Semua Bab Bintang untuk Angkasa : Bab 11 - Bab 20
50 Bab
11. I'm Fine
"Sudah, Mbak Bi. Biar nanti Bu Rini aja yang lipat baju-bajunya. Kan Bu Rini udah sering bilang, kalo Mbak Bi ndak perlu bantu Bu Rini segala."Aku menghentikan gerakan tanganku melipat baju, kemudian menoleh pada Bu Rini yang tengah menyetrika baju di meja. "Kan Bi juga sering bilang kalo Bi enggak berniat bantu Bu Rini, tapi karena Bi seneng aja
Baca selengkapnya
12. Menyebalkan
 "Bintang?" Aku tengah membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja, menoleh pada Deni yang berdiri di depan meja guru. "Kenapa?"  "Boleh minta tolong nggak?" Aku menghela napas sambil memasukkan buku-buku tadi ke dalam tas. "Tuh kan, udah gue duga. Kenapa sih lo kalau minta tolong selalu ke gue? Heran, deh." "Soalnya cuma lo yang paling baik dan penolong di kelas ini." Cowok berkacamata itu menyengir. Bibirku tercebik. "Minta tolong apa?"  "Tolong kembaliin buku paket ini ke perpus." Deni menunjuk setumpuk buku paket matematika yang digunakan Pak Daniel untuk mengajar jam pelajaran tadi. "Kan itu tugasnya yang giliran piket hari ini."  "Yang giliran piket hari ini pada kabur semua." Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan benar juga kata Deni bahwa hanya ka
Baca selengkapnya
13. Obat
Aku langsung turun begitu motor Angkasa berhenti di depan pintu gerbang rumahku. Lalu kuserahkan helm ke arahnya, yang sedang melepas helmnya sendiri.Dia menerimanya tanpa melepas tatapan dari wajahku. "Kenapa mukanya gitu?" "Kenapa mukanya gitu?" Aku mengikuti gaya bicaranya dengan tambahan ejekan sebal. "Pikir aja sendiri!""Lo marah?""Menurut lo?!"Dia hanya terkekeh. Kalau bisa, rasanya ingin kuulek muka innocent cowok ini. Semua kekesalan ini berawal dari aku yang sepulang sekolah, berniat meminta buku dan kartu perpustakaan yang dibawa olehnya. Dia memberi syarat agar aku mau diantar pulang olehnya. Intan yang menemaniku menemuinya, malah dengan rela meninggalkanku. Mau tidak mau, aku ikut. Tapi ternyata alih-alih langsung mengantarku pulang, cowok ini malah mengajakku mampir kemana-mana. Mulai dari menemui mamanya di butik milik keluarga mereka, beli sepatu di mall, sampai nongkrong di kafe dengan teman-temannya. Kalau saja aku tidak meng
Baca selengkapnya
14. Congestif Heart Failure
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau jantung kamu kelainan? Kenapa kamu malah ngerahasiain ini, Bi? Harusnya kamu ngomong sama Papa dan Kakak. Apa kamu udah nggak anggap kita sebagai keluarga kamu la–""Apa kalian akan percaya kalau aku ngomong?" potongku, membuat Kak Andro bungkam. Bibirku mengeluarkan tawa sarkastik. "Enggak akan percaya kan? Jadi buat apa aku ngomong!" Aku mengusap kasar pipi yang basah oleh air mata. "Jujur aku pengen banget ngomong, Kak. Aku masih dua belas tahun Kak, waktu itu. Anak umur dua belas tahun harus terima kenyataan kalau jantung kanannya enggak normal, siapa yang enggak terpukul? Rasanya aku pengen nangis di depan Papa sama Kakak. Aku pengen dapat pelukan hangat dari keluargaku. Tapi aku bisa apa? Kalian cuma anggap aku orang asing di rumah ini.""Karena itu aku diem, aku nyari waktu yang tepat buat ngomong sama kalian. Setahun setelah aku dikasih tau penyakitku, aku udah niat ngomong sama kalian. Tapi apa yang aku dapat? Tepat di h
Baca selengkapnya
15. Permintaan Maaf Andro
Suara deheman membawaku kembali ke tempat di mana aku berada sekarang, di atap aula sekolah yang berada tepat di belakang ruang perpustakaan. Tadinya aku ingin ke perpustakaan, tapi ternyata tempat itu sedang digunakan oleh para siswa kelas tiga untuk mengerjakan tugas. Karena itu aku memilih berada di sini, tempat yang ternyata lebih tenang dari perpustakaan."Elo?!" ucapku kaget saat menoleh ke arah deheman itu dan menemukan Angkasa sudah duduk di bangku panjang yang sama denganku. Angkasa duduk di sebelahku, memandang ke depan dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. "Sejak kapan lo di sini?""Sejak lo nangis nggak jelas," jawabnya datar tanpa menoleh sedikit pun padaku."Nangis?" gumamku dengan mata berkedip tanpa sadar. Dan aku tertegun karena ternyata setetes air lolos dari pelupuk mataku membasahi pipiku yang tadinya sudah basah. Aku bahkan tidak sadar kalau sedari tadi aku menangis hanya karena teringat hari-hari berat yang kulalui.Aku tersentak
Baca selengkapnya
16. Pendek
