Share

YOU ARE MY BRIDE
YOU ARE MY BRIDE
Author: Avaya0627

ZEFANYA

Jgeeerrr! Jgeeerrr! Suara petir sedari tadi seperti bom yang meledak menghasilkan kilatan cahaya di langit.  Hujan deras sudah berlangsung selama satu jam.  Orang-orang mulai menerobos hujan karena terlalu lama menunggu.  Zefanya, anak kecil berusia 11 tahun sedang menjajakan payung yang dia pegang.  Di saat orang lain bisa menikmati selimut tebal dan makanan hangat, anak laki-laki itu justru menunggu di depan mol berharap ada orang yang menggunakan jasa payungnya.

Jika cuaca sedang cerah maka Zefa akan berjualan tissue di area parkiran.  Tetapi jika panas berganti dengan air hujan, maka anak malang itu akan mengambil dua payung dan beralih profesi menjadi ojek payung.

“Anak kecil sini!” Seorang wanita berusia 40 tahun memanggil Zefa yang kedinginan karena tidak menggunakan jacket.

“Nyonya mau pakai jasa payung saya?” Zefa langsung menghampiri mengabaikan tubuh mungilnya yang kedinginan.

“Iya.  Tolong antar ibu ke mobil ya.”

Zefanya membuka satu payung hitam hingga mengembang dan siap digunakan.  Dia memberikan satu pada wanita itu lalu menggunakan payung yang lain untuk mengikuti ibu itu dari belakang.

“Berapa nak?” tanya ibu tadi setelah dia duduk di bagian belakang mobil grand max miliknya. 

“Terserah nyonya saja.  Saya tidak pernah mematok harga.” Wanita itu memperhatikan baju Zefanya.  Bulu roma di tubuh kecil itu berdiri pertanda jika dia kedinginan. 

“Masuklah nak.  Ibu akan mengantarmu pulang.” Wanita itu membuka pintu mobil supaya Zefanya masuk.

“Saya masih harus cari uang nyonya.  Jika tidak saya tidak bisa makan.” Antara ingin dikasihani atau memang lapar tetapi faktanya Zefa membutuhkan uang untuk menyambung hidup.

“Nanti saya akan ganti rugi.  Masuklah! Kamu bisa sakit kalau seperti ini.”

“Sebentar nyonya.” Zefanya berlari ke sebuah pondok dan mengambil sebuah kotak berisi tumpukan tissue kering.  Kemudian dia kembali dan masuk ke mobil.  “Maaf sudah merepotkan nyonya.” Zefa melihat tetesan air yang berasal dari celana pendeknya.  Karpet mobil menjadi basah.  Dia pun tidak mau bersandar karena baju bagian belakangnya juga terkena air.

“Tidak masalah.  Apa kamu sudah makan?”

“Su-sudah nyonya.” Sebenarnya perut kecil Zefa sudah minta diisi.  Tadi pagi dia hanya makan dua biji gorengan.

“Pak, kita berhenti di warung nasi padang langganan saya ya.” Wanita yang belum diketahui namanya itu memberi perintah pada sopir pribadinya.

Butuh waktu 15 menit untuk mereka tiba di tempat yang diinginkan.  Jakarta memang selalu macet tidak perduli lagi hujan atau panas terik.  Itu sudah menjadi keunikan tersendiri di ibu kota.

“Pak, tolong siapkan dua nasi padang dengan lauk rendang ya.  Jangan lupa teh manis panasnya dua.”

“Baik bu.”

Setelah memesan dua porsi makanan, wanita itu menghampiri Zefa yang sudah duduk manis di atas kursi kayu.  Matanya memperhatikan setiap pelanggan yang sedang mengobrol sambil menyantap makanan khas sumatera barat itu.

“Siapa nama kamu nak?” Pertanyaan itu menyadarkan Zefa yang melamun. Mimpi apa dia tadi malam hingga bisa makan enak di tempat nyaman seperti ini?”

“Zefanya nyonya.”

“Apa kamu sekolah?”

“Pernah sekolah nyonya.  Tapi setelah papa meninggal aku tidak bisa melanjutkannya lagi.”

“Papa?”

“Iya nyonya.  Saya tinggal bersama papa.  Sewaktu hidup papa jadi pemulung dan selalu bekerja keras supaya saya bisa sekolah.  Tetapi sekarang papa sudah tidak ada.  Saya belum mampu untuk mencari uang seperti papa.  Itu sebabnya saya putus sekolah.”

“Keluarga kamu yang lain di mana?”

