Share

BAB 6 - Tanpa pamit

"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa."

"Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana."

"Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini."

"Haha, sini kasih aku pelukan."

Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua.

"Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis.

"Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest."

Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan semua orang.

Mendengar kedekatan mereka berdua, Lara menyimpulkan, Aksa lebih banyak bicara jika bersama Savira. Tawanya sering kali terdengar, dan suara bariton renyah itu terdengar ramah. Tidak seperti ketika mereka berdua, tapi tentu saja, Lara dan Savira adalah dua orang yang menempati posisi berbeda di dalam hidup Aksa.

Tumpukan laporan dan buku miliknya sendiri banyak yang harus dibawa dengan dua tangan Lara. Ia sedikit kesulitan, hingga mungkin karena kurangnya kehati-hatian, kaki Lara terselip karpet yang ada di ruangan itu dan jatuh.

"Aduh." Bukunya berserakan di lantai, dia merutuki kesialannya yang terlalu gugup. "Maaf," ucapnya malu.

Tangannya mengambil buku dan barang-barang yang berserakan, lalu tiba-tiba satu tangan putih bersih terawat menjulur membantunya. Savira tersenyum cantik ke arah Lara, yang justru semakin membuat hatinya tersudut. Kulit bersih dengan bentuk wajah oval dan satu lesung pipi di kiri. Savira adalah bentuk kesempurnaan, cantik dan pintar.

"Te-terima kasih, dr. Savi."

"Sama-sama, mau dibantu bawanya? Sepertinya kamu terlihat kesulitan membawa barang," tawar wanita itu.

Lara dan Savi kembali berdiri, saling bertemu tapi mata Lara tak berani mengambil lebih. Ujung matanya mencuri pandang ke arah laki-laki di belakangnya, seperti biasa, Aksa menatap dirinya datar tanpa ekspresi.

"Biar nanti dia dibantu security, kita ke ruanganku aja, Sav." Tangan Aksa menarik Savi untuk kembali berdiri di hadapannya. "Mau makan siang di luar? Aku ada warung gado-gado enak dekat rumah sakit."

"Ah, kamu masih inget sama makanan favoritku?"

"Ck, tentu ..."

Pembicaraan hangat itu tak putus, Lara hanya mengangguk pelan sebagai tanda sopan saat keduanya keluar dari ruang meeting.

Aku juga tiba-tiba laper, batinnya sendiri. Lara menunggu petugas cleaning service untuk membantunya, sampai di jam makan siang, Lara masih berkutat dengan mesin kotak yang sedang menampilkan komunikasi Lara dengan seketaris lainnya di luar sana. Mereka sedang mengatur jadwal bertemu, saling mencari waktu yang tepat di sela kesibukan pada direksi.

Me :

Ko, kamu nggak mau ngucapin 'jangan lupa makan siang', gitu?

Tiba-tiba, Lara merasa hidupnya sepi. Jika lebih terbuka dan mau bersosialisasi, mungkin, bisa saja Lara punya pacar. Dia tidak jelek, hanya mungkin kurang terawat. Tubuhnya juga tidak kurus, hanya mungkin Aksa saja yang lebih suka wanita berisi. Tapi, apa ada laki-laki yang mau dengan wanita yang sudah tidak perawan? Apalagi, keperawanan yang dibeli.

Koko :

Ngapeee? Bosen? Udah nggak usah neko-neko, gawe sono.

Sahabatnya itu memang tidak peka. Lara mendengus sebal, kembali membalas pesan Koko. Ia memastikan tempat kerjanya dulu, sepi, setidaknya dia punya kesempatan mencuri waktu sebelum jam makan siang.

Me :

Ngucapin aja sih, ribet banget deh.

Koko :

Jangan lupa makan, jangan lupa baca doa takut kesedak kodok.

