Semua Bab Wonderstruck: Bab 141 - Bab 150
281 Bab
Medan Magnet? [2]
“Amara, ceritain apa yang terjadi tadi. kamu dan Pak Reuben,” Sophie menyenggolnya begitu kuliah berakhir. Amara yang sedang berpura-pura menyibukkan diri dengan membereskan isi tasnya, berusaha untuk tidak melirik ke kiri.“Aku ada kuliah dua puluh menit lagi. Kamu?” Amara mengabaikan kata-kata Sophie.“Ah, kamu pasti sengaja mengalihkan topik bahasan. Tapi, percayalah, cara itu sama sekali nggak akan berhasil. Selama satu semester ini seharusnya kamu lebih tahu kayak apa aku ini,” kata Sophie lugas. Gadis itu menggandeng lengan Amara saat mereka melangkah ke luar ruangan.“Ya, tentu aja aku lebih tau. Kamu itu mirip wabah bandel yang berusaha nempel di tubuh orang yang sehat. Kebal terhadap semua vaksin dan antibiotik,” cetus Amara gemas. “Nggak ada lanjutan gosipnya. Cukup sampai di situ aja.”“Kamu yakin? Kalian tadi nggak bikin semacam pertunjukan yang akan dibisikkan para mahasiswa di
Baca selengkapnya
Medan Magnet? [3]
“Tentu, aku akan datang,” balas Amara cepat tanpa pikir panjang. Dia pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Brisha, sehingga mengenal keluarga temannya itu. “Sampaikan salamku sama mamamu, Sha. Dan terima kasih karena ingat untuk mengundangku,” katanya tulus. Brisha menantang mata Amara untuk sesaat. Sedetik kemudian rasa penyesalan membanjiri Amara. Seharusnya dia tidak menjanjikan apa-apa.“Kami nggak mungkin ngeluapain kamu, Mara. Kamu yang ... menjauh.”Amara mencoba tetap mempertahankan senyumnya sebelum pamit untuk masuk ke dalam kelas. Dia selalu menyukai keluarga Brisha, terutama mamanya. Dia bahkan pernah menginap beberapa kali di rumah temannya itu. Brisha adalah teman terdekatnya, nyaris menjadi sahabat. Sebelum Amara mengambil langkah mundur dan menjauh dari semua orang yang dikenalnya.“Kamu beneran akan datang, kan?” Sophie ikut campur lagi. “Brisha kayaknya berharap kamu nepatin janji, lho!&r
Baca selengkapnya
Medan Magnet? [4]
Amara mati-matian menahan rasa nyeri yang memanaskan matanya agar tidak membuahkan tangis. “Saya baik-baik aja, Tante. Maaf ya, memang belakangan ini saya ... agak sibuk. Tante dan Om sehat, kan?”Yenny tertawa sambil mengelus punggung tangan kanan Amara yang berada di genggamannya. “Tentu aja Tante sehat. Kalau nggak, mana bisa bikin pesta kayak gini. Tadinya, Tante nggak mau bikin acara macem-macem. Tapi Om maksa. Demi cinta, Tante harus ngalah.”Amara tersenyum sopan sebagai respons. Lalu dia segera memperkenalkan Sophie yang datang bersamanya. Dia bisa melihat rasa cinta yang berayun di udara tiap kali orangtua Brisha bersama. Mirip dengan yang terjadi pada orangtuanya. Berjuta tahun lalu.Hal itu kadang menimbulkan sembilu yang mengiris jiwanya. Karena Amara yakin bahwa dia tak akan bisa merasakan hal yang sama. Seseorang yang sudah mati mustahil mampu merasakan cinta, bukan?Meski awalnya cemas jika dia tidak akan bi
Baca selengkapnya
Medan Magnet? [5]
