanlah yang saat ini berada di rumahnya. “Anak itu, pasti ada di gudang. Padahal sudah aku bilang nggak usah kerja lagi.”“Ma.” Raga tidak langsu
“Padahal, aku nggak mau datang ke sini.” Melihat Rama mulai berjalan mendahuluinya, Lintang segera berteriak. “Ramaaa, jangan cepat-cepat jalannya. Pegangan sama tante Intan.” Karena Lintang tengah mendorong stroller berisikan Mana yang tertidur, maka ia tidak bisa sekaligus menggandeng Rama. Rama berbalik, lalu berjalan mundur. “Aku nggak jauh-jauh, Ma.” Setelah berucap hal tersebut, Rama kembali berbalik dan berjalan seperti biasa. Namun, tetap berada di depan Lintang dan Intan. “Capek, ya, Mbak?” tanya Intan. “Nggak capek juga.” Lintang segera menutup mulutnya yang baru saja menguap. “Cuma mager aja, Tan. Hamil yang ini, ni, aku malas ke mana-mana kalau nggak terpaksa. Ini aja kalau nggak diminta wakilin ibu, aku mending tidur di rumah.” Terbit setitik rasa iri di hati Intan, tetapi, lagi-lagi ia harus sadar diri. Memangnya, Intan siapa, sampai Retno meminta menggantikannya menghadiri opening ceremony pameran buku Internasional? Intan bukanlah siapa-siapa. Bahkan, posisi Safir
Intan memilih berhenti melangkah dan tidak lagi menyusul Safir. Perut bagian bawahnya mendadak terasa kaku, karena itulah Intan hanya berdiam diri sembari mengatur napasnya. Setelah berangsur pulih, Intan melihat sebuah kursi plastik yang berada pada stand buku yang tidak jauh darinya. Hanya berjarak kurang lebih lima meter, sehingga Intan tidak perlu berjalan terlalu jauh sampai menghampiri Lintang.Dengan perlahan, Intan duduk lalu mengeluarkan ponsel dari tas selempang kecilnya. Intan hendak melihat, berapa banyak nominal gaji Safir yang ternyata sudah ditransfer ke rekeningnya. Saat Intan melihat mutasinya, ternyata nominal yang masuk baginya sudah cukup besar. Ada uang masuk sebesar 10 juta rupiah ke rekeningnya.Namun, setelah Intan berhitung lagi, ia hanya akan menerima sebesar tiga juta rupiah setelah dikurangi jatah untuk Safir. Uang bensin mobil sebesar tiga juta, dan pegangan Safir setiap minggu sebanyak satu juta.Kalau begini, apakah Intan harus pasrah dan diam saja? Atau
“Papa mamamu masih dalam perjalanan.” Sebelum Intan bertanya, Lintang sudah lebih dulu menyampaikan sesuatu. Sebenarnya, Intan sudah sadar sejak masih berada di lokasi pameran, tetapi, Lintang memaksa untuk membawa adik iparnya itu ke rumah sakit terdekat. “Dengar apa kata dokter tadi, kan? Tekananmu rendah banget, sama dehidrasi juga. Jadi, kamu harus bedrest. Tahu gini aku ngajak kamu ke pameran.” Bukan salah Lintang, tetapi Intanlah yang sedikit memaksa untuk ikut. Intan bosan berada di rumah, dan sedang malas pulang ke rumahnya sendiri, karena orang tuanya pasti akan bertanya tentang banyak hal. “Mas … Safir?” Biarlah Intan dikatakan bodoh, tetapi di pikirannya saat ini hanyalah Safir. Apa pria itu sudah tahu Intan berada di rumah sakit? “Aku nggak bisa jawab.” Lintang sampai menelepon Eni, dan memintanya datang ke rumah sakit dengan menggunakan ojek agar cepat sampai. Urusan Rama masih bisa dititipkan pada Raga, kerena bocah itu sudah besar dan bisa diatur. Namun untuk urusan M
“Titip Intan, ya, Fir,” pamit Heru sembari menepuk lengan Safir. Sebagai seorang ayah, Heru merasa pernikahan putrinya dengan Safir sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa seorang suami berada di sisi istrinya, ketika tahu Intan masuk ke rumah sakit. Sesibuk-sibuknya Safir di luar sana, pria itu berusaha datang dan mendampingi Intan. Terlebih lagi, Intan saat ini sedang mengandung anak Safir.Namun, karena Intan selalu membela Safir, dan memberi banyak alasan, maka Heru hanya bisa mengangguk-angguk saja. Antara percaya, dan tidak percaya. “Besok, Bapak sama ibu ke sini lagi,” tambah Heru lalu pergi meninggalkan kamar inap tempat Intan dirawat.Safir mengangguk dan berusaha memasang senyum di wajahnya. Jika bukan karena Intan telah mengancamnya, Safir pasti sudah berbaring dan terlelap di kamarnya.Setelah kepergian kedua mertuanya, Safir langsung menatap Intan dengan tajam. “Kamu, jangan ngelunjak. Aku sudah berusaha baik sama kamu dan kita sudah damai.”“Kita damai, tapi Mas Safi
“Selama satu minggu ke depan, nggak usah pergi ke mana-mana,” pesan Retno sambil membuka tirai jendela kamar Intan. Menantunya itu sudah berada di rumah, karena dokter mengatakan kondisi Intan sudah cukup baik. Namun, Intan harus tetap beristirahat, dan tidak boleh melakukan pekerjaan berat yang bisa membuatnya kelelahan. “Izin kuliah, dan istirahat total di rumah.”Intan mengangguk dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sejak pembicaraannya dengan Safir pagi itu, Intan lebih banyak merenung dan memikirkan lagi tentang pernikahannya ke depan. Mendengar sendiri Safir mengatakan tidak mencintainya, Intan pun harus lebih sadar diri lagi. Selama ini, Intan sudah terlalu banyak berharap. Ia sempat beranggapan, kisah cintanya mungkin bisa berakhir seperti Lintang atau Raga. Namun, Intan salah.Jika begini, Intan harus berpikir ulang tentang masa depannya. Sepertinya, Intan juga tidak bisa bekerja di perusahaan keluarga Sailendra, seperti rencananya saat itu. Intan harus melepaskan diri dari k
“Ngapain, Ma?” Raga melihat Lintang termenung di samping jendela kamar. Raga menebak, hal tersebut ada hubungannya dengan Intan, karena istrinya itu tengah menelpon gadis itu beberapa waktu lalu. Lintang berbalik, kemudian memberi senyum pada Mana yang ada di gendongan Raga. Pria kecilnya itu baru saja mandi, dan masih berbalut handuk di pelukan sang papa. Sembari menghampiri Raga yang meletakkan Mana di tempat tidur, Lintang menceritakan perihal obrolannya dengan Intan barusan. “Kayak bukan Intan yang bicara,” lanjut Lintang sambil membuka tutup minyak telon, lalu menuangkan ke telapak tangan. Kemudian, Lintang menggosok kedua telapak tangannya, lalu mengusapnya di tubuh Mana dengan perlahan. “Responsnya dingin banget, Mas.” “Ma, Intan sudah dewasa.” Raga mengambil popok bayi yang sudah disiapkan Lintang, lalu memakaikannya dengan cepat, agar tidak ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba. “Biarkan dia belajar berpikir, dan mengambil keputusan sendiri. Seperti yang kamu bilang kemarin,