"Kasian anak-anak kamu mereka terlihat lelah, biar aku antar saja, hubungi sopirmu tidak perlu menjemput."Dina melihat anak-anaknya yang memang lelah, sejenak Dina memandang Aksa, anak itu mengangguk menyetujui usul Brian. Dina tak tahu apa yang akan terjadi nanti, pulang malam dengan diantar atasannya, apalagi fakta Brian yang menggantikan Angga menemani anak-anak bermain. Dina hanya berfikir bagaimana nanti reaksi suaminya? Apa Angga akan marah padanya? Atau bersikap biasa-biasa saja? Dina tidak ingin Angga marah padanya meski dia dan Brian tidak terlibat hubungan apapun, tapi di sisi lain dia juga akan sakit hati kalau Angga bersikap biasa-biasa saja dan membuktikan kalau tak ada cinta sedikitpun di hatinya, itu akan semakin membuat Dina terluka."Kenapa diam saja, Din?" tanya Brian."Saya tidak tahu harus bicara apa? Yang jelas saya berterima kasih sekali karena kamu mau repot-repot menemani
"Terima kasih tawarannya tapi saya akan menyelesaikan semuanya sendiri, kamu bisa menyapanya sebagai kenalan atau atasanku, itupun jika dia tidak sibuk," jawab Dina ragu sendiri kalau Angga akan punya waktu memikirkannya dan anak-anak yang belum pulang ke rumah."Baiklah terserah kamu saja."Dina mengeluarkan ponselnya menelepon satpam yang menjaga gerbang, supaya membukakan pintu untuknya. Sebentar kemudian gerbang terbuka, dan mobil Brian meluncur masuk ke halaman."Ada yang nungguin kamu kayaknya," goda Brian. Dina mengalihkan memandang sosok laki-laki yang memandang mereka dengan tajam tepatnya mobil yang mereka tumpangi. Dina menggigit bibirnya menahan semua kekecewaan agar tidak menyembur keluar, suaminya bahkan tidak memiliki inisiatif untuk menjemput mereka, malah meminta Pak Amin yang menjemput, apakah dia dan anak-anaknya memang begitu tak penting, sehingga tidak masalah ditinggalkan begitu saja.
"Dan perlu kamu tahu, aku tidak akan merendahkan harga diriku dengan berselingkuh seperti yang kamu lakukan."Dengan kalimat itu Dina berderap pergi membuka pintu kamar dan membantingnya dengan keras.Melangkah cepat menuju kamar Ara."Eh, Nyonya, mau ke kamar, Non Ara? Saya baru saja memberinya susu dia bangun dan minta susu." "Terima kasih," jawab Dina ketus, membuat Mbak pengasuh Ara itu terkejut, tapi segera pergi takut kena semprot.Dina langsung membuka pintu kamar Ara, dan merosot ke lantai yang dingin, kakinya sudah tidak kuat menahan beban tubuhnya, tangannya bahkan bergetar hebat, bahkan tak mampu mengusap air mata yang dengan lancang jatuh membasahi pipinya. Dina benci ketakutan dan tak berdaya seperti ini. Dia takut sekali lagi akan dibuang seperti sampah yang tak berharga tapi dia juga tak mampu melawan andai Angga tak memiliki perasaan lebih padanya dan memutuskan memilih Keira sebagai sat
"Kamu baik-baik saja?" tanya Angga terlihat khawatir melihat wajah pucat istrinya. "Biar aku bantu ke ranjang."Tanpa menunggu persetujuan Dina, Angga menggendong tubuh lemas istrinya ke ranjang dan membaringkannya dengan hati-hati. "Jangan kerja dulu, kita ke dokter," kata Angga."Aku nggak apa-apa, ini cuma masuk angin saja, nanti juga sembuh aku hanya perlu minuman hangat," jawab Dina keras kepala."Jangan membantah, Din, kali ini saja turuti suamimu ini, masih banyak kesempatan jika kamu ingin bertemu Brian." Angga yang semula terlihat khawatir menjadi marah membuat Dina terperangah."Jangan menuduh sembarangan, aku tidak serendah itu," jawab Dina dengan tajam.Angga menghela nafas meredakan gejolak hatinya, istrinya sedang sakit tak pantas rasanya dia berkata begitu."Baiklah, maaf, tapi kamu tetap harus ke dokter, aku memang bukan ayah yang baik tapi aku tidak ingin terjadi apa-a
