Setelah Hanan keluar, Fania langsung mendekati Malilah.
"Malilah, maaf ya. Aku lagi labil. Soalnya, kan tahu sendiri rasanya hamil muda," ucap Fania sambil mendekat pada Malilah. Malilah hanya tersenyum sambil mengangguk. Ada yang tercubit sedikit di bagian hatinya mendengar ucapan Fania. Tadi ia sempat heran, melihat Hanan kembali bersama Fania dengan wajah yang datar seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal sebelumnya Hanan terlihat begitu marah.
"Enggak apa-apa, kok!" jawab Malilah berusaha tersenyum.
"Tadi Hanan bilang, akan ikut pindah ke rumah. Soalnya dikehamilanku yang kedua aku pengen dekat orang tuaku sendiri," ucap Fania sambil mengangkat bahu.
Malilah terdiam sebentar. Membayangkan ucapan Fania. Dahinya berkerut membayangkan Bu Ratih. Tapi, sesaat kemudian wajah Malilah kembali datar.
"Wajar kok!" sahutnya kemudian singkat.
Fania tersenyum. Ia makin semangat memamerkan bayangan-bayangan indah
"Bagaimana Hanan? Kamu setuju kan?" Bu Ratih mendesak Hanan yang terlalu lamban menanggapi ucapannya."Ma! Itu enggak mungkin!" Hanan menggeleng perlahan."Kenapa enggak mungkin Hanan. Kalau kamu berani ambil tindakan, semua pasti mungkin. Kamu memang masih dibutakan oleh cinta, Hanaaan! Sadar Hanan! Sadar!" Bu Ratih geregetan."Ma ... memang, aku sempat berniat berpisah dengan Fania setelah apa yang dia lakukan pada Mama kemaren. Tapi ....""Tapi apalagi. Langsung!"Bu Ratih memberikan semangat untuk niat Hanan yang memang sangat ditunggunya. Hanan menggeleng."Enggak bisa, Ma. Fania lagi hamil," ucap Hanan akhirnya membuat wajah Bu Ratih yang semula memancarkan keceriaan, sayu kembali."Apa kamu bilang? Hamil? Fania Hamil?"Hanan mengangguk."Jangan cari alasan, Hanan! Konyol!" Bu Ratih menggeleng tak percaya."Serius, Ma!""Paling akal-akalan Fania aja," Bu Ratih bersikukuh.
Bu Ratih melangkah ke kamar mencari ponsel. Tak sabar ia ingin berbicara dan memarahi Hanan.Tuuut! Tuuut! Tuuut!Tak tersambung. Rupanya Hanan sengaja mematikan ponselnya. Bu Ratih bertambah geram dengan ulah Hanan. Ia duduk bersandar di ranjang, berusaha menetralkan emosinya. Malilah masuk setelah Arumi sudah agak tenang."Ibu. Tenang dulu Bu. Jangan marah-marah nanti tekanan ibu naik lagi. Saya ambilin minum dulu, ya?"Malilah meletakkan Arumi kembali ke kasur, lalu ia bergegas mengambil air minum. Bu Ratih yang masih emosi langsung menghabiskan segelas air."Bisa-bisanya Hanan, diperbudak oleh perempuan ular itu? Paling itu akal-akalannya dia aja!" gumam Bu Ratih dengan tatapan kosong.Malilah diam saja. Tak tahu harus menjawab apa."Apa yang terjadi di rumah sakit, Malilah?" tanya Bu Ratih dengan dada naik turun. Malilah jadi tak tega dan takut bicara yang bisa menaikkan emosinya Bu Ratih.&
"Mas, kamu kenapa sih, gelisah. Sini coba temani aku," Fania menarik Hanan ke pembaringan.Tok! Tok! Tok!Pintu kamar di ketuk."Masuk aja, Bik!" seru Fania masih dalam posisi berbaring.Seorang Wanita masuk membawa nampan yang penuh berisi makanan. Ia meletakkan makanan di meja dekat tempat tidur. Setelah mengangguk pada mereka Hanan dan Fania, wanita tersebut keluar lagi."Bik Sumi, pembantu baru," ucap Fania menyebutkan nama wanita tadi. Hanan diam saja. Bukan itu yang membuatnya heran."Ayo, makan," ajak Fania langsung menyibak bantal."Kenapa harus di kamar sih? Kenapa enggak di luar aja?" tanya Hanan risih karena bukan kebiasaan di rumah mereka."Aih! Mas ... gak papalah. Apa gunanya pembantu kalau enggak ngantarin makan sampai ke kamar sih! Apalagi, aku lagi hamil muda gini," gerutu Fania."Oh, jadi kamu kalau makan di rumahmu, selalu di antarin ke kamar?" Dahi Hanan b
Hanan mencoba mengulang panggilan, namun tak ada jawaban. Sekali, dua kali, tersambung. Panggilan ketiga direject langsung oleh ibunya. Lama Hanan termenung memikirkan semuanya. Ini kemarahan terbesar kedua setelah dulu ia berhasil meluluhkan hati ibunya untuk menikahi Fania.Untuk kali ini Hanan rasa ibunya tak yakin akan luluh. Malilah? Tiba-tiba Hanan menepuk jidat. Kenapa dia lupa ada Malilah alternatif lainnya. Ia mencoba menelpon Malilah, tapi sama. Tersambung tapi tak diangkat."Mungkin dia sibuk sama Arumi," pikir Hanan sambil mengusap layar ponsel dengan perasaan melow.Ia membuka WA dan mencari kontak Malilah. Dibukanya foto profil Malilah. Hanan menyungging senyum di bibir, melihat Malilah memasang fotonya yang sedang memandang Arumi dengan tatapan mesra dalam pangkuan. Setetes rasa hangat mengalir di lubuk hati Hanan yang sedang dilanda resah dan bimbang. Cukup lama Hanan menatap foto Profil Malilah. Kehangatan di hatinya makin bertambah,
