"Berarti sudah cukup lama kamu tinggal di sini?" tanya Samantha yang asyik menikmati angin sepoi-sepoi di teras. "Beberapa tahun antara Jakarta Labuan Bajo." Sebaliknya, Jonathan tidak tertarik dengan keindahan alam. Hanya pada wanita berambut sebahu di hadapannya. "Oh ya? Tapi, sudah jadi Warga Negara Indonesia?" Samantha menoleh, menyadari lelaki itu sedang menatapnya, kemudian kembali—pura-pura—memandang alam. "Apa gunanya kewarganegaraan?" Jonathan bertanya balik. "Banyak lah. Untuk urusan pekerjaan, jaminan kesehatan, hak milik ... Memangnya bisnismu atas nama siapa?" Samantha sengaja tidak menyebut 'untuk menikah'. "Warga lokal." Jonathan tersenyum. Mata Samantha membulat, "Oh ... oke." Sejenak hanya suara debur ombak yang terdengar di atap hotel tersebut. Jonathan tidak sedetik pun mengalihkan pandangan dari Samantha, wanita lugu yang telah menjadi miliknya. "Tinggallah di sini bersamaku, Sammy. Lupakan semua yang terjadi di Jakarta. Kita mul
Lama sekali Samantha duduk termenung di teras. Dia tidak suka cara Jonathan mengatur dengan siapa dia boleh berteman. Tidak suka sama sekali! Sungguh menyebalkan! Padahal lelaki itu akrab dengan Angeline. Sekarang yang dia pikirkan adalah bagaimana cara terbaik menyampaikan bahwa ada batasan yang tidak boleh diatur lelaki itu? Sementara itu Jonathan juga duduk tak bergerak mengamati Samantha. Dia berpikir sampai kapan wanita itu akan menyepi di teras, dan perlukah dia menyeretnya masuk? Jonathan khawatir wanitanya masuk angin karena hembusan angin laut yang tiada henti. Ketika Jonathan hampir tiba pada keputusan untuk memaksa Samantha masuk, wanita itu berdiri dan berjalan ke dalam ... "Sudah berpikirnya?" tanya Jonathan. "Belum," ketus Samantha. Jonathan meraih tangan Samantha yang berjalan melewatinya dan menarik wanita itu sampai jatuh terduduk di pangkuannya, "Berapa lama lagi?" Samantha menahan dada si lelaki, "Sampai aku menemukan solusi yang tepat."
"Hello, Kakak, Kakak Ipar, dan keponakanku yang manis-manis!" seru Mike begitu menginjakkan kaki di lantai rumah Nathan. Angeline yang sedang memotong beragam buah di counter menoleh, "Hei, Mike. Masih ingat pulang?" Mike tertawa, "Astaga, Kakak. Apakah kedatanganku sudah tidak diharapkan? Tentu saja aku masih ingat Kakak-ku yang cantik ada di Jakarta. Mana Kakak Ipar?" Tepat saat itu Nathan keluar dari kamar dengan Olivia di lengannya, "Suaramu berisik sekali. Seisi komplek bisa mendengar kalau kau sudah pulang." "Kakak Ipar. Aku merindukan ejekanmu." Mike menghampiri Nathan dan memeluknya. "Pergi sana! Hush!" halau Nathan. Mike menghindari tendangan lelaki itu dan bersembunyi di belakang Angeline, "Satu minggu bersama keluarga Cherry benar-benar membuatku bosan. Bukannya aku tidak menghargai mereka, hanya saja kedua orangtuanya terlalu serius." "Tentu saja mereka harus serius. Yang dihadapi 'kan calon menantu, bukan teman anaknya," ujar Angeline. Dia
Keadaan di dalam pesawat jet pribadi Nathan begitu hening. Udara terasa berat dan suram, ditambah pakaian bernuansa hitam para penumpangnya. Nathan tidak melepas genggamannya di tangan Angeline sedetik pun. Wanita itu tidak menunjukkan emosi, tapi Nathan tahu hatinya sedang bergemuruh. Sekitar dua belas orang pengawal pribadi—termasuk Darman—turut serta dalam penerbangan ke Macau. Ya, Nathan tidak mau mengambil resiko terjadi hal yang tidak diinginkan saat membawa istri dan kedua anaknya ke wilayah musuh. Tidak ketinggalan Gloria dan Johan dibawanya serta untuk membantu Angeline yang sedang dalam kondisi berduka. Nathan menatap wajah Angeline. Pucat, tapi sorot matanya masih menunjukkan kekerasan hati. Lelaki itu mencium punggung tangan istri tercintanya dengan lembut, membuat sepasang mata yang menatap kosong teralih padanya. "Nathan ...," lirihnya. "Yes, Baby Girl?" "Aku tidak akan menangis sampai pelakunya ditemukan dan menerima ganjaran," desis Angeline.
