“Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Mia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Apakah kau meragukan kesetiaanku?”
Mendengar suara yang digetarkan oleh kesedihan, Julian pun tersentak. Ia baru sadar bahwa bibirnya baru saja melontarkan sesuatu yang tidak pantas. Namun, belum sempat ia memperbaiki kesalahan, sang istri sudah lebih dulu beranjak dari kursi.
“Mia ... tunggu dulu.” Secepat kilat, sang pria menahan lengan istrinya. “Maaf ..., aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.”
“Kau baru saja mempertanyakan kesetiaanku, Julian,” tegas wanita hampir menumpahkan air mata. Dada dan kerongkongannya kini panas oleh kekecewaan. “Kita baru menikah selama dua bulan, tapi kau sudah tidak lagi percaya padaku.”
Sambil melukiskan penyesalan lewat guratan dahi, sang pria menggeleng cepat. “Bukan begitu maksudku,” erangnya lirih.
“Tapi itulah yang kutangkap dengan kedua telingaku!”
Khawatir akan kehilangan cinta Mia, Julian pun mendekap wanit
“Apa kau gugup?” bisik Julian sebelum mengecup kepala wanita yang berjalan di sisinya. Meski jantungnya berdebar, sebisa mungkin pria itu memasang raut santai. Sambil tersenyum tipis, Mia menggeleng. “Tidak. Usia kehamilanku baru 14 minggu, Julian. Dokter mengatakan kalau jenis kelamin bayi memang sudah bisa dilihat, tapi belum jelas. Kemungkinan salahnya masih besar.” “Tapi, kau pasti berharap kalau ini adalah Putri Kecil, bukan?” tanya sang pria sembari mengelus perut sang istri. Malu dilihat oleh pengunjung rumah sakit yang lain, Mia sontak mendesah samar dan tertunduk. Lewat sudut mata yang terbatas, ia membalas tatapan suaminya. “Kau tahu? Ibu berulang kali menasihatiku agar tidak terlalu berharap.” “Tapi, kau tetap berharap?” terka Julian sambil menaikkan sebelah alis. Seraya mengerutkan senyum, si wanita hamil mengangguk. “Aku tidak ingin nama dan hadiah pemberian Papa sia-sia,” terangnya pelan. Memahami perasaan sang istri, Jul
“Lalu, kalau anak kita ini laki-laki, nama apa yang cocok untuknya?” tanya Mia seraya mengusap perut, mencoba untuk mengobati rasa bersalah pada si Kecil. Ia merasa tidak adil karena telah memaksakan keadaan. Harapan untuk mendapat bayi perempuan harus segera diruntuhkan.Mendapat pertanyaan yang tak terduga itu, bola mata Julian otomatis berputar ke atas. Selang keheningan sejenak, ia bergumam. “Bagaimana kalau kita mengadopsi ide dari Papa? Grace ... Gracedo? Gracello? Grazello?”Tawa yang lebih lepas spontan mengudara dari mulut Mia. “Itu terdengar unik, Julian. Kau memang kreatif dalam membuat nama,” ledek wanita itu.“Itu memang bukan perkara mudah, Mia. Kau saja masih belum menemukan panggilan sayang untukku,” gerutu sang pria sambil memasang tampang cemberut.Setelah meredakan suara keceriaan, sang wanita mendesah samar. “Tentang hal itu .... Sepertinya, aku sudah nyaman memanggilmu Julian saja.
“Julian, bagaimana kalau kita menunda momen romantis ini dan menunggu Pangeran Kecil datang. Aku tidak ingin menjadi tontonan,” bisik Mia disertai dengan senyum canggung.“Kenapa tidak? Kita sudah menjadi suami istri yang sah. Wajar saja jika aku bersikap romantis kepadamu,” sanggah Julian sambil ikut mengamati sekitar. “Padahal, sewaktu di Switzerland, ada lebih banyak mata yang melihat. Tapi, kau tidak keberatan.”“Itu karena di sana tidak ada ayah dan ibuku, dan kita tidak kenal dengan turis-turis di sana,” jawab Mia tanpa menggerakkan bibir. Wanita itu tidak sadar bahwa pipinya telah memerah.Alih-alih mengerti, sang suami malah mengerutkan alis. “Tapi, ayah dan ibumu juga ada di acara pernikahan kita. Waktu itu, kau tidak mempermasalahkan keromantisan kita,” timpal Julian sambil mengganjal alis dengan kebingungan.“Itu pernikahan kita, Julian, momen spesial untuk kita berdua. Tapi saat
