Semua Bab Wonderstruck: Bab 171 - Bab 180
281 Bab
Remedi [2]
“Ini mata kuliah yang untuk sekadar lulus pun sangat sulit. Tahun depan kalian akan merasakannya sendiri,” sergah Brisha, setengah menyumpah. “Hati-hati menyetirnya, Mara! Kalau melihat ada si Monster, tabrak aja.” Gadis itu melambai setelah menggumamkan peringatannya. Amara dan Sophie berjalan ke arah yang berbeda.“Sebenarnya, aku pengin banget ngalamin satu masa, saat kita bisa bergosip tentang cowok-cowok keren,” Sophie bicara lagi. Makin lama Amara kian kebal dengan celotehan gadis itu yang kadang terkesan seenaknya. Sophie punya cara aneh untuk menghiburnya. Dan Amara sudah lama berhenti mengajukan protes atau keberatan.“Nanti, kalau aku udah siap mental,” cetus Amara dengan suara datar. “Yang jelas, bukan dalam waktu dekat. Satu-satunya....”Sophie memandang ke arah Amara dengan kening berlipat saat gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tatapan mata Amara tertuju ke satu titik, dan wajahnya be
Baca selengkapnya
Remedi [3]
Wajah Amara terasa memanas karena ucapan Sophie itu. “Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kamu kira aku tidak malu kalau ingat bagaimana responsku tiap kali berada di dekat Pak Reuben? Seharusnya aku bisa lebih sopan, kan?” komentarnya tanpa daya.Sophie memeluk lengan Amara dengan gaya akrab. Gadis itu tertawa kecil. “Tapi susah juga sih, Mara. Kesopanan itu kadang membelenggu dan membuat seseorang tidak nyaman. Ah, peduli amat! Yang penting kamu bahagia, tidak merugikan orang lain, dan nggak melanggar hukum. Jadi, santai aja.”“Andai aku bisa bahagia dengan bersikap ketus, alangkah indahnya hidup ini,” keluh Amara. “Tapi, yang terjadi pasti malah dibenci dan jadi sampah masyarakat.”Mereka sudah tiba di pelataran parkir. Amara bisa merasakan ketegangan mengambil alih tubuhnya tanpa bisa dikendalikan. Matanya bergerak cepat, memindai setiap figur yang ada di sana. Jantung Amara berdegum-degum, karena cemas
Baca selengkapnya
Remedi [4]
Amara mulai optimis bahwa dia akan bisa bersikap normal seperti dirinya yang dulu. Mungkin tak benar-benar normal tapi minimal mendekati. Dia sangat ingin bisa mengobrol dengan lawan jenis dengan santai tanpa dibanjiri keringat dingin atau jari-jari yang gemetar. Juga tanpa harus berlama-lama mengisap lolipop demi mengalihkan sebagian konsentrasi.Amara tahu bahwa dirinya juga harus pelan-pelan belajar untuk memandang bahwa tak semua laki-laki akan menjahatinya. Itu hal yang sulit meski gadis itu paham dengan teorinya. Bahwa tak boleh main pukul rata, satu kejahatan dianggap mewakili suatu komunitas.“Ji Hwan itu baik, ya?” komentar Sophie lagi. “Eh, aku nggak punya maksud apa-apa dengan komenku tadi. Aku cuma mau bilang, dia nggak keberatan bantuin kamu. Itu poin plus, kan? Apalagi kamu sendiri bilang, Ji Hwan nggak banyak tanya.”“He-eh. Walau kemarin itu tingkahku mirip orang gila, Ji Hwan tetap tenang dan nggak ketakutan,”
Baca selengkapnya
Ulang Tahun [1]
