All Chapters of Wonderstruck: Chapter 131 - Chapter 140
281 Chapters
Menjinakkan Badai [1]
Setelah satu tahun yang terasa begitu panjang, akhirnya Amara kembali ke tempat yang dicintainya, Fakultas Ilmu Komunikasi. Tempat yang diharapkannya mampu menjadi sumber tanpa dasar untuk pengetahuan yang akan membuat benaknya kaya. Sayang, perjalanannya tidak mulus.Dia sungguh tak ingin mengambil cuti kuliah. Amara memaksakan diri tetap datang ke kampus dan belajar seserius mungkin setelah malam mengerikan itu. Dia menendang jauh pengalaman traumatis itu, berlagak seolah tak terjadi apa pun. Namun, siksaannya kian lama kian mengerikan. Amara tak bisa terus berpura-pura. Mimpi buruk yang tak pernah absen menghantui, membuat gadis itu kekurangan waktu istirahat. Berat badannya mulai menyusut.Amara memang mampu menuntaskan perkuliahan di semester dua yang memang tersisa dua bulan lagi. Setelah itu, dia harus fokus pada hal lain. Belum lagi permintaan keluarga agar dia menikah dengan Cello. Mantan sahabatnya itu pun sudah pernah datang bersama keluarganya, meminang Ama
Read more
Menjinakkan Badai [2]
Tak lama kemudian, Reuben mulai mengabsen sambil mengajukan beberapa pertanyaan standar kepada mahasiswanya. Menunjukkan bahwa dia memiliki ketertarikan untuk lebih mengenal orang-orang yang mengikuti kuliahnya. Bagi Amara, itu hal yang menarik.Reuben cukup jangkung. Tebakan Amara, lelaki itu lebih tinggi minimal lima sentimeter dibanding dirinya. Dengan tubuh langsing dan berkulit kecokelatan yang terlihat sehat, lelaki itu tampil rapi. Berhidung lurus, kening lebar, mata yang bersorot tajam, dagu agak runcing, dan bibir yang nyaris selalu tersenyum. Jadi, sangat wajar jika banyak yang suka memandang Reuben.Amara merasakan kemuraman kembali melingkupinya. Sepertinya dia salah duga saat menilai kekuatan mentalnya. Seharusnya dia tak pernah kembali ke bangku kuliah dan mulai serius berusaha mencari pekerjaan saja. Atau membantu ibunya mengelola restoran hamburger. Namun di sisi lain, Amara sungguh ingin menjadi sarjana. Dia juga tak terlalu berminat ikut terjun di res
Read more
Menjinakkan Badai [3]
Sesaat, Amara merasa ada berpasang-pasang mata sedang melihatnya dengan berbagai ekspresi. Mulai dari yang mencemooh, mengasihani, hingga membenci. Namun sekedip kemudian dia tersadar kalau itu cuma kecurigaannya saja.“Ini hari pertama, pasti semuanya terasa berat. Langkah pertama selalu yang paling sulit,” kata Amara dalam hati, menguatkan dirinya sendiri.Setelah mengerjap dua kali dengan cepat, Amara segera menyadari bahwa nyaris tidak ada yang memerhatikannya. Semua orang sibuk mengobrol, menikmati makanan, atau memainkan ponselnya. Sayang, kesadaran itu tak mampu mencegah keringat dingin yang telanjur mengucur di punggungnya.“Kamu akan baik-baik aja, Mara,” kata Ika, seakan paham apa yang berkecamuk di kepala gadis itu.Mereka akhirnya berhasil nyaris mencapai meja kosong yang diincar Amara tadi. Gadis itu bergerak dengan cepat setelah melihat segerombolan mahasiswi sedang melewati pintu masuk kantin. Amara tak ingin harus b
Read more
Menjinakkan Badai [4]
