"Jangan takut, mobil itu sudah tidak mengikuti kita."Aku menenangkan Khanza yang masih terlihat gelisah. "Bersiaplah, sebentar lagi kita sampai," sambungku seraya mengelus kepalanya yang tertutup jilbab. Kami sampai di kediaman megah keluarga Pak Bambang. Aku membukakan pintu untuk Khanza yang terlihat jauh lebih tenang. Kuulurkan tangan untuk meraih lengannya. Kami bergandengan menuju pintu masuk yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan. Beberapa rekan bisnis yang kukenal menyambut kedatangan kami dengan hangat. Kami terlibat obrolan sebentar sebelum naik ke pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. "Terima kasih sudah bersedia datang, Pak Emir," ucap Pak Bambang ketika aku menghampirinya yang tengah berbincang dengan beberapa orang. "Sama-sama, Pak.""Ini ... istri Pak Emir?"Aku menoleh ke arah Khanza yang menangkupkan kedua tangan sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak. Ini istri saya.""Masya Allah, istri Pak Emir ini pandai sekali menjaga auratnya. Selamat d
"Tolong jangan sentuh istri saya, Bang! Kalian bukan mahram."Aku menyingkirkan tangan Bang Aidan dari tubuh Khanza, kemudian meraih tubuh istriku untuk kupeluk. Bang Aidan menatapku tajam, tapi aku tak peduli. Aku tidak suka dia terlalu berlebihan saat membangunkan istriku yang tidak sadarkan diri. Sebagai sesama pria, aku bisa melihat ada ketertarikan dari diri Bang Aidan terhadap istri pertamaku. Ternyata dugaanku benar. Keanehan sikap Bang Aidan ada hubungannya dengan Khanza yang terlihat selalu gelisah ketika Kakak iparku itu datang ke rumah ini. "Saya hanya berniat membantu," ucapnya dengan mata yang tak lepas dari wajah istriku. "Terima kasih. Tapi seharusnya Abang tidak perlu menyentuh anggota tubuh istri saya.""Maaf, saya hanya reflek."Aku mendengkus tak suka. "Jangan mencari kesempatan," tegasku. Gegas kubopong tubuh Khanza untuk kubawa ke kamarnya di lantai atas. Tidak ingin lebih lama berhadapan dengan Bang Aidan yang terus memperhatikan istriku. "Mbak Khanza kenapa,
"Apa maksudmu, Khanza? Kamu mau bilang kalau Najwa ingin menyingkirkan kamu?" Aku menebak jika Khanza mulai terpengaruh oleh mamanya. Istri pertamaku tidak pernah berprasangka buruk kepada orang lain, tetapi kini ia dengan tega menuduh Najwa melakukan hal sekeji itu. Aku paham, Khanza pasti merasa cemburu dan tidak suka kepada adik madunya. Namun, jangan sampai istriku memfitnah orang lain demi memuaskan rasa sakit hatinya karena tentu saja aku tidak akan membenarkan sikapnya."Jangan menuduh tanpa bukti, Sayang. Jatuhnya kamu memfitnah Najwa dan Bang Aidan.""Aku tidak sedang menuduh. Aku hanya berbicara kenyataan." Mata Khanza menatap nyalang ke arahku. Sepertinya ia tersinggung karena aku tidak mempercayai ucapannya. "Jangan seperti itu, Khanza. Mas tidak suka kamu memfitnah orang lain!""Aku tidak memfitnah!" Ia memekik."Apa yang dikatakan Khanza benar, Emir."Kami semua serempak menoleh ke arah Bang Aidan. Pria yang beberapa menit lalu hanya menjadi pendengar itu kini angkat b
"Khanza akan saya bawa pulang. Tolong beri ia waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Kamu fokus saja menenangkan Najwa yang saat ini lebih membutuhkanmu."Ingin sekali aku membantah perkataan Mama Alice. Berpisah dengan Khanza di saat hati ini dilanda gundah, sepertinya bukan pilihan yang tepat. Aku ingin mendengar ceritanya ketika ia disekap oleh Aidan. Apa saja yang mereka lalui di sana hingga keduanya bisa sedekat itu. Aku tidak bodoh untuk bisa mengartikan sikap mereka. Aidan dan Khanza. Mereka seakan terikat satu sama lain. Apalagi setelah mendengar ucapan Khanza yang ingin membantu meringankan hukuman pria itu. Bukankah terkesan aneh?Seharusnya, Khanza menuntut Aidan agar dihukum lebih berat karena dua kali telah mencoba mencelakainya. Seharusnya, Khanza tidak menaruh rasa iba pada penjahat yang telah membuatnya hampir kehilangan nyawa. Namun, sikap istriku sangat bertolak belakang dengan keinginanku yang ingin Aidan lebih lama mendekam di penjara. "Baiklah, Ma. Emir meng
