Share

BAB 3 - Beautiful lie

Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.

Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.

Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar.

"Kak Lara, coba ajarkan lagi gerakan seblak sampur, Sasa belum ahli." Gadis kecil berkepang dua yang selalu rajin mengikuti kelas tari di sanggar ini, gadis keturunan Bali tapi sangat antusias belajar tarian jawa. "Gini, kan ya?" tanya Sasa sambil memposisikan gerakan.

Sasa menyusul Lara di ruang ganti, padahal jam latihan sudah habis.

Lara mengambil selendang yang ada di dekatnya, menggantungkan di leher Sasa, dan membenarkan posisi tangan dan kaki gadis kecil itu dengan telaten. "Begini, tangannya jangan kaku-kaku, coba dilemesin."

"Gini, Kak?" tanya gadis kecil itu sambil mengubah posisi tangan.

"Agak ditekuk lagi."

"Begini?"

"Sedikit lagi."

"Ah susah." Desah pasrah dengan garis wajah menyerah.

Lara mengambil selendang yang menggantung di leher gadis kecil itu, lalu melipatnya. "Sasa sudah belajar banyak hari ini, besok kita coba lagi ya."

"Aku pengen bisa kaya Kak Lara, tapi susah." Si gadis kecil mendudukan tubuhnya di kursi ruang ganti, terlihat dari kerut di wajahnya, ia kecewa dengan dirinya sendiri.

"Coba buka video dari Kakak, di rumah sambil belajar di depan kaca, bagaimana?"

Sasa mengangguk lemah.

"Suatu saat, Sasa pasti bisa jadi penari hebat."

"Oke, deh, besok coba lagi. See you, Kak Lara." Memaksakan diri untuk kembali berdiri, Sasa keluar dari ruang ganti meninggalkan Lara yang masih ada di sana seorang diri.

Latihan tari selesai pukul lima sore, ia masih memiliki waktu beberapa jam untuk belanja ke pasar sore untuk masak besok, lalu beristirahat dengan tenang di kamar kos kecil miliknya. Meskipun hidup dalam kesulitan, Lara selalu bisa bersyukur dengan semua yang ia miliki. Tubuh sehat, bisa melakukan hal yang ia sukai, dan juga ... memiliki sahabat yang baik.

"Udah lama nunggu?"

"Belum, baru setengah jam."

"Haha, itu namanya lamaaa."

"Ooh," jawab laki-laki itu datar.

Sahabatnya bernama Joko Susilo, Lara biasa memanggilnya Koko, atau lebih tepatnya laki-laki itu yang meminta dipanggil Koko. Katanya, supaya lebih keren, dan sebagai sahabat yang baik, Lara mengikuti kemauan Koko.

Koko adalah sahabat yang ia miliki sejak SMA, keduanya sekolah di tempat yang sama. Karena Koko juga-lah Lara memberanikan diri datang ke Jakarta, menyusul Koko untuk mencari rezeki. Dia punya sahabat yang bisa menjadi tempatnya berkeluh di sini.

"Aku laper." Koko memegangi perutnya, mengerutkan wajah yang dilebih-lebihkan. "Makan yuk."

"Mau makan apa?"

"Lele?"

"Boleh."

Seperti biasa, Koko membawakan helm untuk Lara. Jika tidak sedang lembur atau sibuk, keduanya pasti menyempatkan diri untuk bertemu. Hanya untuk makan bersama, ataupun sekedar duduk di kursi taman dekat kos Lara sambil makan cilok.

"Ayo naik, Kajol sudah bersih." Koko menamai motornya sendiri dengan sebutan 'kajol', karena merasa motornya cantik setelah banyak dipoles sana-sini. Koko menepuk jok belakang motornya untuk mempersilahkan Lara naik. "Pegangan ya, Ra. Aku sudah lapar soal e."

"Iyoo." Sesuai instruksi, kedua tangan Lara berpegangan di kaos Koko.

Motor matic berwarna hitam itu mulai berjalan, meskipun motor tua, tapi 'kajol' benar-benar terawat. Koko rajin service, dan oli samping pun sering diganti.

"Tumben nggak lembur hari Minggu, Ko?" Di sela panasnya kota Jakarta meskipun sudah sore, Lara membuka percakapan. Biasanya, Koko sering mengambil lembur di hari Minggu, alasan pertama karena dia tidak punya pacar, dan alasan kedua karena tunjangan lembur di tanggal merah lebih besar ketimbang hari biasa.

"Kangen toh sama kamu, bosen kerja teros, duitku masih banyak," ucapnya sarkas. Koko sama seperti dirinya, kalau jaman sekarang disebut sebagai 'generasi sandwich'. Selain untuk biaya hidup kedua orangtuanya yang sudah tua, Koko juga rajin mengirim uang adiknya untuk sekolah. Itu-lah yang membuat keduanya cukup dekat, mungkin karena senasib sepenanggungan.

"Aku amin-in sajalah, biar kamu senang."

Perhatian Lara terpecah. Saat motor masih berjalan, ponsel Lara berbunyi, cukup lama, hingga akhirnya wanita itu menyimpulkan bahwa panggilan itu benar-benar penting. Tidak jarang, meskipun libur, Lara masih disibukan dengan urusan pekerjaan. Biasanya, Kak Dewi ataupun Kak Siska meminta laporan yang memang bagian Lara.