Dia tak suka berbohong karena ada risiko yang harus ditanggungnya. Sebab, tiap kali berdusta berarti kepala Amara akan terasa nyeri dan produksi asam lambung gadis itu meningkat drastis. Amara mulai berpikir bahwa berbohong sungguh bisa merusak kesehatan.Di sisi lain, makin lama berdusta ternyata kian mudah, pikirnya muram. Amara sungguh tidak betah menebar jala dusta lagi, tapi dia tidak punya pilihan yang lebih masuk akal sekaligus menyenangkan. Inilah risiko yang harus ditanggung ketika seseorang sudah tidak lagi berkata jujur. Selamanya dia harus berusaha mempertahankan itu.“Saya memang cuti kuliah, tapi bukan karena ada masalah kok, Tante. Cuma....” Amara berdeham, “agak bosan aja dan butuh suasana baru. Akhirnya ... daripada hasilnya nggak maksimal, lebih baik cuti sebentar. Harapannya, energi dan semangat saya bisa balik lagi.”Yenny mengelus bahu Amara dengan gerakan lembut. “Kamu menghabiskan cuti kuliah di mana? Di rumah
Baca selengkapnya
Menyingkap Rahasia [1]
“Maaf?” Amara membelalakkan mata, mengira dia sudah salah mendengar.Ji Hwan bicara lagi, kali ini dengan perlahan. Seakan cowok itu ingin memastikan agar Amara bisa mendengar setiap katanya dengan sempurna. “Aku ke sini untuk bertemu kamu, Amara.” Ji Hwan tersenyum, membuat wajahnya menampilkan ekspresi lembut yang akan menawan hati gadis mana pun di luar sana. Kecuali Amara. “Waktu itu aku lupa meminta nomor ponselmu. Kampus kita kan bersebelahan. Nah, kebetulan hari ini aku ...”Pupil mata Amara membesar. “Dari mana kamu tahu aku ada kuliah hari ini?”Ji Hwan menjawab dengan ringan sembari mengerling ke sebelah kiri Amara. “Sophie. Tapi dia tidak mau memberi tahu nomor ponselmu. Jadi, aku....”“Aku juga tidak!” sentak Amara ketus. “Pulanglah Ji Hwan, aku bukan orang yang tepat untuk kamu temui. Aku tidak tertarik mencari teman baru.” Amara menoleh ke kiri, menatap Sophi
Baca selengkapnya
Menyingkap Rahasia [2]
Amara tidak menyukai nada menegur di dalam suara Brisha. “Kenapa aku tidak boleh meninggalkannya begitu saja? Memangnya ada keharusan kalau aku mesti berbasa-basi dengan dia?” tanya Amara, meniru kalimat Brisha tadi. “Kamu sendiri, apa hakmu berusaha mendekatkan kami?” tanyanya terang-terangan.Brisha terbelalak. “Aku mendekatkan kalian? Aku sudah bilang, aku tidak tahu kalau Ji Hwan ke sini!” tegasnya. Gadis itu menatap Amara dengan kepala dimiringkan ke kanan. “Dan waktu acara di rumahku, memang dia yang memaksa ingin berkenalan denganmu. Meski aku sudah memberi peringatan pada Ji Hwan kalau kamu ... mungkin tidak akan bersikap ramah. Tapi Ji Hwan tak peduli. Dan aku tetap merasa itu bukan sesuatu yang salah.”Amara terdiam. Tiba-tiba menyadari betapa kacaunya situasi saat ini. Kepalanya terasa berputar, tapi akal sehatnya mulai menyusup masuk. Dia menyadari, tak seharusnya mengambil tindakan emosional seperti ini. Meng
Baca selengkapnya
Menyingkap Rahasia [3]
Di tempat parkir Amara diadang Sophie yang tampak marah. Namun sebelum gadis itu sempat bicara, Brisha memintanya untuk diam saja. Brisha bahkan mengajak Sophie untuk masuk ke dalam mobil Amara. Awalnya gadis itu menolak tapi Brisha memaksa. Itulah kali pertama Amara tersadarkan oleh fakta bahwa temannya mampu mendesakkan keinginan dengan begitu mudah. Brisha ternyata seorang pemaksa. Tidak jauh berbeda dengan Sophie.“Kunci mobil, Mara,” pinta Brisha dengan nada tegas.Kali ini, Amara tak berdaya untuk menolak. Jari-jarinya gemetar saat dia menyerahkan kunci mobilnya pada Brisha. Gadis itu yang menyetir dengan Amara duduk di jok depan. Sedangkan Sophie duduk sendiri di jok belakang.“Aku benar-benar nggak menyangka kamu sejahat itu. Selama ini aku berusaha memaklumi sikap burukmu, Mara. Tapi hari ini aku sudah benar-benar muak. Ada apa sih denganmu? Bagaimana bisa kamu bersikap sangat tidak sopan? Memaki dan meninggalkan orang yang datang baik