"Terima kasih, Sayang. Kali ini kamu tidak menolak Mas lagi."Aku mengeratkan dekapan. Kurasakan Khanza mengangguk lemah dalam pelukanku. "Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Berdosa kalau aku terus menerus menolak Mas."Ya, aku paham meski sedikit kecewa. Khanza melakukannya bukan karena menginginkannnya, tetapi hanya sebatas kewajiban. Namun meski begitu, aku tetap merasa puas karena telah menuntaskan rasa rindu yang selama ini hanya bisa kutahan sendirian. "Mas akan menginap di sini," ucapku kemudian. "Menginap? Lalu bagaimana dengan Najwa?""Ada Mama. Mas sudah menitipkan dia padanya. Najwa juga mengizinkan bahkan ia meminta Mas menyampaikan permintaan maafnya padamu."Khanza tidak menjawab. Kami dilanda keheningan beberapa saat hingga ketukan di pintu kamar terdengar. Khanza bergegas memakai kembali handuk yang tadi sempat kulempar. "Tolong buka pintunya, Mas. Tapi jangan lupa pakai pakaianmu dulu," ujarnya tergesa seraya bergegas menuju kamar mandi. Aku m
"Aku bersedia mundur, Mas."Perkataan Najwa terus terngiang di telinga ini. Ia rela melepaskan diriku demi Aidan, kakak yang telah menculik istri pertamaku. Jujur saja aku merasa terhina. Aku dikalahkan oleh seorang Aidan yang bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku. Kedua istriku sama-sama menginginkan Aidan dibebaskan, dan permintaan tersebut sangat sulit kukabulkan. Kini, aku memilih pergi menjauh dari mereka untuk sementara waktu sampai amarah dan kecewa dalam diriku sedikit berkurang. Aku tidak ingin menyakiti kedua istriku dengan perkataan atau tindakan kasar, dan di sinilah aku sekarang. Di salah satu villa milik keluarga di daerah Puncak. Aku sengaja mematikan ponsel agar tidak ada satu orang pun yang mengganggu ketenanganku, termasuk istri-istriku. Melepas Najwa memang sempat terlintas dalam pikiranku. Pernikahan poligami ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Selain dituntut untuk adil dalam pemberian nafkah dan waktu, aku pun harus bisa menjaga perasaan
Suasana di ruang rawat Najwa diliputi keheningan. Aku yang masih shock dengan kabar yang aku dengar, serta kedua istriku yang sama-sama terdiam, menungguku berbicara. Hanya isak tangis mereka yang sesekali terdengar di telinga ini. "Mas ke mana saja?" Pertanyaan Khanza belum sempat kujawab. Aku belum mampu mengucapkan satu patah kata pun untuk menjelaskan ke mana aku selama dua hari ini. "Mas, katakan sesuatu. Bayi kita sudah tidak ada. Apa Mas tidak merasa kehilangan?" Najwa angkat bicara. Aku menghela napas berat sembari meremas rambut dengan sedikit kasar. Mana mungkin aku tidak merasa kehilangan padahal kehadirannya sudah sangat lama kunantikan. Mereka tidak tahu bagaimana terpukulnya aku hingga sekedar berkata-kata saja tidak bisa. "Mas sangat kehilangan dia, Najwa. Untuk itu, Mas minta maaf karena menjadi suami yang egois untuk kalian. Mas memang tidak berguna. Menjaga istri satu saja sering terabaikan, tetapi Mas malah ngotot ingin mempertahankan kalian berdua," ucapku lir
Dua tahun kemudian."Biar saya yang bawa kopernya, Den." Pak Cecep mengambil alih koper dari tanganku. Pria berusia sekitar empat puluh tahunan itu menyambutku begitu aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ia membukakan pintu setelah menyimpan koper terlebih dahulu ke bagasi mobil. Kendaraan roda empat yang kutumpangi ini mulai melaju, membelah jalanan kota Jakarta yang diserang macet seperti biasanya. Dua tahun sudah semenjak perceraianku dengan kedua istriku, aku makin disibukkan dengan bisnis kuliner yang sengaja aku buka bersama salah satu teman yang tinggal di Tokyo. Awalnya hanya sebagai pengalihan agar aku tidak terlalu terpuruk setelah melepas dua wanita yang berharga dalam hidupku. Namun ternyata, cara ini berhasil dan aku bisa sedikit melupakan bayang-bayang mereka yang dulu hampir menghantuiku setiap malam, terutama Khanza. Ah, wanita itu ... entah bagaimana keadaannya sekarang. Aku hanya bisa berharap semoga ia berbahagia setelah lepas dari pria egois sepertiku. Ingatan i