Tiba-tiba, sang CEO berdecak kesal. “Aku jadi semakin bersalah telah menyia-nyiakan dua bulan terakhir,” gerutunya sebelum melepas kekesalan ke udara. “Tidak ada yang sia-sia, Julian. Bukankah kau sudah berhasil membuat banyak kemajuan? Ambil sisi positifnya saja,” timpal Max seraya menepuk pundak sang kakak. Mendapat nasihat sederhana semacam itu, Julian sontak tertawa. “Kau tahu? Aku baru saja merasa kalau ini pertama kalinya kau menghiburku dengan tulus.” Sedetik kemudian, Max mendengus. “Aku selalu tulus, Kakak,” tuturnya sambil memberi penekanan pada kata terakhir. “Kau saja yang tidak pernah melihatnya.” “Ya, kau selalu menutupi itu dengan gaya bercandamu,” balas Julian, melempar balik kekaguman kepada sang adikn. “Apakah kau tahu? Ini pertama kalinya kau mau mengakui hal itu tanpa malu-malu,” ujar Max seraya menyipitkan mata dan mengacungkan telunjuk. Menyaksikan kemesraan Julian dan Max, Gabriella diam-diam mengulum senyum. Ia
“Amber?” desah Mia, tak menyangka jika mantan kekasih suaminya itu berani bergabung dalam percakapan mereka. “Tidak perlu terkejut begitu, Mia. Kau membuatku merasa tidak layak berada di sini” gerutu sang tamu seraya mengerutkan alis. Tak ingin wanita bergaun cokelat muda itu tersinggung, Mia sontak menggelengkan kepala dan melambaikan tangan. “Bukan begitu. Tentu saja Anda pantas berada di sini. Kau adalah teman kami,” ucapnya dengan mata lebar. “Begitukah?” timpal Amber seraya memiringkan kepala. Sedetik kemudian, senyum manis terukir di wajahnya. “Terima kasih karena telah menganggapku sebagai teman.” Selang keheningan sesaat, wanita itu mengalihkan pandangan kepada sang kepala pelayan. Dalam sekejap, sorot matanya berubah lebih hangat. “Maaf telah memotong pembicaraan Bibi. Tapi, bolehkah aku berbicara dengan Mia dan Julian? Aku tidak bisa berlama-lama di acara ini.” Tak menduga akan mendengar ucapan sopan dari seorang Amber Lim, Minnie sp
“Apakah kau sedih karena ditinggal oleh teman-temanmu?” tanya Julian kepada wanita yang berjalan lambat di sampingnya. “Ya. Kemarin Amber sudah berangkat dan hari ini Gaby sekeluarga. Satu-satunya teman yang tersisa hanyalah model yang super sibuk itu. Kau tahu? Dia kebanjiran proyek sejak digosipkan denganmu,” sahut Mia seraya melirik ke arah sang suami dengan ekspresi datar. “Apakah saya bukan teman Anda, Nyonya?” sela seorang pelayan muda yang memunculkan kepala dari balik pundak sang majikan. Melihat mata bulat yang memancarkan kekecewaan, Mia sontak mengembuskan tawa. “Tentu saja kau temanku, Lena. Kalau tidak ada dirimu, aku pasti semakin kesepian, apalagi saat Julian sedang menghadiri rapat bersama Alice.” Mendapat jawaban yang melegakan, raut wajah sang pelayan seketika kembali cerah. “Saya juga kesepian jika tidak ada Nyonya. Kalau Anda sedang berduaan dengan Tuan, saya hanya ditemani oleh ponsel.” “Bukankah kau memiliki banyak teman
“Apakah Anda gugup, Nyonya?” tanya sang dokter dengan tatapan fokus pada layar di hadapannya.Berbeda dengan sebelumnya, Mia kini dapat menggeleng tanpa beban. “Tidak, Dok. Kami sudah sepakat untuk tetap bersemangat apa pun hasilnya.”Dengan lengkung bibir semringah, wanita berjas putih mengangguk. “Baiklah ..., kalau begitu, mari kita lihat,” gumamnya seraya mempertajam fokus.Tanpa mengucap apa-apa, Julian menggenggam tangan Mia lebih erat. Begitu sang istri menoleh, pria itu hanya mengembuskan napas cepat.“Apakah kau gugup?” bisik si wanita hamil dengan alis terangkat tak percaya.“Entah kenapa, jantungku berdebar sangat cepat,” sahut sang pria dengan volume suara yang sama. “Mungkin karena terlalu senang. Ini anak pertama kita.”Sambil mendesahkan tawa samar, Mia mengelus tangan sang suami dengan ibu jari. Setelah mendekatkan bibir ke telinga pria di sampingnya, wan
“Juyan? Miya?” sahut sang bayi dengan suara kecil yang melengking. Mendapat respon yang sangat menggemaskan, si wanita hamil sontak melepas tawa. “Apa kabar, Cayden?” “Fine ...” jawab Pangeran Kecil sembari mengangguk hingga hampir membentur kamera. Mendengar kemajuan bicara sang bayi, Julian otomatis mendesah. “Astaga, keponakanku sungguh pintar.” Merasa dirinya dipuji, Cayden otomatis tertawa. Dengan kedua tangan memegang ponsel, ia tidak bisa menutupi deretan gigi mungil yang menambah kesan lucu pada dirinya. “Di mana Mama dan Papa-mu, Pangeran Kecil?” tanya Mia sembari mengangkat alis. Ia bingung karena Gabriella tak kunjung mengambil alih ponsel dari sang bayi. Bukankah Cayden dilarang menatap layar yang menyala tanpa pengawasan demi menjaga kesehatan mata? “Mama Papa piping,” jawab sang bayi seraya melihat ke arah lain. Mendapat jawaban yang kurang jelas, Julian sontak bertatapan dengan istrinya. “Apa katan