Reuben tiba-tiba tertawa pelan. “Janggal sekali mendengar gadis seusia kalian memanggil saya ‘Bapak’ saat di luar kelas. Bisakah kita mengubah itu?”Amara memandang sekilas ke arah dosennya dengan bimbang. Itu permintaan yang aneh, setidaknya itulah opininya. “Maaf Pak, itu rasanya ...  kurang sopan,” cetusnya kemudian.Sophie tersenyum mendengar kata-kata Amara. “Iya Pak, itu nggak  sopan,” imbuhnya dengan setia kawan.Reuben akhirnya mengangguk dengan senyum masih bertahan di bibirnya. “Oke, saya nggak akan memaksa.”Amara tidak memperhatikan tema obrolan yang membuat Sophie, Ika, dan Reuben betah bertukar kalimat. Pikirannya sedang melayang-layang tak menentu, seakan menjelajah galaksi yang tanpa batas. Ketika akhirnya gadis itu melirik jam tangannya, dia buru-buru berdiri. Ika sempat menatapnya keheranan.“Maaf Pak, saya harus duluan. Sebentar lagi saya harus masuk kela
Read more
Jejak Baru [1]
Jika Amara  pernah mengira bahwa menjadi mahasiswi lagi akan mengembalikan kenormalan dalam hidupnya, tampaknya itu pendapat yang berlebihan. Dia kini benar-benar menyadari bahwa tidak ada lagi hal normal dalam dunia Amara untuk selamanya. Seharusnya dia sudah menyadari itu sejak lama. Amara sudah sangat berubah, hingga nyaris tak menyisakan jejak pribadinya yang lama.Amara yang baru adalah orang yang selalu waspada hingga cenderung paranoid. Jiwanya disesaki oleh terlalu banyak ketakutan dan kecurigaan. Membuat gadis itu tidak lagi bisa benar-benar menikmati indahnya hidup ini. Dia hanya melewati hari demi hari seperti robot, seakan itu cuma menjadi kewajiban yang tak mungkin bisa terelakkan.Saat berada di Puan Derana, semuanya terlihat lebih mudah. Makanya Amara berani memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan kembali menjalani hidupnya seperti dulu. Kembali pada rutinitas yang dikenalnya seumur hidup. Namun, hari pertama kuliah sudah menyadarkan dan membuka mata
Read more
Jejak Baru [2]
Suara Sophie terdengar tulus. Hingga membuat mata Amara mulai terasa panas tanpa bisa dicegah. Menguatkan hati, Amara akhirnya menggeleng. Dia tak berani menatap Sophie.“Nggak ada apa-apa, kok. Aku baik-baik aja,” sahut Amara.“Baguslah kalau begitu. Aku senang kalau kamu memang baik-baik aja, Mara.”Ada satu perkembangan yang terjadi di luar perkiraan Amara. Berkaitan dengan salah satu dosennya, Reuben. Dosen menawan yang lebih tua nyaris delapan tahun dibanding Amara itu menunjukkan perhatian yang tak terduga. Awalnya Amara hanya mengira kebetulan belaka jika Reuben berada di meja yang sama dengan dirinya dan Sophie saat mereka di kantin lebih dari satu kali.Amara mulai curiga saat melihat ada meja kosong dan Reuben tetap memilih untuk bergabung dengan mereka. Reuben seakan tahu kapan saja Amara berada di kantin. Membuat gadis itu mulai bertanya apakah kebiasaannya terlalu kaku hingga mudah ditebak?“Pak Reuben tam
Read more
Jejak Baru [3]
“Sama kalau begitu. Saya juga sendirian. Kamu mencari buku apa?”Reuben maju selangkah dan secara refleks Amara juga mundur. Tangan kanannya mencengkeram tas tanpa disadari.“Saya sudah ... selesai. Ini baru mau pulang....” kata Amara dengan suara tersendat. Dia mulai melihat ke sekeliling dan mencari celah untuk menjauh dari Reuben sesegera mungkin.“Lho, udah kelar?” Reuben melirik jam tangannya. “Kamu ke sini naik apa? Di luar hujan, lho!”Amara menggigit bibir, dengan putus asa mengingat bahwa hari ini dia hanya naik angkutan umum karena mobilnya sedang di bengkel. Suatu kebetulan yang sangat merugikan.“Saya ... naik angkutan umum.” Sedetik kemudian, Amara mengutuki dirinya yang tidak terpikir untuk berdusta. Gadis itu mundur lagi, tapi kemudian menyadari bahwa punggungnya sudah menyentuh rak buku.“Saya antar pulang, ya? Rumah kamu di mana? Atau, kamu mau makan dulu. Say