Kedua ujung bibir Lara naik tinggi, melebarkan senyum saat Koko mengirimkan potret dirinya yang sedang bekerja di sebuah pabrik otomotif. Jangan berfikir gajinya besar, Koko hanya lulusan SMK yang kebetulan langsung bisa kerja di sana. Koko lebih dahulu datang ke Jakarta dibanding Lara yang masih mengejar gelar sarjana.

"Cieee, chatingan sama pacar lo, Ra."

"Ciee ciee, Lara punya pacar."

Kedua seniornya sudah berdiri di samping meja, dengan mata genit yang dibuat-buat, dan nada manja yang menjengkelkan.

"Ayaaang, temenin aku nonton doong. Ape gini? Ayaaang, aku capek kerja." Kak Dewi mulai mengganggu Lara, memeluk tubuh wanita itu sambil memparodikan bayangan orang kasmaran di kepalanya.

"Nggak, Kaak. Cuma temen."

"Dih, nggak mungkin cuma temen sampai senyum-senyum gitu. Ak—."

"Ekheem, kaya-nya lagi asik banget ngobrolnya." Savi dan Aksa berdiri di depan meja kerja seketaris, Savi yang datang mendekat sambil menyapa mereka bertiga. "Kira-kira apa sih yang dibahas?"

"Ini, dok—, aduuh sakit, Ra!" Kak Dewi mendapat sikutan ringan di pinggangnya, tidak sampai sakit seharusnya, hanya sebagai pengingat untuk tidak berbicara berlebihan. "Lara punya pacar baru."

Riuh sudah, Kak Siska dan Kak Dewi semakin semangat menggoda Lara dihadapan Savi.

"Waah, selamat, Lara. Semoga langgeng yaa. Kalau nikah kabar-kabar.” Savi membubuhkan senyum ramah di akhir kalimatnya.

Aksa menarik Savi untuk kembali berjalan di sampingnya. "Ayo, tempat gado-gadonya ramai kalau di jam makan siang."

"Aku pinjem dr. Aksa dulu ya teman-teman, nggak lama kok, jam satu sudah kembali kerja."

Mungkin itu sebagai kalimat pengingat, agar teman-teman seketaris tidak mengganggu keduanya ketika mereka makan siang bersama.

"Baik, dok. Selamat makan siaang," jawab Kak Dewi.

Setelah Aksa dan Savi tak lagi ada di tempat yang sama, Lara mencubit satu persatu seniornya. "Iiih, Kakaak. Kan malu."

"Haha, nggak apa-apa. Dr Savi sepertinya ramah banget ya gais ya, cocok-lah sama baby bear yang wajahnya jutek terus gitu."

Ada banyak lagi perbincangan setelah itu, bekerja dengan Kak Dewi dan Kak Siska memang harus sabar. Mereka berdua banyak bicara, berbanding terbalik dengan Lara yang lebih banyak diam.

Sepulang kerja, Lara tak lagi menjadikan kos sebagai tujuan. Dia berada di sanggar senam, menari hingga malam menjelang. Lara kesakitan, tubuhnya lelah, tapi dia tidak peduli, ketika sakit di hatinya semakin menjadi-jadi. Lara ingin mengusir rasa sakit itu dengan rasa sakit lainnya. Lara ingin mengusir rasa sesak di dadanya dengan bahagia menari.

Jika bisa Lara pergi, mungkin dia akan memutuskan resign dari tempat kerjanya saat ini. Tapi Lara butuh uang, hal yang mungkin tidak ia dapatkan di tempat lainnya. Sebagai seorang seketaris, pengalamannya belum terlalu mumpuni. Dia juga bukan wanita cerdas yang bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Bisa bekerja di rumah sakit Al Fayaadh itu saja karena keberuntungan. Perusahaan itu sedang mencari seketaris secepatnya ketika Kak Dewi tiba-tiba hamil. Dan Lara masuk ketika benar-benar dibutuhkan.

