All Chapters of Cinta CEO dalam Jebakan: Chapter 291 - Chapter 300
356 Chapters
S2| 140. Kemunculan No Name
Tiga menit sebelumnya, Herbert menyambut tangan sang menantu dengan senyum semringah. Sorot matanya tidak lagi tegas, melainkan hangat. “Terima kasih, Mia. Kau berhasil membuatku merasa muda lagi,” gumam pria tua itu, sontak mengundang tawa kecil dari sang pengantin. “Papa memang masih muda. Lihatlah! Gerakan dansa Papa bahkan lebih luwes dariku,” timpal wanita bergaun putih itu sembari menyelipkan keyakinan di bawah alis. “Lebih muda dari Tuan Hunt, maksudmu?” gurau sang mertua, lagi-lagi memancing keceriaan dari mulut menantunya. Selang satu embusan napas ringan, Herbert menggeleng samar. “Kau tidak perlu menghiburku, Mia. Aku sadar bahwa umurku sudah tidak lagi muda. Cucuku saja ... sebentar lagi bertambah menjadi dua.” Belum sempat sang menantu menimpali, pria tua itu telah menghela napas berat. “Aku semakin tidak sabar ingin berjumpa dengannya. Akhir-akhir ini, aku sering menerka-nerka seperti apa wajahnya. Apakah dia mirip denganmu ... atau Juli
Read more
S2| 141. Kecupan Selamat Tidur
Seketika, suasana mendadak hening. Hanya tangisan Cayden yang menggetarkan udara. Meski matanya menghadap sang ibu dan telinganya dijepit oleh pundak dan telapak tangan sang ayah, bayi mungil itu mampu merasakan ketakutan yang begitu kental. Menyadari kesunyian itu, Sharp Knife pun merapatkan kembali jubahnya yang baru saja kehilangan satu senjata. Dengan tampang tanpa dosa, ia memperhatikan wajah orang-orang yang terbelalak menatapnya, termasuk wanita kurus bergaun hitam yang tak menyangka bosnya akan berakhir mengenaskan. “Kenapa? Aku sudah memberinya kesempatan untuk tetap hidup, tapi dia menolak. No Name sendiri yang memilih mati,” ujarnya ringan. “Kau membunuhnya,” timpal seorang polisi yang merasa pistolnya tidak berguna. “Karena aku tahu kalian tidak akan berani melakukannya,” celetuk Sharp Knife sembari menunjuk pria yang terbaring dengan sebilah pisau menancap di matanya. “Kalau bukan No Name, maka Mia yang akan berada di posisinya. Kalian le
Read more
S2| 142. Hampa
Setibanya di rumah Herbert, seorang bayi berjas hitam langsung berlari masuk. Begitu melewati pintu, ia mengangkat kedua tangan dan berseru, “Boo!” Sedetik kemudian, Cayden hanya mendapati ruang kosong. Namun, bukannya menampakkan kesedihan, ia malah tertawa kecil dan mempercepat langkah. Pangeran Kecil mengira bahwa sang kakek sedang menunggu di ruang tengah. Bayi lugu itu tidak mengerti bahwa Herbert tidak akan bisa menyambutnya lagi. Dengan penuh semangat, ia melaju dan mengulangi kejutan. “Boo!” Menyadari sang kakek juga tidak berada di sana, alis Pangeran Kecil sontak terangkat. Kebingungan mulai menggeser semangatnya. Sambil berkedip lambat, Cayden berputar menghadap orang tuanya. “Em ... pa?” Mendengar pertanyaan yang penuh kerinduan, Max dan Gabriella sontak saling menatap. Setelah membaca kesedihan yang sama, sang wanita pun mendesah samar. Sambil menahan duka di balik kerut alis, ia berlutut menghadap putranya. “Grandpa sudah tidak b
Read more
S2| 143. Hadiah Terakhir