Read more
Jejak Baru [4]
Pasti tiap anggota keluarga merasa sangat tersiksa, termasuk kakaknya yang tinggal nun jauh di London sana. Akan tetapi, tentu saja yang paling menderita adalah Amara. Pengobatan yang dijalani memang meringankan beban gadis itu. Namun, tampaknya perjalanannya masih sangat panjang. Amara belum mampu bersikap normal saat ada lelaki yang menawari untuk mentraktirnya makan malam dan mengantar pulang.“Mara, apa yang terjadi tadi sore? Kamu bisa cerita sama saya. Apa kamu mau ditemani lagi kayak kemarin-kemarin? Toh saya juga nggak banyak kesibukan di sini.” Ika mendatangi Amara begitu punya kesempatan. Amara yang sedang membaca novel di ranjang, terduduk karena kaget.“Mbak ngagetin aja. Kukira siapa,” sahut Amara sembari memegang dada kirinya yang berdebar kencang.Ika menggumamkan kata maaf sembari duduk di tepi ranjang dengan mata yang dipenuhi kecemasan. Hati Amara mencelus melihat pemandangan itu. Ika mungkin bukan siapa-siapanya. Mereka
Read more
Jejak Baru [5]
“Mara, kalau liburan semester nanti, kamu mau ke mana?” tanya Sophie sore itu. Mereka baru saja keluar dari ruang kelas dan bersiap untuk pulang. Liburan semester memang sudah dekat, hanya berjarak beberapa minggu lagi.“Aku nggak punya rencana ke mana-mana. Kalau kamu?” Amara balik bertanya.“Aku juga. Mungkin kita bisa bikin acara sendiri, Mara. Entah liburan berdua atau cuma ikut kelas apalah untuk ngisi waktu luang. Kelas memasak, misalnyaa.”Amara tak bisa mencegah tawanya pecah. “Aku nggak bisa masak, Soph. Nggak berminat juga.”Ketika hasil kerja kerasnya di semester itu diwujudkan oleh sederet nilai, Amara tidak bisa mengharapkan yang lebih bagus lagi. Trauma dan tragedi boleh saja sudah merusak hidupnya, tapi kecerdasannya masih bertahan. Hanya tiga mata kuliah yang memberinya nilai B, Sisanya A. Termasuk mata kuliah yang dipegang Reuben.Seperti ucapannya pada Sophie, Amara memang tidak ke m
Read more
Medan Magnet? [1]
Amara berdiri dengan perut terasa mulas dan kepala yang berputar. Di antara pandangannya yang berkabut, gadis itu berusaha menegaskan pandangan. Ditatapnya wajah Reuben dengan sungguh-sungguh. Mencari apa pun yang bisa mengindikasikan jika lelaki itu cuma sedang iseng.Reuben ikut berdiri, menjulang di depan Amara. Wajahnya tampak serius dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang diinginkan Amara. Gadis itu merasakan darahnya seolah membeku. Hawa dingin menyelimuti punggungnya.“Bapak barusan bilang apa?” Amara menolak untuk memercayai indera-inderanya. Juga melupakan janjinya agar mengubah panggilannya pada Reuben.“Saya menyukaimu, Amara,” balas Reuben dengan tenang. “Kenapa? Apa itu jadi masalah serius? Jangan bilang kalau kamu merasa canggung hanya karena saya pernah menjadi dosenmu. Atau....”Amara menggeleng cepat hingga lehernya terasa nyeri. “Bukan masalah itu. Saya  nggak peduli siapa Bapak k
Read more
PREV
1
...
1213141516
...
29
DMCA.com Protection Status