Semua Bab Wonderstruck: Bab 151 - Bab 160
281 Bab
Menyingkap Rahasia [7]
“Marcello temanmu sejak SD itu? Yang kuliah di Fakultas Pertanian, kan?” Brisha mencari penegasan. “Aku masih ingat, tapi memang sudah lama aku tidak bertemu dia. Sepertinya sejak kamu cuti dia juga....” Brisha terdiam seketika. “Maaf, aku sudah melantur.”“Ada apa dengan cowok yang namanya Marcello ini?” tukas Sophie tak sabar. “Dia yang melakukan ... hmmm ... hal buruk padamu?” tanyanya blak-blakan. Brisha menoleh ke kiri, memberikan pandangan menegur ke arah gadis itu.Jawaban Amara membuat Brisha melongo. “Ya. Memang dia yang memaksaku....” tangis Amara pecah tiba-tiba. Air mata yang dikiranya sudah kering itu ternyata masih bersisa. Dia merasakan seseorang memeluknya, Brisha. Aroma parfum samarnya membuat Amara bisa mengenalinya. Sophie menyusul sekedip kemudian. Membuat tangis Amara kian kencang.Lalu, gadis itu pun mulai buka suara. Bercerita tentang suatu hari yang dikiranya cuma akh
Baca selengkapnya
Berbagi Duka [1]
Amara tidak tahu kalau mengeluarkan sedikit rahasia gelapnya bisa membuat dadanya lumayan lega. Andai tahu efeknya seperti itu, mungkin dia sudah melakukan ini sejak lama. Gadis itu memercayai Brisha, pertemanan mereka selama ini sudah memberinya petunjuk. Sementara untuk Sophie sendiri, prosesnya memang cukup panjang. Namun ketika akhirnya bicara, Amara tidak ragu kalau Sophie takkan mengkhianati kepercayaannya.Memang, Amara sudah pernah membahas tentang semua yang dialaminya di depan keluarga atau psikiater. Namun, efek kelegaannya itu agak berbeda setelah gadis itu bicara dengan Brisha dan Sophie. Apalagi tak ada penghakiman atau pandangan menyalahkan yang didapat Amara dari kedua temannya itu.“Sekarang aku baru nyadar kalau itu yang bikin kamu ... tampak agak berbeda,” Sophie akhirnya mengakhiri keheningan yang membekukan itu. Wajahnya masih pucat. Menurut suara hati Amara, Sophie jauh lebih terpukul dibanding yang ditunjukkannya. Namun gadis itu cuku
Baca selengkapnya
Berbagi Duka [2]
Brisha geleng-geleng kepala. “Kukira Marcello orang yang baik dan menyenangkan. Apalagi kalian udah temenan lama dan dia terkesan perhatian sama kamu, Mara. Perhatian bukan dalam arti antara cowok yang naksir cewek. Ya Tuhan, aku nggak bisa membayangkan kalau ternyata dia sebejat itu. Tega mencelakai sahabatnya sendiri.”Amara membasahi bibirnya yang terasa kering. Dia sendiri pun menyesap rasa yang sama seperti Brisha. Mengira mengenal Marcello cukup baik, nyatanya dia terperanjat karena apa yang bisa dilakukan oleh cowok itu.Keheningan menyapu kamar Brisha itu selama beberapa saat. Amara senang karena tak ada yang pingsan setelah dia membuka luka lama itu. Walau Brisha dan Sophie jelas-jelas tampak kaget setengah mati.“Jadi, sekarang apa yang terjadi sama si Monster ini, Mara?” Sophie buka suara. “Apa kamu masih sering ketemu dia? Waktu kamu di Parapat, dia pernah datang ke sana?”“Aku udah nggak pernah ketemu
Baca selengkapnya
Berbagi Duka [3]