Dina menyandarkan kepalanya yang terasa berat di sandaran kursi. Kepalanya makin pusing memikirkan suami dan anaknya. Andai saja dia bisa memilih dia tidak ingin masuk dalam persoalan rumit ini. Dulu dia hanya berpikir praktis menikahi laki-laki yang telah ditinggal mati istrinya dan hanya perlu mengasuh dua orang anak. Terlihat mudah baginya apalagi Dina yang sudah terbiasa mengasuh adik -adik panti, dia hanya belajar menjadi istri yang baik. Sesimple itu dulu pikirannya. Dia tak pernah berpikir suatu pernikahan akan ada pengkhianatan akan ada saling hina dan caci antara keluarga. Semua itu pengalaman yang baru di hidup Dina, hidup damai dalam keluarga yang selama ini diinginkannya ternyata tidak seindah dongeng yang dia baca di buku yang semuanya akan hidup bahagia selamanya setelah menikah. Nyatanya sebuah pernikahan adalah gerbang awal untuk sebuah hidup baru. Harus menyesuaikan kebiasaan masing-masing, menekan ego sampai ke dasar hat
"Hanya feeling saja," jawab Dina enteng dan meneruskan langkah tapi Angga menahan tangannya."Dina, apa kamu tidak ingin mengandung anakku lagi?"Dina menghentikan langkahnya dan menatap suaminya tajam."Apa, Mas, masih menginginkan anak dariku?" Dina balik bertanya. Angga terdiam dia tahu benar maksud pertanyaan Dina, bukan soal ingin anak lagi atau tidak tapi tentang kesiapannya mempunyai seorang anak lagi, padahal kemarin dia dengan tega meninggalkan Dina dan anak-anaknya."Sebaiknya kita segera menemui dokter. Aku heran kamu ini sedang sakit tapi kata-katamu tetap saja tajam," keluh Angga."Malang sekali nasibmu beristrikan wanita bermulut tajam ini," ejek Dina."Mau bagaimana lagi, aku menyayangi wanita bermulut tajam ini dan tak akan melepasnya sampai kapanpun," kata Angga merangkul bahu Dina dan mengajak sang istri kembali berjalan.Dina hanya mendengus kesal, tapi tida
“Kamu pergi dulu ke ruang rapat, aku akan menemani istriku sebentar.” Angga menekankan kata istri seolah ingin mempertegas pada Bara kalau wanita di sampingnya ini memang miliknya. Masih dengan mengawasi tingkah Bara melalui ekor matanya, Angga mengajak Dina masuk ke ruanganya.“Istirahatlah dulu di sini, aku akan segera kembali.”“Iya, Mas, berangkat saja.” “Kamu ingin makan atau minum sesuatu?’ tanya Angga lagi.“Tidak terima kasih.” Angga segera meninggalkan Dina setelah memastikan sang istri nyaman di ruangannya. Dina sendiri langsung berdiri dari sofa dan berjalan melihat sekeliling ruangan. Tempat ini masih tetap sama tidak ada yang berubah seperti terakhir kali dia kemari. dina berjalan menuju meja kerja suaminya dan duduk di kursi yang terlihat nyaman itu. Di sana juga masih sama, ada beberapa dua buah foto yang menghiasi meja kerja suaminya. Foto dirinya dan tiga orang
Dina terdiam melihat Angga yang begitu marah padanya, tapi pantang baginya untuk mundur, Dina harus menyampaikan semuanya.Menceritakan beberapa peristiwa yang dia alami dan menyertakan beberapa bukti yang memang dia butuhkan. Dina tak butuh Angga mengantarkannya atau bersusah payah mencari dokter yang tepat dia hanya ingin laki-laki itu memberikan persetujuannya sebagai orang tua kandung Aksa."Dengan berbagai bukti dan penjelasanku apakah, Mas, masih belum percaya? Aku mengatakan ini karena tidak ingin hal buruk terjadi pada Aksa." Dina menatap suaminya tajam yang masih saja diam tak mengeluarkan sepatah katapun.Angga segera berdiri dan membuka pintu balkon hotel yang mereka sewa, duduk termenung di sana, tangannya mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya dan menyalakannya. Sebenarnya Angga bukan perokok, hanya waktu-waktu tertentu saja dia membutuhkan benda itu. Termasuk sekarang,