Tetapi panggilan sekarang bukan dari kedua seniornya, melainkan dari pemegang tahta tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.

**dr. Aksa calling**

"Siapa, Ra? Penting? Aku bisa minggir dulu kalau penting," tawar Koko.

"Nggak, nggak usah, tetap jalan saja."

Jika Aksa sendiri yang menghubunginya, tentu itu bukan untuk urusan pekerjaan. Aksa menghubunginya tidak akan jauh-jauh dari urusan nafsu. Lara kembali memasukan ponselnya ke tas, sebelum akhirnya dering itu berhenti dan sebuah pesan ia terima.

 

dr. Aksa

Nanti malam aku jemput, jam delapan.

Jemput? Tidak biasanya laki-laki itu membawanya pergi. Pernah, sesekali keduanya bertemu di luar kos Lara, tapi sangat jarang, bisa dihitung dengan jari padahal hubungan keduanya sudah berjalan lebih dari setahun.

Me :

Baik.

Lara tak pernah menolak jika Aksa menginginkanya. Dia butuh uang, dan ya ... anggap saja Lara rakus, dia juga senang jika bisa bersama Aksa.

"Nanti aku nggak sampai malem ya, Ko. Mau lembur, jam tujuh dah sampai kos ya?" Lara berkata sambil sedikit berteriak, karena angin jalanan yang kencang dan suara motor yang berisik.

"Nggak mau makan cilok dulu di taman?" Suara Koko pun tak kalah kuat.

"Nggak, besok-besok aja."

"Okee deh."

Seperti jam yang disepakati, jam tujuh lewat lima belas menit, Lara dan Koko sudah sampai di kos Lara. Motornya berhenti tepat di depan gerbang, tepat di depan sebuah mobil yang Lara kenali. Mata Lara mampir sebentar ke arah mobil porsche berwarna putih yang terlihat mencolok, tapi sayang, ia tak menemukan apa pun karena kacanya yang gelap.

"Selamat lembur, yee."

"Heem, makasih ya sudah diantar."

"Okee, aku langsung pulang."

"Hati-hati."

Lara memastikan sosok Koko dan kajol menghilang di tikungan. Melihat waktu dengan jam di tangan kirinya, sedikit sangsi sudah menemukan mobil Aksa di pelataran kos miliknya. Bukankah laki-laki itu tadi mengatakan akan datang di jam delapan?

Jika Lara yang salah, suasana hati Aksa pasti berubah tidak mengenakan.

Kaki Lara berjalan menuju mobil Aksa, sambil mengeratkan genggaman tangannya di tali tas yang menggantung. Ia mengetuk jendela gelap yang terus turun menunjukan wajah pemiliknya.

"Langsung masuk aja," titah laki-laki itu.

Belum sampai menyapa, Lara sudah harus mengikuti kemauan Aksa. Malam ini, penampilan Aksa terlihat lebih santai. Memakai sweater turtle neck berwarna hitam dan celana jeans yang pas.

"Bukannya dokter tadi bilang jam delapan?" tanya Lara, ia sudah duduk di samping kemudi, berusaha duduk sejauh mungkin dekat pintu.

Aksa perfeksionis, tidak suka bau tidak sedap. Sedangkan penampakan dirinya saat ini sangat jauh dari kriteria laki-laki itu. Lara belum mandi, selepas latihan tari sejak siang tadi.

"Kamu pergi sama siapa tadi?" Tidak menjawab pertanyaan Lara, tapi Aksa justru melempar pertanyaan lainnya.

Akan terdengar indah jika laki-laki itu cemburu, tapi Lara yakin, bukan rasa itu yang ada di hati Aksa saat ini.

"Teman."

"Yakin?"

"Iya."

Aksa terdiam, membiarkan suara lagu dari radio di mobilnya mendominasi. Matanya fokus ke arah jalan, mulai keluar dari jalan gang yang menghubungkan langsung ke jalan raya.

"Aku cuma nggak suka, kalau sampai ada yang 'pakai' kamu selain aku. Aku suka sesuatu yang bersih, ngerti kan, Ra?"

Nah, mungkin akan lebih baik jika laki-laki itu diam, dibanding berbicara tapi terdengar menyakitkan seperti sekarang. Lara tak memutuskan menjawab, lebih mudah baginya melempar pandangan ke arah jalanan kota Jakarta yang ramai. Lebih bisa dinikmati ditengah malam yang pekat dan dada yang sesak.

"Ra, aku ngomong."

"Tenang, dok. Kalau sudah mulai jual diri untuk banyak pria, aku pasti bilang ke dr. Aksa. Biar kalau penyakitan, aku nggak nularin ke dokter," sindirnya lembut. Nada yang ia ucapkan sama sekali tidak terdengar marah, bahkan senyuman tipis sempat bertengger di wajahnya yang redup.

Lalu setelahnya, tidak ada lagi perbincangan. Lara pun juga tidak bertanya kemana laki-laki itu membawanya pergi. Akan sangat mudah bagi wanita itu untuk hanya sekedar mengikuti kemauan Aksa, pulang lalu mendapatkan uang.

Karena seharusnya, memang hanya seperti itu hubungan keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status