Merasa lelah dengan emosinya yang terkuras, Amara membaringkan tubuhnya di atas karpet tebal itu. Gadis itu menelentang. Brisha beranjak ke arah ranjang dan membawa beberapa bantal berbentuk persegi panjang untuk mereka. Amara mengambil salah satunya.“Apa aku bisa ngelakuin sesuatu untuk membantumu, Amara?” tanya Sophie.Ketulusan serta kesungguhan dalam suara gadis itu membuat Amara ingin menangis lagi. Namun dia menahan keinginan itu karena tidak mau lagi menunjukkan kecengengannya. Lagi pula dia sudah belajar bahwa tangis tidak akan menjadi jalan keluar untuk masalah apa pun, entah berat atau ringan.“Kalian harus bisa jaga diri sebaik mungkin. Jangan sampai ngalamin kayak aku.  Pokoknya, nggak boleh lengah. Kalian harus hati-hati, jangan mudah percaya sama seseorang. Meski orang itu mengaku sebagai teman baikmu. Karena nyatanya banyak pelaku kejahatan adalah orang-orang yang memang dikenal korban. Mereka menyalahgunakan kepercayaan si
Baca selengkapnya
Berbagi Duka [4]
Brisha mendadak bersuara. “Apa cuma aku doang yang lapar? Kalian nggak, ya?”“Aku juga lapar,” aku Sophie.“Sama,” balas Amara. “Setelah curhat panjang, perutku minta diisi. Apa kita mau pesan makanan atau gimana?”“Aku akan ngecek ke dapur sebentar apa kira-kira ada cukup makanan untuk kita,” Brisha duduk sambil menepuk-nepuk celana pendeknya. “Kalau nggak ada, aku akan memesan makanan. Dan kita berpesta hari ini.”Beberapa saat kemudian Brisha kembali dari dapur, mengaku bahwa tak banyak makanan yang bisa mereka santap. Akhirnya mereka sepakat untuk memesan makanan saja. Namun Amara dan Sophie menyerahkan pilihan menu pada sang nona rumah.Seakan kisah mengerikan yang dituturkan Amara membuat mereka kelaparan, Brisha akhirnya memesan berbagai makanan dari restoran yang letaknya tak jauh dari rumah gadis itu. Ketiga gadis itu pun pindah ke dapur dengan makanan memenuhi meja. B
Baca selengkapnya
Ji Hwan [1]
Karena di kampus nyaris selalu bersama, Sophie menjadi orang yang paling mengerti kondisi Amara. Jika gadis itu sudah melihat ekspresi kaku atau wajah mulai dipenuhi bintik keringat milik Amara, Sophie akan bereaksi. Kalau kondisi Amara sudah seperti itu, biasanya Sophie akan mengajak temannya itu menjauh dari keramaian. Karena biasanya reaksi itu terjadi jika Amara mulai gugup dan merasa ada lawan jenis yang memerhatikannya.“Nih!” Sophie mengeluarkan tiga buah lolipop dari dalam tasnya.Mereka baru saja berpapasan dengan Reuben yang menyapa keduanya dengan ramah. Lelaki itu tak menunjukkan tanda-tanda sakit hati atau perubahan sikap karena sudah ditolak Amara mentah-mentah. Bagusnya lagi, Reuben juga tak berusaha mengejar-ngejar Amara hingga membuat gadis itu makin ketakutan.“Apa ini?” Amara keheranan. Namun dia menerima benda yang disodorkan Sophie.“Lolipop,” sahut Sophie dengan nada geli.Amara mencebik. &l
Baca selengkapnya
Ji Hwan [2]
Dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir, inilah kali pertama dia benar-benar melihat seorang cowok mengembangkan senyum tanpa merasa cemas. Tentu saja Maxim tidak dihitung, begitu juga dengan Levi yang dulu cukup sering mendatangi Puan Derana. Karena di mata Amara, keduanya bukanlah ancaman. Bahkan mungkin bisa dibilang dia tak melihat mereka sebagai lawan jenis, hanya bagian dari Puan Derana belaka.Dari balik bibir kemerahan Ji Hwan, mengintip sederet gigi rapi yang membuat Amara iri setengah mati. Sebab, giginya tak serapi itu. Juga ada lesung pipi yang membuat cowok itu makin menawan. Ya, saat itulah Amara baru menyadari satu hal. Bahwa Ji Hwan adalah sosok yang memesona. Apalagi ditambah kulit bersihnya. Saat terkena sinar matahari, pipi Ji Hwan berubah menjadi agak kemerahan.“Halo Amara,” sapanya ramah. Amara kembali diingatkan pada aksen unik yang mengiringi sapaan Ji Hwan.“Halo Ji Hwan,” balasnya. Amara bahkan tak sanggup