"Viny, kamu Papa antar aja."Aku dan Kak Viny yang sedang memakai sepatu masing-masing, sontak menoleh ke arah Papa yang sudah berdiri tak jauh dari tempat kami duduk. Papa sudah rapi memakai setelan kerjanya lengkap dengan tas kerja di tangan kanannya."Enggak usah, Pa. Viny sama Bi bisa naik bus kayak biasanya," jawab Kak Viny sementara aku melanjutkan memakai sepatuku.Aku sama sekali tidak berniat ikut ke dalam obrolan mereka, karena aku cukup sadar diri untuk tidak melakukan itu. Apalagi sejak tamparan Papa malam itu, setiap kali bertemu Papa rasa perih dan sakit hatiku muncul seketika tanpa diundang. Kurasa aku butuh waktu untuk tidak lagi bersikap acuh seperti sekarang dan kembali bersikap ramah seperti sebelumnya. Meskipun aku sadar apakah aku acuh atau ramah, sama sekali tidak berpengaruh apa-apa pada sikap Papa padaku. Karena bagi Papa, Bintang Aurora itu tidak ada."Tapi bentar lagi kamu UN, Vin. Papa enggak mau kamu kecapekan jalan kaki terus berp
Baca selengkapnya
17. Khawatir
"Beneran lo nggak kenapa-napa, Bi?"Aku menoleh pada Intan sebelum terbatuk pelan. Ini sudah yang ketiga kalinya Intan menanyakan hal yang sama sejak kami keluar dari kelas setelah bel pulang berbunyi. Hari ini perpustakaan tutup, karena itu aku langsung turun ke lantai satu bersama Intan."Kan gue udah bilang kalo gue nggak kenapa-napa, Tan. Cuma batuk doang." Tentu saja aku bohong, karena yang sebenarnya bukan hanya batuk saja yang menyerang ku sekarang tapi juga pernapasanku yang agak sesak dan kepala pusing. Sejak jam pelajaran terakhir dimulai, entah kenapa tiba-tiba aku merasa pusing dan sesak napas. Untungnya aku bisa menahannya tanpa ketahuan Intan dan tepat saat bel pulang sekolah berbunyi, tiba-tiba aku tidak bisa menahan untuk tidak terbatuk-batuk dan mengundang kecurigaan Intan."Obat lo masih ada kan?""Iya."Aku terbatuk-batuk lagi membuat Intan kembali menatapku. Juga beberapa siswa yang berpapasan dengan kami memandangku aneh
Baca selengkapnya
18. Marah
Dalam hidup, yang namanya perubahan itu pasti akan selalu ada. Entah itu kecil atau besar, entah itu terlihat samar-samar atau justru sangat nyata, entah membawa pengaruh baik atau buruk, perubahan tidak akan pernah bisa kita tampik. Seperti yang kurasakan sekarang pada Kak Viny. Belakangan sejak Papa pulang dan tinggal kembali bersama kami, sikap Kak Viny perlahan berubah. Seiring dengan perhatian penuh yang Papa berikan pada Kak Viny, entah kenapa perhatian Kak Viny semakin berkurang padaku. Aku tahu mungkin aku kelihatan egois dan selalu menuntut perhatian kak Viny padaku, tapi apakah aku salah? Untuk seorang remaja sepertiku, yang sejak dilahirkan hingga umurnya yang menginjak enam belas tahun sama sekali tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari seorang ayah kandungnya sendiri, apakah aku salah jika mengharapkan perhatian?"Bi, Kakak janji mulai sekarang kakak akan selalu ada buat kamu. Enggak peduli apa Papa ada di sini bersama kita atau enggak, Kakak akan se
Baca selengkapnya
19. Roboh
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan cahaya yang ada di sekitarku. Gradasi yang awalnya buram perlahan tampak semakin jelas, bersamaan dengan pening tak terhingga di kepalaku. Ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan membuatku mengerutkan kening. Di mana aku?"Kamu sudah sadar, Bintang?"Aku menoleh, menatap seseorang yang sangat kukenal berdiri di samping ranjang tempatku berbaring. Pria seumuran Papa itu tersenyum ramah Melihat pria itu ada di dekatku, membuatku menyadari di mana aku berada sekarang."Om, kenapa aku di sini?" tanyaku dengan suara serak. Entah sudah berapa lama aku tertidur."Menurut lo kenapa?" Aku langsung menoleh ke arah suara yang menginterupsi pertanyaanku barusan."Intan, jangan ketus gitu dong ngomongnya. Bintang baru aja sadar ini," tegur pria itu, Om Herman."Abisnya aku kesel, Pa. Bi tuh nggak pernah mau dengerin aku. Udah berkali-kali aku ngomong sama cewek batu ini agar dia nggak masuk sekolah du
Baca selengkapnya
20. Debat
"Bintang, gimana? Angkasa jagain kamu kan di sekolah?" tanya Tante Jenni, membuat semua orang yang ada di meja itu menoleh padaku, kecuali Papa tentunya. Dan Angkasa yang tampak acuh dan lebih memilih fokus ke makan siangnya."Iya, Tante. Angkasa jagain Bintang banget, kok. Sampai Bintang pulang sama sahabat Bintang aja nggak dibolehin sama Angkasa." Aku langsung mendapat lirikan tajam oleh Angkasa, tentu saja karena sudah menyindirnya masalah kemarin saat dia melarangku pulang bersama Galang dan Nina.Tante Jenni terkekeh, lalu menoleh pada anaknya. "Jangan terlalu posesif gitu dong, Sa." Mendengar kata 'posesif', jadi berasa aku ini adalah pacar Angkasa. Tiba-tiba pipiku memanas hanya memikirkan hal konyol itu. Aku pasti sudah gila!"Kalo nggak diposesifin, dia bisa keluyuran kemana-mana, Ma."Aku mendelik, mendengar jawaban enteng Angkasa. "Emang gue cewek apaan? Jangan ngomong yang enggak-enggak deh lo.""Loh, Bi? Kok panggil Angkasa pak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status