Malam hari Hanan gelisah menunggu Fania tidur. Hanan mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Malilah.[Jangan tidur dulu, Aku mau video Call. Mau liat Arumi][Iya]Hanan menarik napas resah sambil berbalik memunggungi istrinya. Berpura-pura tidur lebih dulu. Fania tak kunjung tidur. Rasanya sudah cukup lama Hanan meringkuk dalam selimut sambil memejamkan mata, Fania masih saya bermain-main dengan ponselnya sementara televisi tak berhenti menyala. Terakhir Hanan melihat jam di ponselnya tadi kurang lima belas menit jam sepuluh malam.Kurang lebih setengah jam kemudian, tak ada lagi krasak-krusuk di sebelahnya. Hanan membuka mata dan mengangkat kepala pelan. Ia melihat Fania terpejam dengan ponsel terkulai di telapak tangan.Pelan-pelan Hanan meraih ponselnya. Fania tak bergerak. Rupanya ia sudah tertidur lelap. Hanan mencoba mengusap layar ponsel. Terkunci pola. Hanan mencoba berbagai pola, selalu gagal. Akhirnya ia meletakkan kembali ponsel
Malilah terdiam di tempat tidur setelah menyambut ponsel yang beberapa saat tertahan di tangan Bu Ratih. Ia tak menyangka Bu Ratih mendadak masuk kamar Arumi saat Hanan berbicara memanggil-manggil Arumi. Apesnya lagi Bu Ratih langsung mengacungkan telunjuk melarang ia merubah posisi, kemudian menyilang telunjuk melarang Ia memberitahukan keberadaannya yang ikut mendengar pembicaraan mereka."Untung saja, aku tadi ke dapur untuk mengisi air minum yang habis. Kalau enggak, mungkin seterusnya kalian akan saling berhubungan secara sembunyi-sembunyi di belakangku!" ucap Bu Ratih dengan nada dingin."Ma-af, Bu. Sa-ya ....""Iya! Aku tahu, Hanan yang menyuruhmu diam-diam, kan?" potong Bu Ratih sambil menatap Malilah tajam. Malilah mengangguk sambil menunduk."Tapi enggak seharusnya kamu mengiyakan, Lila! Aku kan sudah bilang, jangan pernah angkat kalau Hanan menelpon. Heh! Masih aja!" ucap Bu Ratih dengan nada geregetan."Ma-af, Bu!" ucap Mali
"Malilah!" Bu Ratih menyentuh tangan Malilah yang terasa dingin."Berjanjilah demi Arumi!"Malilah melepas genggaman tangan Bu Ratih, dan berpaling menatap Arumi yang entah sejak kapan mulai gelisah di pembaringannya. Anak manis itu sudah berbaring jauh dari bantalnya. Malilah dan Bu Ratih sejak tadi tenggelam dalam pembicaraan mereka.Eaaa ... eeaaaa ....Arumi berguling lagi mendekati posisi semula. Malilah langsung mengangkat tubuh mungilnya kembali ke bantal. Setelah itu ia berbaring miring menghadap Arumi. Tangan kanannya ditekuk, untuk menopang kepala. Tangan kirinya mengelus-elus belakang Arumi yang sedang menyusu. Posisi favoritnya bila memberikan ASI pada Arumi.Malilah melirik pada Bu Ratih yang masih duduk di lantai sampai sesekali mengusap air mata. Kemudian ia menatap Arumi yang begitu menikmati rutinitas rutin mereka."Ah, apa yang ibu lakukan?"Rasa tak tega mulai menyerang satu sisi hati Malilah. Tapi r
"Yang penting, kamu bersedia melakukan permintaan ibu?" Bu Ratih menatap Malilah dalam-dalam. Sorotnya menyimpan harapan yang teramat sangat."Saya akan menyanggupi permintaan Ibu, tapi saya juga ada syarat.""Katakan!" sambar Bu Ratih dengan wajah berbinar."Saya mau menikah dan menjadi istri kedua Hanan demi Arumi. Tapi, setelah Arumi sudah tidak membutuhkan ASIku lagi, tak perduli bagaimana hubungannya Hanan dengan Fania nantinya, saya minta Hanan melepaskan saya. Biarkan saya pulang untuk hidup dengan orang tua saya di desa," ucap Malilah akhirnya luluh juga meskipun tetap mengajukan syarat. Hati kecilnya benar-benar menolak predikat istri kedua yang akan disandangnya. Tapi demi Arumi dan Bu Ratih, biarlah jika hanya untuk sementara waktu."Maksud kamu, kamu bersedia menjadi istri Hanan selama masa menyusui Arumi saja?" tanya Bu Ratih mempertegas. Malilah mengangguk. Bu Ratih menarik napas panjang sambil berpikir keras."Baikl