Sambil berusaha menaklukkan gemuruh dalam dada, Julian meraih kotak yang bertuliskan namanya. Sebuah kartu ucapan tergantung pada pita merah. Setelah menyingkirkan air mata agar tidak menghalangi pandangan, ia membuka lipatan kertas itu dan mengamati goresan tinta yang memperdalam kerinduan. “Musim dingin akan segera tiba. Pastikan diri kalian tetap hangat. Setiap mengenakan ini, anggap aku sedang mendekap kalian dengan penuh cinta.” Usai membaca pesan singkat itu, kesedihan semakin membanjiri mata Julian. Sambil terisak dan terpejam, ia merengkuh kotak itu seerat keinginannya untuk tetap bersama dengan sang ayah. Malangnya, sekuat apa pun ia memanggil, Herbert tidak akan pernah menjawab. “Julian, berhentilah .... Kau bisa membuat Cayden ikut menangis,” bujuk Mia sembari mengusap wajah pria yang telah kehilangan akal sehat. Alih-alih mereda, tangisan Julian malah bertambah kencang. Pria itu masih tidak percaya bahwa sang ayah telah pergi. Ia mengira,
Read more
S2| 144. Surat Wasiat
“Surat wasiat?” desah Julian dengan alis terangkat penuh tanya. “Apakah ini tidak terlalu cepat? Ayah kami baru saja meninggal,” ujar Max, menjelaskan keterkejutan sang kakak. Sambil tersenyum bijak, sang notaris menggeleng lambat. “Daripada bersedih mengenang kepergiannya, kalian lebih baik berbahagia memikirkan hartanya yang jatuh ke tangan kalian.” “Tapi kami tidak seperti itu,” desah Gabriella dengan alis tak senang. Nyawa mertuanya tentu jauh lebih berharga dibandingkan warisan. Alih-alih merasa bersalah, pria berdasi biru itu malah menaikkan sudut bibirnya. “Maaf, Nyonya. Itu adalah baris pertama dalam surat wasiatnya.” Seketika, mata dan mulut sang wanita membulat. “Oh, maaf,” gumamnya disertai ringisan. “Tidak masalah,” sahut pria berbadan gempal itu sebelum berbalik menghadap pelayan. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan sekeping CD dari balik jas dan menyodorkannya. “Bisakah kalian membantu saya memutar video ini?” Dalam
Read more
S2| 145. Senyum Terbaik
Usai melihat anggukan polos dari suaminya, Mia menelan ludah. “Apa yang harus kulakukan dengan emas sebanyak itu? Haruskah kusumbangkan sebagian?” Tanpa sadar, Julian mengulum senyum mendengar gumaman sang istri. “Kau boleh melakukan apa saja yang kau inginkan, Mia. Emas itu sudah menjadi milikmu.” Sambil meringis kecil, sang wanita menyembunyikan ketidaknyamanan. Ia merasa bahwa dirinya tidak pantas mendapat warisan sebanyak itu. “Untuk Max yang selalu menolak apa pun yang kuberikan ...” ucap Herbert tiba-tiba bersemangat, sukses menyita perhatian dari orang-orang yang mendengar rekamannya. “Kau tahu kalau Quebracha bukanlah satu-satunya perusahaan tempat aku berinvestasi, bukan? Karena itu, uruslah saham-sahamku yang lain.” Helaan napas tak percaya sontak terlepas dari mulut Max. “Padahal, aku menolak Quebracha karena ingin fokus dengan usahaku. Sekarang, bagaimana caranya aku fokus jika menjadi pemegang saham terbesar di 19 perusahaan?” “Se
Read more
S2| 146. Memupuk Harapan
“Kau salah, Julian. Aku sangat gembira bisa tinggal bersamamu dan juga sangat bahagia masuk ke rumah ini sebagai istrimu. Ini seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan. Tapi ...,” ucap Mia sebelum mengubah senyumnya menjadi kecut, “kita tidak mungkin tertawa dan menari-nari, bukan?” “Itulah maksudku. Aku sudah gagal memastikan keamanan pernikahan kita. Jika saja Papa masih hidup, kebahagiaan kita pasti akan sempurna,” sesal Julian dengan raut kusut. Tak ingin sang suami terus memikul beban, sang wanita pun menyentak ringan tangan yang menggenggamnya. “Sadarlah, Julian. Ini bukan kesalahanmu,” ujarnya lembut. “Kita tidak bisa melawan takdir. Jadi, singkirkan penyesalanmu. Jangan membuat Papa tidak tenang di atas sana.” Dari bawah kerut alisnya, sang pria melukiskan kekecewaan. “Tapi, aku sangat ingin membuat istriku bahagia,” tuturnya lirih. “Aku bahagia,” tegas Mia diiringi anggukan meyakinkan. Sedetik kemudian, wanita itu tertunduk menatap jemari me