Pagi buta ketika Vera tiba di rumah duka, suasana bertambah kelabu karena wanita itu tidak dapat menahan air mata di sisi jasad yang tak bergerak lagi. Sosok yang selama beberapa bulan terakhir mengisi ruang hatinya. Angeline yang telah berjanji untuk tetap tegar menyediakan bahunya menjadi tempat bersandar bagi Vera. Sementara kedua wanita berada di ruang khusus keluarga, Nathan bersama Mike menerima para pelayat yang tak terkira banyaknya. Orang-orang dunia hitam pun tidak kalah banyak, datang memberi penghormatan terakhir bagi Gabriel. Siang hari ketika keramaian sedikit mereda ... Nathan meletakkan tangan di bahu Mike dan berucap, "Istirahatlah sejenak. Kau belum tidur sejak semalam." "Tidak bisa, Kakak Ipar. Aku anak lelaki di keluarga ini. Sudah sepantasnya aku berdiri di sisi papa." Mike tersenyum tipis. Perkataan tersebut tidak dapat dibantah. Nathan pun berjalan menghampiri bawahannya, "Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Kurasa semalam Jonathan su
Sebuah teriakan pilu disertai derak tulang yang mengerikan membuat perhatian semua orang teralih. Semua mata terbelalak melihat seorang dari antara mereka berdiri kaku dengan kepala menoleh pada sudut yang mengerikan. Tubuh besar itu terjatuh ke lantai. Leher yang patah membuat nyawanya segera tercabut dari raga. "Siapa berikutnya? Menyentuh wanitaku berarti mati," ucap Jonathan dingin. "Kau yang akan mati, Brengsek!" seru seseorang. Jonathan menyeringai, "Bagus. Seperti yang kuharapkan dari anjing peliharaan Rhein." Satu lelaki menyerang dan segera terjatuh ke lantai dengan lengan patah. Melihat itu seorang lelaki menarik Samantha dan menempelkan pisau di lehernya. Wanita itu gemetar merasakan logam yang dingin menekan arteri. "Jangan bergerak atau wanitamu akan mati lebih cepat!!" teriak lelaki itu. Jonathan mengernyit. Pikirannya bekerja cepat memperhitungkan situasi. Jika dalam kondisi normal dia tidak akan terlalu peduli dengan sandera. Namun kali
"Nathan!" Angeline melompat bangun begitu melihat sang suami tercinta kembali ke suite. Dia segera memeluk Nathan. "Hei, Baby Girl." Nathan melirik Samantha yang sedang bermain dengan Rafael. Tampaknya wanita itu pura-pura tidak melihat dirinya dan Jonathan. "Bagaimana situasi di luar sana? Aman?" tanya Angeline. "Aman. Rhein tidak akan mengganggu siapa-siapa lagi," ucap Nathan. "Oh?" Jonathan berjalan melewati pasangan yang sedang berpelukan itu menuju Samantha. Bayangan tubuhnya jatuh menutupi wanita itu seperti gerhana. Tangan besarnya membelai rambut Samantha dengan lembut. "Uncle Jo, wajahmu kenapa?" tanya Rafael. Ketika Jonathan datang membawa Samantha, anak kecil itu masih tertidur. "Jatuh tersandung, Boy." Jonathan tersenyum. "Oh, okay. Hati-hati next time, Uncle." Rafael meringis. "I will." Kemudian lelaki itu memindahkan perhatiannya pada si wanita, "Sammy ... kita kembali ke tempatku." Tidak ada jawaban. "Samantha." "Tidak
"Jangan khawatir, papa. Kami akan sering berkunjung bersama anak-anak. Tidak ada lagi yang akan mengganggu kami." Angeline kemudian menunduk melihat Rafael, "Say good bye sama grandpa." "Good bye, grandpa," ucap Rafael yang tidak mengerti kenapa kakeknya berada dalam lubang di dinding. Angeline kemudian menggerakkan tangan Olivia dan berbisik, "Good bye, grandpa." Nathan merangkul Angeline, "Saatnya kembali." Mike menoleh, "Ya, benar. Kita sudah cukup lama di sini. Cherry pasti sudah bosan menunggu sendirian di hotel. Hanya sangat disayangkan kejadian kemarin membuat Vera shock sampai dia memutuskan untuk pergi sebelum menjemput abu papa." "Itu haknya. Lagipula dia belum menjadi istri papa, 'kan?" Angeline menunduk. "Setidaknya dia bisa bertahan satu hari lagi untuk menunjukkan itikad baik." Mike mencibir. Angeline tidak berkomentar karena tidak ingin berpihak. Terdengar bunyi dering handphone. Mike meminta maaf dan menepi untuk menerima panggilan t