Baca selengkapnya
Ji Hwan [3]
Lidah Amara terkelu. “Kamu suka padaku?” tanyanya heran. “Masih?”Ji Hwan tertawa pelan. “Sayangnya, masih.”“Setelah....” Amara tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.“Memangnya tidak boleh, ya? Meski kamu marah-marah dan ... maaf ... bersikap menyebalkan. Hei, bukankah kita sudah sepakat tidak akan membahas masalah itu lagi?”Senyum Amara mekar tanpa bisa dicegah. Gadis itu menyadari bahwa sekarang dia lebih rileks. Kedua bahunya melorot dan Amara bisa duduk bersandar dengan perasaan nyaman. Tidak ada ketakutan atau kecemasan yang mencengkeramnya.“Makasih karena udah bicara jujur, Ji Hwan,” ucap Amara. Gadis itu lega karena masih ingat untuk bersikap sopan. Nama Reuben sempat melintas di kepalanya. Setelah Amara kembali ke kampus, Reuben orang pertama yang mengaku menyukainya. Lalu kini Ji Hwan.“Pasti udah banyak cowok yang bilang suka padamu, kan?” tanya
Baca selengkapnya
Ji Hwan [4]
Lolipop dari Sophie ternyata cukup membantu Amara. Tanpa terduga, dia bisa melewati obrolan dengan Ji Hwan tanpa kendala berarti. Amara memang tak lantas berhenti gugup dan bisa bersikap santai. Ada saatnya dia ingin beranjak dari kursi dan meninggalkan teras rumah Brisha itu. Namun, paling tidak, gadis itu bisa bertahan tanpa melakukan sesuatu yang aneh. Hingga Sophie kembali untuk menepati janjinya untuk kembali menemani Amara.“Ronan sedang makan siang di dapur. Kamu tidak mau makan juga, Ji Hwan? Ada banyak makanan, lho!” cetus Sophie. Gadis itu membawa nampan berisi tiga gelas sirop stroberi dingin.“Aku udah makan di kantin,” beri tahu Ji Hwan.Mereka bertiga akhirnya mengobrol ringan sambil menunggu Ronan dan Brisha bergabung di teras. Tentu saja Amara lebih banyak menjadi pendengar. Sophie yang supel itu tak kesulitan mencari bahan obrolan. Sementara Ji Hwan pun mengimbangi gadis itu lumayan luwes. Mereka membahas banyak hal yang
Baca selengkapnya
Ji Hwan [5]
“Ji Hwan itu kok bisa fasih berbahasa Indonesia sih, Sha?” tanya Amara tiba-tiba.Pertanyaan yang di luar dugaan itu membuat kedua sahabatnya memandang Amara dengan terpana. Hari itu mereka baru saja selesai berenang. Rumah Brisha dilengkapi sebuah kolam renang cantik yang membuat iri Sophie dan Amara. Keduanya tidak ada kuliah dan datang mengunjungi Brisha lewat tengah hari. Ketiganya memang sudah membuat janji akan menghabiskan sisa hari itu bersama.“Kamu serius menanyakan itu?” tanya Brisha blak-blakan.Amara tampak malu. Namun sebelum gadis itu berkomentar, Sophie sudah mendahuluinya. “Tentu saja dia serius!” tandas Sophie dengan keyakinan penuh.“Memangnya apa saja yang kalian obrolkan kalau sedang berdua? Kamu nggak pernah tanya langsung sama Ji Hwan, ya?” Brisha setengah mengeluh. Berpura-pura, tentunya.“Ya udah, jangan dijawab,” balas Amara dengan pipi terasa panas.Brisha
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1415161718
...
29
DMCA.com Protection Status