Read more
S2| 147. Berubah
“Ya, dua orang inilah yang dulu menghinaku,” sahut Mia, membuat lutut karyawan yang pernah menghinanya bergetar hebat. “Gawat! Bagaimana ini? Aku tidak mau dipecat dari Quebracha,” pikir si wanita berbibir tipis sambil meringis. “Ck, apa yang kulakukan untuk menyelamatkan karierku? Haruskah aku meminta maaf?” pikir karyawan lain yang berambut lebih panjang. Mengetahui kecurigaannya benar, Lena sontak menatap karyawan yang berdiri di pojok lift dengan tatapan sinis. “Jahat sekali!” gumam pelayan muda itu dengan kerut alis tak senang. “Apakah mereka pikir, diri mereka sudah sempurna? Mereka bahkan tidak lebih cantik dariku.” Mendengar gumaman Lena, Mia hampir tertawa. Namun, demi menjaga citranya, ia mempertahankan tampang datar. “Lalu, apa yang akan Anda lakukan terhadap mereka, Nyonya? Apakah Tuan Julian sudah tahu tentang hal ini?” tanya pelayan muda yang tidak lagi berbisik. “Entahlah ...” sahut sang sekretaris dengan nada ragu. “Aku
Read more
S2| 148. Maafkan Aku
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Mia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Apakah kau meragukan kesetiaanku?” Mendengar suara yang digetarkan oleh kesedihan, Julian pun tersentak. Ia baru sadar bahwa bibirnya baru saja melontarkan sesuatu yang tidak pantas. Namun, belum sempat ia memperbaiki kesalahan, sang istri sudah lebih dulu beranjak dari kursi. “Mia ... tunggu dulu.” Secepat kilat, sang pria menahan lengan istrinya. “Maaf ..., aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.” “Kau baru saja mempertanyakan kesetiaanku, Julian,” tegas wanita hampir menumpahkan air mata. Dada dan kerongkongannya kini panas oleh kekecewaan. “Kita baru menikah selama dua bulan, tapi kau sudah tidak lagi percaya padaku.” Sambil melukiskan penyesalan lewat guratan dahi, sang pria menggeleng cepat. “Bukan begitu maksudku,” erangnya lirih. “Tapi itulah yang kutangkap dengan kedua telingaku!” Khawatir akan kehilangan cinta Mia, Julian pun mendekap wanit
Read more
S2| 149. Hasil USG
“Apa kau gugup?” bisik Julian sebelum mengecup kepala wanita yang berjalan di sisinya. Meski jantungnya berdebar, sebisa mungkin pria itu memasang raut santai. Sambil tersenyum tipis, Mia menggeleng. “Tidak. Usia kehamilanku baru 14 minggu, Julian. Dokter mengatakan kalau jenis kelamin bayi memang sudah bisa dilihat, tapi belum jelas. Kemungkinan salahnya masih besar.” “Tapi, kau pasti berharap kalau ini adalah Putri Kecil, bukan?” tanya sang pria sembari mengelus perut sang istri. Malu dilihat oleh pengunjung rumah sakit yang lain, Mia sontak mendesah samar dan tertunduk. Lewat sudut mata yang terbatas, ia membalas tatapan suaminya. “Kau tahu? Ibu berulang kali menasihatiku agar tidak terlalu berharap.” “Tapi, kau tetap berharap?” terka Julian sambil menaikkan sebelah alis. Seraya mengerutkan senyum, si wanita hamil mengangguk. “Aku tidak ingin nama dan hadiah pemberian Papa sia-sia,” terangnya pelan. Memahami perasaan sang istri, Jul
Read more
PREV
1
...
2829303132
...
36
DMCA.com Protection Status