Lara masih berputar-putar di tengah aula lantai yang dingin. Keringat menetes di dahi, bibir kering dan rambut yang berserakan di sekitar wajah. Dia masih terus berputar, dengan mata terpejam sampai tiba-tiba tubuhnya ambruk menabrak dinding kaca. Terduduk di ujung ruangan dengan kepala menunduk, nafasnya hilang timbul, dengan keringat yang menetes satu persatu ke lantai.

Tuhan, jika rasa ini salah. Maka ajari aku untuk membunuhnya.

Meskipun tak ada yang berubah, tetapi setidaknya Lara bisa tidur dengan lelap karena kelelahan setelah menari sampai malam. Jam sembilan malam, Lara baru sampai di kamar kosnya. Ia bergegas mandi dan tidur. Ponselnya mati, dan Lara tidak berniat menghidupkannya. Lara sedang tidak ingin diganggu, ia memilih menghubungkan daya ponsel dengan charger dalam posisi tidak aktif.

Tidurnya masih belum lelap, mungkin belum lama, tapi kenapa suara berisik di luar sudah mengganggunya? Lara bergerak mengubah posisi, menutup telinga dengan bantal. Suara mengganggu yang membangunkan Lara membuatnya kesal. Ia kembali memejamkan mata di bawah bantal sebelum ...

"Laraa..."

Suara berisik di luar sana memanggilnya.

Bantal di kepalanya tak lagi di menutupi telinga, Lara menguatkan insting pendengarannya ketika suara itu semakin terdengar jelas.

"Buka pintunya, Raa."

Benar, memang namanya yang dipanggil. Kaki Lara bergegas turun, ia memakai outer jaket yang digantung asal di belakang pintu. Matanya menemukan Aksa, dalam kondisi mabuk parah. Matanya sembab, bau alkohol menyengat. Entah apa yang terjadi pada laki-laki itu. Dia datang diantar seorang sopir berpakaian serba hitam.

"Laraa..." Aksa bergerak memeluk tubuh Lara, menyusupkan kepalanya di leher wanita itu.

"Saya security club malam, tadi Bapak ini berbuat onar karena mabuk, dan terpaksa harus kami pulangkan."

"Tapi ... di sini bukan rumahnya."

"Bapak ini memberi alamat ini ketika ditanya."

Bibir Lara terbuka, ingin meminta tolong pada security untuk membawa Aksa pulang ke rumahnya sendiri. Tapi dia lupa, dia sendiri pun tak tahu di mana tempat tinggal Aksa. Dia tidak pernah mengetahui kehidupan pribadi atasannya, mungkin kalau Kak Dewi tahu, dia yang paling senior di rumah sakit. Tapi jika bertanya ke wanita itu, dengan posisi Aksa yang ada di kamar kos-nya, tentu itu bisa menimbulkan kecurigaan. Apalagi, Kak Dewi belum tentu fast respon di jam malam seperti sekarang.

"Bagaimana, Mbak?" tanya si security memastikan.

"Nggak apa-apa, biar di sini saja."

"Baik, kami tinggal."

Lara menutup pintu, membantu tubuh besar Aksa sampai di ranjang.

"Pusiiing, Raa. Sakit mataku." Keluhan dan celotehan Aksa masih saja terdengar.

Lara menidurkan Aksa di ranjang, membantu laki-laki itu melepas pakaian dan membersihkan tubuhnya menggunakan tissue basah. Lara mulai membersihkan wajah Aksa, leher laki-laki itu, lalu berakhir di tangan dan kaki. Lara menyisakan boxer dan menutup tubuh besar Aksa dengan selimut.

Entah laki-laki itu bisa tidur nyenyak atau tidak. Tubuhnya terlihat sama sekali tidak proporsional dengan ranjang yang ada. Atau mungkin, bisa jadi Aksa marah padanya esok pagi. Laki-laki itu selalu mengatakan tak pernah mau menginap, apalagi tinggal di tempat ini. Terserah apa yang akan terjadi esok, Lara sendiri pun sudah lelah. Ia menggelar karpet yang tak cukup tebal di lantai, melapisi dengan selimut lain yang ia miliki. Lara sadar, Aksa tidak mungkin mau berbagi ranjang, apalagi, ranjang miliknya juga sempit. Tidak akan nyaman jika mereka berdua tidur di tempat yang sama.