“Mara....”Lamunan Amara kocar-kacir karena suara yang menyebut nama kesayangannya itu. Amara menghentikan langkah dan baru menyadari kalau dia sedang berdiri berhadap-hadapan dengan si jangkung Ji Hwan. Cowok itu menghadiahinya seulas senyum yang masuk kategori menawan.“Halo, Ji Hwan,” balas Amara, berusaha santai. Tangan kanannya nyaris merogoh tas untuk mencari lolipop. Namun entah kenapa Amara tidak ingin Ji Hwan makin memandangnya sebagai gadis aneh. Sudah terlalu banyak keganjilan yang dilakukannya di depan cowok itu.“Kamu kuliah jam berapa?” tanya Ji Hwan lembut. Pertanyaan itu membuat Amara melirik ke arah jam tangannya.“Kurang lebih dua puluh menit lagi. Ini aku mau ke kantin dulu, sudah ditunggu Sophie. Dia baru datang karena memang tak ada kuliah pagi,” urai Amara.“Oh. Nanti malam kamu  ada acara, Mara?” tanya Ji Hwan blak-blakan.“Nanti malam?” ulang
Baca selengkapnya
Ulang Tahun [2]
Amara tidak sanggup bicara hingga akhirnya dia memilih menganggukkan kepala saja. Gadis itu tidak mau mengambil risiko Ji Hwan mendengar suaranya yang tercekik. Pita suara Amara tampaknya selalu mengalami masalah serius tiap kali berdekatan dengan kaum berhormon testosteron. Terutama Ji Hwan.Sepanjang siang, Amara tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi. Entah berapa kali Sophie menyikutnya karena tenggelam dalam lamunan. Kali ini Amara bahkan tidak mengajukan protes meski sikutan Sophie yang membuatnya meringis. Otaknya terlalu penuh oleh gema ajakan Ji Hwan tadi.“Kamu kenapa? Dari tadi melamun melulu,” bisik Sophie saat kuliah akhirnya berakhir. Amara membereskan buku-bukunya tanpa menoleh.“Nggak ada apa-apa,” jawabnya.“Apa kamu ketemu sama si Monster itu lagi?” tanya Sophie, terdengar cemas.“Nggak, kok! Seharian ini aku malah nggak mikirin dia. Tadi pun pas datang ke kampus, agak lupa celinguka
Baca selengkapnya
Ulang Tahun [3]
Ji Hwan menatap pintu restoran yang terbuat dari kaca dan memungkinkannya leluasa memandang ke luar. Amara sudah telat nyaris dua puluh menit. Dia sama sekali tidak tahu apakah terlambat merupakan kebiasaan Amara. Menyabarkan diri, Ji Hwan tetap bertahan di tempat duduknya.Ada keinginan untuk menghubungi Amara via telepon. Atau berkirim pesan lewat aplikasi WhatsApp. Ji Hwan menyimpan nomor ponsel gadis itu. Akan tetapi, dia tahu bahwa Amara tak sama dengan gadis-gadis lain. Jika dia salah langkah, bisa-bisa Amara malah makin menjauh dan membencinya.Ji Hwan tidak tahu apa yang sudah dialami Amara seputar lawan jenis. Namun dia bisa menebak bahwa gadis itu pernah melewati pengalaman traumatis yang membuatnya begitu kaku dan waspada saat berada di depan kaum adam. Seharusnya, dia menjauh dari gadis itu. Akan tetapi, perasaannya tak bisa dibohongi atau dikendalikan. Dia sangat menyukai Amara dan bertekad tak akan mundur sebelum berusaha mati-matian.“Kamu a
Baca selengkapnya
Ulang Tahun [4]
“Ah, Mara, kenapa nggak bilang terus terang kalau kamu tak tertarik untuk datang?” keluh Ji Hwan dalam hati.Dada Ji Hwan terasa ngilu karena fakta itu. Kenapa dia tidak bisa menjadi cowok istimewa di mata Amara? Sejak awal Ji Hwan sudah tahu kalau Amara memiliki persoalan serius sehubungan dengan lawan jenis. Dia masih belum bisa lupa reaksi gadis itu tatkala mereka bertemu di kampus pertama kali. Reaksi yang menguakkan banyak fakta.Namun pada akhirnya yang salah adalah Ji Hwan. Sudah tahu dia berhadapan dengan gadis yang tidak mudah bahkan sekadar untuk diajak bicara, tapi masih saja nekat menyukai Amara. Dan entah keberanian dari mana yang membuatnya mengajak Amara untuk merayakan hari bersejarahnya kali ini.Ji Hwan meraih ponsel di sakunya dan nyaris memencet panggilan cepat nomor dua. Namun dia buru-buru membatalkan niat itu sekuat tenaga. Amara bukan orang yang mudah diprediksi, jauh lebih rumit dibanding rumus kimia paling kompleks. Ji Hwan
