"What?!! No waaay, nggak mungkin! Serius, Kak?" Dewi menunjukan wajah penuh keoptimisan. Berita yang ia terima ini sudah divalidasi kebenarannya, karena dia yang mendengar dengan telinganya sendiri. "Gue pernah ketemu wanita itu, soalnya dulu waktu gue masuk ke rumah sakit ini sebagai junior, Mbak Lastri sudah lebih dulu jadi seketarisnya Prof. Asad. Setelah Prof. Asad pensiun, Mbak Lastri juga ikut ke luar." Semua perbincangan dua seniornya terdengar jelas di pendengaran Lara. Wanita yang sedari tadi sama sekali tidak berniat dengan lotek yang ia pesan pun ikut terkejut dengan kabar yang ia terima. Merasa hal yang lumrah jika Aksa memutuskan untuk melarikan diri. Sesuatu yang selama ini selalu Aksa banggakan, keluarga dan nama terpandang di hadapan Lara, nyatanya tak jauh lebih busuk di dalamnya. "Kasihan baby bear, pasti dia shock berat mendengar kabar ini." Siska bahkan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menghembuskan nafas kasar berkali-kali. "Mana dia baru aja tunangan,
Suara bariton yang terdengar tak asing, bernada lemah yang serak. Cukup lama Lara diam tak bergerak, sendi-sendinya kaku. Di saat langkah kaki di belakangnya berjalan mendekat, Lara pun akhirnya memaksa kakinya bergerak maju, sedikit mempercepat langkah saat suara di belakang mengikutinya. "Aaw." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahu-nya, sedikit menarik mundur tubuh Lara. "Maaf," ucap Lara buru-buru. "Tidak seharusnya saya datang ke sini. Maafkan saya." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahunya semakin kuat, memacu degup jantungnya bergerak lebih cepat. Apa yang akan terjadi? Membayangkannya saja mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Aksa pasti marah. "Saya akan pulang, dok. Saya tidak—." Dua tangan besar tiba-tiba melingkari tubuh Lara, memeluk wanita itu dari belakang. "Aku yakin kamu pasti datang," ucap laki-laki itu, mengeratkan pelukan posesif di sekitar dada Lara. Aksa meletakan kepalanya di bahu Lara, mengecup pelan leher wanita itu. "Aku merind
Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa kacaunya Aksa, menjadi satu-satunya laki-laki penerus keluarga Al-Fayaadh, seorang dokter muda terpandang yang sudah menduduki posisi terpenting di sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta. Laki-laki yang selalu mengagungkan nama baik keluarga itu ternyata tak jauh lebih berharga dari apa yang selama ini ia pegang teguh. Keluarga yang selama ini ia lindungi, ternyata tidak benar-benar ada. Isinya kosong, mungkin hancur berantakan namun tak terlihat. Kamu bukan anak kandung Asad Al-Fayaadh. Kembali teringat jelas di kepala Aksa, kalimat-kalimat yang terdengar menyakitkan di telinganya, diucap oleh satu-satunya wanita yang selama ini ia percaya. Fakta itu menyayat dalam, memberi bekas luka yang menganga lebar. Bahkan sosok tubuh dan garis wajah yang sama pun tak cukup membuatnya memilik darah yang sama dengan laki-laki itu. Jika bukan Asad Al-Fayaadh, laki-laki yang sudah memberi nama besar di belakang namanya. Lalu, siapa ayah kandungny
Tumpukan berkas di meja masih tetap menggunung, meskipun sudah lebih dari sembilan jam Lara bekerja, dikurangi satu jam untuk mengistirahatkan badan. Lara duduk terpaku di kursi kerja, sedang matanya tak pernah lepas mengamati tumpukan kertas yang meminta untuk segera diselesaikan. Inginnya Lara masih melanjutkan, tetapi jam kerja-nya menuntut untuk segera diakhiri. "Sepertinya cukup," putusnya kemudian. Masih ada hari esok untuk kembali mengurangi tumpukan berkas di meja. Dia harus tetap waras, ditengah tuntutan beban kerja yang bisa membuatnya sakit kepala. Kalimat haram yang tidak boleh diucapkan seorang karyawan seperti dirinya adalah; pekerjaan sedikit, dia lebih banyak nganggur. Seperti yang beberapa hari Lara sampaikan pada Aksa. Tepat di hari ini, pekerjaan yang harus segera ia selesaikan membentuk tumpukan rapi setinggi layar komputer. Meja yang biasanya kosong, terlihat berantakan. Penampilan yang biasanya rapi, terlihat kusut. Lara bahkan membutuhkan kadar kafein lebih
"Takut sama Aksa?" "Bukan, saya hanya tidak mau diganggu." Bagas kembali mengikis jarak, memaksa Lara mundur satu langkah untuk menghindari tabrakan. Wanita itu melihat sekitar, lalu lalang pasien di sekitarnya cukup membuat Lara tak nyaman. Bahkan sepasang mata satpam yang berdiri di depan pintu masuk lobby cukup membuat nyalinya mengendur. Dia tidak siap menjadi bahan pembicaraan, terlebih, mungkin ada satu atau beberapa karyawan yang mengenal Bagas sebagai sahabat salah satu petinggi di rumah sakit ini. "Aku sedang kesepian, aku hanya ingin mengantarkanmu pulang, mampir makan malam jika memungkinkan." "Dok—." "Aku tidak memberi pilihan Lara," geram Bagas pelan. Tangannya yang sedang menggenggam semakin mencengkeram kuat. "Masuk ke mobil, kita memiliki keinginan yang sama; jangan membuat gaduh ruang publik," bisik Bagas tepat di depan wajah Lara. Kenapa, Lara selalu dihadapkan dengan manusia-manusia pemaksa? Makan malam yang terlalu mahal bagi seorang Lara. Di sebuah
Warna putih asap rokok mengepul,terlepas dari bibir laki-laki yang duduk di ujung ranjang. Tangan laki-laki itu bertumpu di paha, dengan satu kaki bersila. Di belakangnya, seorang wanita terjaga, bersandar di ujung ranjang sambil mengamati dalam diam gambaran siluet tubuh besar itu di tengah lampu temaram kamar.Isi otaknya berisik, menuntut perhatian.Keheningan malam menemani dua manusia berbeda kasta itu, saling mendiamkan padahal ratusan menit sebelumnya saling menyebut nama dalam geraman penuh dosa. Tidak ada yang berbicara, seakan keduanya memberi waktu agar sepi mendominasi. Hanya ada suara lirih kipas angin yang terpasang di plafon kamar, dan lalu lalang kendaraan yang tak cukup ramai di luar sana."Mau … menginap?" tanya si wanita ragu. Terlihat dari manik matanya, ia menyesali kalimat itu setelah mengucapkannya. Tak sampai satu hela nafas, wanita itu menekuk wajah merutuki kebodohannya sendiri.Pertanyaannya terlalu berani.Laki-laki yang memiliki warna rambut tembaga itu ta
"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk memb
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar."Kak Lara, coba ajarkan lagi gera