Beruntungnya, Lara dapat jadwal shift tanggung. Dia bisa datang jam sepuluh pagi, jadi dia masih memiliki banyak waktu untuk beristirahat. Tapi sayangnya, Aksa tak kunjung bangun. Padahal waktu sudah menunjukkan jam delapan pagi.

Lara memberanikan diri duduk di ranjang samping tubuh Aksa yang masih saja lelap. Mengamati dalam diam, pahatan tegas laki-laki di hadapannya. Bibir tebal dan jambang yang mulai tumbuh, mungkin sekitar dua hari lalu Aksa mencukurnya, tapi bulu-bulu itu sudah mulai menghiasi rahang kuat laki-laki itu.

Alis Aksa tebal, hidungnya mancung. Bibir yang biasa mengatup datar itu pagi ini terlihat sedikit terbuka. Meskipun keduanya sering berbagi peluh, tapi Aksa tidak pernah menciumnya. Jangankan mencium, sangat jarang Aksa menatap ke matanya langsung ketika mereka sedang bersama.

Pergerakan ringan di tubuh Aksa membuat Lara meloncat dari tempatnya. Ia bergegas memundurkan tubuhnya sampai di ujung pintu, berdiri kaku ketika melihat mata laki-laki itu pelan-pelan terbuka. Aksa memegangi kepalanya, sambil berusaha mendudukan tubuhnya sendiri.

"Dokter semalam datang ke sini dalam keadaan mabuk, diantar security club malam. Saya mau meminta untuk diantar pulang, tapi saya tidak tahu rumah dokter ada di mana. Nanya ke Kak Dewi atau Kak Siska pun sepertinya tidak berguna, mereka tentu sudah tidur di jam satu pagi."

Aksa tak menjawab, masih terlihat berusaha menetralkan rasa sakit di kepalanya.

"Dokter mau apa? Kopi? At—."

Tangan Aksa bergerak di udara, meminta Lara untuk diam. Wanita itu menurut, berdiri di ujung pintu tanpa pergerakan.

"Ini jam berapa?" Suara serak terdengar, Aksa sudah mulai bicara.

"Delapan, lebih lima belas menit."

"Kamu masuk kerja jam berapa?"

"Sepuluh, dok. Jam setengah sepuluh saya berangkat."

"Mana ponsel saya?"

Lara mengedarkan pandangan menuju meja rias di lantai. Dia mengambil ponsel Aksa yang semalam ia temukan di kantong celananya, lalu menyerahkan pada laki-laki itu. Aksa bermain dengan ponselnya sebentar, lalu turun dari ranjang.

"Buatkan aku kopi, Ra."

"Baik, dok."

"Eh, Ra.." panggil Aksa. Lara yang hendak membuka handle pintu mengurungkan niatnya.

"Kalau besok saya mabuk dan ke sini lagi, kamu antar ke alamat yang baru saja saya kirim ke kamu. Saya juga sudah transfer kamu, untuk ganti biaya menginap di sini malam ini."

Sudah?

"Ada lagi, dok?"

"Tidak."

Lara keluar kamar, menuju dapur kos-nya yang ada di lantai satu. Sebenarnya, Lara punya dispenser, tapi untuk urusan kopi, Aksa selalu lebih suka air yang benar-benar mendidih. Cukup lama ia mengambil waktunya di dapur, memanaskan air, bahkan dia yang tidak suka kopi terpaksa harus membeli kopi di warung terdekat. Saat kopi sudah siap, Lara membawanya ke lantai dua. Tapi tidak ada Aksa di sana, dari depan pintu kamar kos-nya, Lara menemukan Aksa sedang berjalan menuju taksi yang sedang menunggunya.

Tanpa pamit, tanpa ucapan terima kasih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status