Baca selengkapnya
Ulang Tahun [5]
Selama berhari-hari, Amara berdebat dengan hatinya sendiri. Akal sehat versus emosi. Dan makin lama dia hanya mampu menahan gunungan rasa malu yang kian meninggi. Di masyarakat mana pun apa yang sudah dilakukan Amara tidak pantas mendapat pemakluman, kan? Dia memang sudah keterlaluan.Amara terjebak dalam perasaan yang saling tarik-menarik. Merasa bersalah tapi tidak melihat jalan keluar yang bisa membebaskannya dari perasaan itu. Meminta maaf menjadi terasa sangat berat karena jauh di kedalaman hatinya Amara cemas Ji Hwan benar-benar marah dan tak akan sudi memaafkannya.Entah sejak kapan perasaan Ji Hwan menjadi penting baginya. Namun setelah berusaha keras memikirkan segala kemungkinan, Amara mengambil kesimpulan. Ji Hwan yang sabar dan tidak menjauh darinya seharusnya mendapat lebih banyak penghargaan. Bukan karena Ji Hwan mengaku punya perasaan istimewa untuk Amara, melainkan sebagai seorang manusia seharusnya gadis itu memberikan atensi yang pantas.&ldquo
Baca selengkapnya
Ulang Tahun [6]
Ji Hwan melongo. Ekspresinya tampak menggelikan hingga membuat Amara diam-diam menahan senyum. Tebakan Amara, cowok itu tidak menyangka akan mendengarnya bicara cukup panjang. Ini pasti menjadi semacam rekor baru dalam interaksi mereka berdua.“Kamu mungkin nggak tau, tapi aku merasa bersalah karena udah ngebatalin janji secara sepihak. Aku bahkan udah bertingkah nggak sopan, kan? Seharusnya aku meneleponmu supaya kamu nggak menunggu-nunggu. Aku tau itu, tapi aku tetap aja nggak melakukannya.” Amara menunduk, kehilangan kata-kata. Dia sendiri cukup kaget karena bisa berbicara lumayan panjang meski tentu tak berarti banyak bagi Ji Hwan.“Kalau kamu memang nggak mau makan malam denganku, bukan masalah, kok. Aku bisa mengerti,” kata Ji Hwan dengan suara rendah.“Bukan begitu!” suara Amara agak kencang. Dia segera menyesali kecerobohannya saat menyadari beberapa pengunjung menatapnya seakan berkata “ini perpustakaan, bukan t
Baca selengkapnya
Malam Spesial [1]
Sepanjang sisa siang itu, Amara diterpa kegugupan luar biasa yang coba disembunyikan setengah mati. Lututnya bergetar, membuat gadis itu tak sanggup berdiri lebih dari lima detak jantung. Telapak tangannya dibanjiri keringat yang seakan tidak bisa berhenti mengalir. Entah berapa kali dia mengusapkan tangannya di kaus yang dikenakan. Tremor di sana-sini.Setelah meninggalkan perpustakaan, Amara mulai merasa kacau. Andai bisa, betapa ingin gadis pingsan dan terbangun esok paginya saja. Sehingga bisa melewatkan malam itu. Sayangnya itu mustahil, kecuali dia menderita penyakit berbahaya yang memungkinkan kehilangan kesadaran dalam jangka waktu lama.Amara memilih berjalan kaki menuju kampusnya yang memang bersebelahan dengan perpustakaan. Kepalanya tertunduk sambil menendang kerikil kecil di tepi jalan. Ada banyak mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar Amara, tapi gadis itu tenggelam dalam dunianya sendiri.“Kamu kenapa? Apa enaknya melamun sambil jalan? Bis
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1617181920
...
29
DMCA.com Protection Status