Pertemuan dengan Hanna tiga hari yang lalu masih menyisakan sesak di dada Aldo. Meski ia terus berusaha menepis semua bayangan kejadian malam itu, tetap saja, ingatan itu seakan tak ingin menjauh dari benaknya.Suasana kantor yang cukup berisik oleh suara mesin printer tak membuat Aldo terusik. Biasanya suara tersebut membuatnya jengah karena menggangu konsentrasinya bekerja. Namun tidak kali ini, lelaki itu seakan tak peduli."Pak Aldo, sudah waktunya istirahat, mau ikut makan siang di kantin bareng atau sudah bawa bekal dari rumah?" Pertanyaan seorang rekan kerjanya membuat Aldo refleks menoleh."Ah, aku tidak bawa bekal.""Kalau begitu, ayo kita makan ke kantin saja," ajaknya."Terima kasih, tapi aku sudah pesan sama OB tadi," tolak Aldo sambil memaksa diri tersenyum."Baiklah, kalau begitu saya tinggal, pak."Aldo tersenyum getir, memandang punggung rekan kerjanya hingga menghilang di balik pintu, bukan keinginannya menolak ajakan tersebut, hanya saja, uang di dompetnya yang menip
Mata Reza kembali menyipit melihat tubuh Aldo yang masih setengah berbaring di atas paving blok parkiran swalayan itu. Tak lama ia membuang ludah karena rasa besi dan amis akibat luka di sudut bibirnya.Suasana ramai di area parkiran swalayan ini menyebabkan beberapa pasang mata menoleh kearah mereka, bahkan tidak sedikit dari mereka sengaja berhenti untuk melihat kejadian tersebut.Kembali Reza menyentuh dan menyeka sudut bibirnya yang masih terasa perih. Tatapan tajam masih ia lempar pada Aldo yang perlahan mulai berdiri."Apa masalahmu, hah?" Hardik Reza emosional."Sabar brother!" Seorang lelaki yang tadi menjadi lawan bicara Reza berusaha menenangkan amarah lelaki itu. Tak lama ia bertanya."Kau mengenal pecundang ini?" Tunjuk teman Reza yang bernama Yoga itu."Aku tidak mengenalnya," tolak Reza mengakui.Aldo yang mendengar jawaban Reza spontan menyahut."Jangan berpura pura? Kau sangat tahu siapa aku?" Sungut Aldo sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Reza."Lalu?" "Apa
Siang telah berganti malam, tampak di langit sana, sang Dewi malam dengan kecantikannya sudah menduduki singgasananya dengan anggun. Cahaya lembut yang berpendar di langit terasa begitu romantis bagi para pecinta yang menikmatinya.Seorang lelaki tampak turun dari angkot dengan wajah muram. Nampak kemeja yang di pakainya begitu kusut dan berantakan. Rasa nyeri masih ia rasakan di tulang hidungnya. Membuat wajah nya nampak meringis ketika ujung hidungnya tersentuh.Dengan menyeret langkah, ia berjalan menuju ke sebuah bangunan kost kostan bertingkat dua. Tak lama ia menghentikan langkah lalu mengeluarkan ponselnya.Nada sambung langsung terdengar namun si empunya telepon tak jua menjawabnya membuat wajah lelaki itu bertambah muram. Hingga akhirnya pada panggilan ke empat, suara seseorang terdengar di ujung sambungan."Lama sekali kau menjawab panggilanku. Apa kau sedang ada di luar, Siska?" Tanya Aldo kesal."Aku di kamar mandi, perutku mual, aku sedang muntah. Sejak pulang dari rumah
"A-apa kau bilang, mas?" Pernyataan Aldo membuat wanita itu tersentak."Apa itu maksudnya, kau tidak memiliki aset atau harta bersama, begitu?" Tanya Siska gemas.Aldo mengangguk sekaligus mengutuk dirinya yang baru menyadari hal itu sekarang."Iya, kau sudah mendengarnya sendiri, selama lebih dari satu setengah tahun kami menikah, Hanna lebih banyak menggunakan uangnya sendiri untuk berbelanja atau membeli apapun," jawab Aldo tak bersemangat."Kau ... Ah, aku tak habis pikir denganmu, mas? Jadi gajimu selama menjadi manager kemana?" Pekik Siska yang masih tak ingin mempercayainya."Sejak kita berkencan, bukankah semua keinginanmu selalu ku turuti? Kau pikir uang darimana untuk membelikanmu hadiah, barang branded, kosmetik atau perawatan ke salon mahal, jika bukan dari uang gajiku sebagai manager," Ujar Aldo mulai kesal."Mas kita baru menjalin hubungan kurang lebih tujuh bulan yang lalu, sebelum kita berkencan, kemana uangmu? Bukankah kau bilang bahwa Hanna jarang mengusik uangmu?" T