“Saya nggak punya keluarga lagi nyonya.  Dari kecil saya hanya punya papa saja.”

“Nama saya Tabita.  Kamu bisa memanggilku bunda Tabita.  Sejak kapan kamu berhenti sekolah nak?”

“Setahun yang lalu nyonya.”

“Apa kamu punya raport sekolah?”

“Punya nyonya.”

“Baik kalau begitu.  Cepat habiskan makananmu dan tunjukkan raportmu pada saya!”

Dua piring nasi padang dan dua gelas teh hangat tersajikan di atas meja.  Zefa langsung meraih gelasnya dan meneguk minuman manis itu sampai habis.  Setelah mencuci tangan dia pun menyantap nasi rendang itu dengan lahap.  Rasanya kuah bersantan itu sudah seperti makanan surga untuknya.

“Apa masih lapar?” Bunda Tabita bertanya lagi.

“Sangat kenyang nyonya.” Jawab Zefa setelah menghabiskan dua porsi makanan.  Ya, setelah menghabiskan nasi rendang dia juga memesan nasi ayam gulai.  Mumpung ada kesempatan.  Belum tentu besok dia bisa bertemu dengan malaikat baik seperti bunda Tabita.

“Karena kamu sudah kenyang, sekarang bunda akan mengantarmu pulang.”

“Tapi rumahku kumuh dan bau nyonya.”

“Kamu kan sudah janji akan menunjukkan raport sekolahmu padaku.  Sekarang tunjukkan arah ke rumahmu biar sopir bisa membawa kita ke sana.”

Sesuai arahan Zefa mereka berhenti di sebuah pemukiman kumuh.  Mobil tidak bisa masuk karena menuju rumah Zefa, mereka harus melewati gang sempit.  Bau air selokan yang hitam pekat sangat menyeruak hingga Tabita hampir muntah.

Mereka tiba di sebuah kotak kecil dengan dinding triplek tipis. Zefa ingin mempersilahkan masuk tetapi dia bingung harus menyuruh mereka duduk di mana.  Terpaksa anak kecil itu membiarkan malaikat penolongnya menunggu di luar.  Tidak lama kemudian Zefa keluar dengan buku raport tipis di tangannya.

“Ini nyonya.”

Setelah raport itu berada di tangan bunda Tabita, dia membuka setiap lembaran dan melihat setiap nilai pelajaran yang tertera di sana.  Fantastis! Semua nilainya hampir sempurna.  Tidak ada nilai yang lebih rendah dari delapan.  Puas memeriksa buku itu, Tabita menatap wajah Zefa.

“Apa kamu ingin sekolah lagi?”

“Mau nyonya.  Tapi aku nggak punya uang.”

“Tinggallah di panti asuhan tempat bunda.  Di sana kamu akan memiliki banyak teman dan kamu bisa melanjutkan sekolah.  Kamu akan menyia-nyiakan kepintaran kamu jika waktumu dihabiskan di depan mol tadi.  Bunda akan minta izin pada rt dan rw di sini supaya kamu bisa ikut bunda.  Kamu mau kan?”

“Benaran aku bisa sekolah lagi?” Sorot mata Zefa memancarkan kebahagiaan.  Artinya dia bisa mewujudkan keinginan ayahnya. 

“Iya sayang.  Berjanjilah pada bunda kalau kamu akan rajin belajar supaya kamu bisa mendapatkan beasiswa dan kamu melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.”

“Zefa janji nyonya.”

“Jangan panggil nyonya lagi ya.  Semua anak-anak di panti selalu memanggilku bunda Tabita.”

“I-i-iya bunda.” Zefa masih canggung namun dia harus membiasakan diri.

***

Tubuh kecil dibalut dengan kaos kucel, celana pendek, serta kakinya yang dihiasi sendal jepit sedang berdiri di depan sebuah gedung panti asuhan bernama Abba Love.  Inilah rumah barunya.  Mulai hari ini Zefanya akan tinggal di sana dan memulai kehidupan yang baru.  Dia ingin menjadi pengusaha yang sukses seperti keinginan ayahnya.

“Ayo masuk nak.  Ayah Charles sudah menunggu di dalam.” Ajak Tabita ketika wanita turun dari mobil.  Dirangkulnya bahu anak itu lalu mereka masuk ke sebuah ruangan.  Di sana ada pria dewasa menunggu yang tak lain adalah ayah Charles suami dari bunda Tabita.

“Bunda sudah menceritakan tentang kamu nak.  Saya Charles.  Mulai hari kamu bisa memanggilku ayah Charles.  Mari ayah kenalkan dengan teman-temanmu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status