Baca selengkapnya
Menyingkap Rahasia [4]
Brisha menginjak rem hingga menimbulkan suara decit ban. Sabuk pengaman menyelamatkan ketiga gadis itu sehingga tidak terlempar dari jok masing-masing. Selama lima detak jantung, keheningan yang mengerikan memerangkap mereka. Hingga suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Brisha menepikan mobil. Selanjutnya, sumpah serapah pengemudi mobil lainnya terdengar samar.Brisha melawan. Gadis itu menurunkan kaca jendela untuk balas memaki. Dia juga mengacungkan jari tengah ke udara dengan berani.“Apa ada gunanya kalau kamu ikut-ikutan jadi preman?” Sophie mengingatkan. “Memang kamu yang salah karena mengerem seenaknya.”Brisha akhirnya kembali menaikkan kaca jendela mobil. “Iya, sih. Aku yang salah. Tapi tetap saja kesal karena orang gampang sekali memaki.”Amara memejamkan mata, tidak mengira jika kata-kata itu mampu membuatnya merasa lega. Seakan beban abadi yang menetap di bahunya, hilang hingga setengahnya. Dia tak per
Baca selengkapnya
Menyingkap Rahasia [5]
“Terima kasih ya, Ji Hwan Oppa,” canda Brisha. “Dan maaf karena kami sudah merepotkanmu. Barusan ada ... masalah darurat.”“Nggak masalah, Brisha,” balas Ji Hwan tenang.Cowok itu duduk tegak dengan wajah serius. Amara yakin, bahwa kata-katanya tadi sudah menjadi sembilu yang membuat Ji Hwan kehilangan senyum. Gadis itu merasa bersalah karena sudah bicara jahat kepada orang yang baru dikenalnya. Setelah apa yang dilakukannya, Ji Hwan bahkan masih berkenan menggantikan Ronan. Namun lidah Amara terlalu kebas untuk mampu melantunkan kalimat bernada permohonan maaf.“Ke mana aku harus mengantar kalian?” tanya Ji Hwan kaku.“Ke rumahku,” Brisha lagi-lagi yang menjawab. “Masih ingat alamatnya, kan?”“Masihlah,” balas Ji Hwan.Amara benar-benar iri pada Brisha yang bisa menguasai diri dengan baik dan bersikap santai. Dulu dia pun seperti itu. Karena tahu tak bisa me
Baca selengkapnya
Menyingkap Rahasia [6]
Setelah beberapa saat hanya duduk membatu, akhirnya Amara berhasil juga membulatkan tekad dan keluar dari dalam mobil. Sophie dan Brisha entah berada di mana, tapi Amara menebak mereka berdua ada di kamar temannya. Setahu Amara, Sophie baru sekali ke rumah ini dan nyaris tidak mengenal Brisha. Namun tampaknya apa yang terjadi hari ini sudah menciptakan perbedaan mencolok.Amara sedang berjalan gontai melintasi halaman ketika Brisha muncul di teras. Gadis itu sudah mengganti pakaiannya. Dengan celana pendek nyaris selutut dan kaus longgar, Brisha tetap cantik. Namun semburat warna pucat di wajahnya masih terlihat. Tebakan Amara, itu efek dari pengakuannya tadi. Karena saat mendatangi Brisha, gadis itu sama sekali tak tampak pucat.Amara bertanya, “Sophie mana?”“Ada di kamarku. Ji Hwan sudah pulang?”Amara mengangguk. “Aku minta maaf karena sudah....”Kata-katanya tidak pernah tergenapi karena Brisha sudah memeluk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
29
DMCA.com Protection Status