Sinar matahari menerobos melalui celah jendela kamar, meski tirai jendela masih tertutup rapat namun cahaya yang masuk sudah cukup untuk menerangi kamar ini.Suara alarm kini terdengar memekakkan telinga, sebuah bantal akhirnya membekap kepalanya, demi meminimalisir suara berisik itu di telinganya.Erangan kekesalan kini terdengar keras, meskipun selimut juga sudah menutupi wajah hingga telinga, tetap saja tak mampu menahan suara dering alarm dari jam weker yang terus menyakiti pendengarannya."Haahh ... berisik!" Bisik Hanna sambil menggapai benda berdering itu dan menekan tombol atas untuk membuatnya berhenti."Sudah jam delapan pagi," ucap Hanna sambil menguap lebar.Selepas subuh ia kembali tertidur karena semalam ia memang pulang terlambat, menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu karyawannya. Lalu mampir sebentar ke rumah Dina untuk mengambil sekotak brownis coklat yang sengaja dibuat sahabat baik sekaligus sepupunya itu untuknya. "Aku membuat brownies coklat kesukaanmu
"Aku akan menuliskan sebuah cek senilai lima puluh juta, tenang saja aku tidak akan berbohong. Tapi sebelum cek senilai lima puluh juta itu kuberikan padamu. Aku ingin menagih uang nafkahku yang sudah hampir sepuluh bulan ini tidak kau berikan padaku," tutur Hanna pelan dengan sudut bibirnya nampak melengkung menyeringai.Bibir Aldo sedikit terbuka ketika mendengar perkataan Hanna. Nafasnya nampak naik turun, dengan mata yang tak berkedip memandang wajah istrinya. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Ada rasa nyeri dan tak terima didalam hatinya. Hanya saja ia tak bisa mengelak dengan apa yang Hanna tuduhkan. Tapi, sudah tidak ia mungkin lagi baginya untuk mundur. Uang lima puluh juta itu sangat ia butuhkan sekarang Dengan mengesampingkan ego dan rasa malu, Aldo tetap menegakkan kepalanya, di liriknya wajah Siska yang masam, entah mengapa, membuatnya kesal."Maksudmu ... kau menolak untuk memberikan uang itu?" Tanya Siska sinis sambil beranjak dari tempat dudukny
"Benarkah? Lalu menurutmu apakah meminta uang itu kembali terasa masuk akal bagimu setelah selama satu setengah tahun kau menempati rumah itu secara cuma-cuma tanpa memikirkan biaya perawatan dan cicilannya? " Sindir Hanna berpura-pura bodoh sambil memutar bola matanya."Tapi, Baiklah, tunggu sebentar." Ujar Hanna sambil memanggil Mbok Yem. Tak sampai satu menit, Mbok Yem datang dan langsung menghampiri majikannya dengan tergopoh-gopoh."Ya, mbak Hanna tadi manggil si Mbok ya?" Tanya wanita paruh baya itu."Tolong ambilkan tasku yang berwarna merah, mbok. Bawa kesini," pinta Hanna."Tas warna merah! Oh ya, baik Mbak." Ujarnya setelah berpikir sejenak."Selagi menunggu Mbok Yem mengambil buku cek ku, bagaimana jika kita menghitung dulu uang nafkah untukku yang tertunda, mas?" Ujar Hanna sambil tersenyum.Aldo diam tak menanggapinya. Saat ini yang terpenting baginya adalah membuat Hanna memberikan uang itu."Aku tak tahu berapa nominal angka gajimu sebenarnya, mas. Jadi kusesuaikan saja
"Tolong saya, Pak Surya, Bu Ajeng. Suami saya dan wanita simpanannya ingin menyakiti saya. Mereka berdua ingin memeras saya bu dan memaksa saya agar menandatangani sebuah cek senilai lima puluh juta untuk mereka," Lapor Hanna dengan wajah polos, lalu kembali melirik ke arah Siska yang tampak gugup di sana.Mata Siska memandang nanar Hanna begitu juga suaminya, sekilas seringai tipis nampak di wajah Hanna. Membuat Aldo yang sempat melihatnya sedikit bergidik.Dorongan tangan Hanna pada tubuh Siska membuat tubuh wanita itu terjatuh di lantai granit teras rumahnya. Sebelum semakin banyak orang berkumpul, Siska segera berdiri sambil mengelus siku tangannya yang sedikit memar.Beberapa pasang mata wanita kini melihat Siska dengan tatapan jijik. Tentunya dengan mulut yang penuh dengan umpatan dan sumpah serapah, membuat wanita yang sedang hamil delapan minggu itu akhirnya memilih menghindar, melangkah pelan ke belakang tubuh Aldo."Itu pelakornya, ya mbak Hanna?" Tanya seorang wanita bertub