Semua Bab Cinta CEO dalam Jebakan: Bab 311 - Bab 320
356 Bab
S2| 160. Hinaan dalam Lift
“Siapa itu, Nyonya?” bisik Lena, penasaran dengan ponsel Mia yang baru saja berdering. “Gabriella,” sahut sang wanita sambil mengangkat alis. Seketika, si pelayan muda menyedot udara dari mulutnya. “Apakah mereka diam-diam sudah kembali?” desahnya penuh harap. Sembari menaikkan bahu singkat, Mia menerima panggilan. Ia tidak ingin terlalu berharap. “Ada apa, Gaby?” sapanya ramah. “Mia, apakah kau sedang di kantor?” tanya wanita dari seberang ponsel dengan nada ceria. “Ya. Kami baru saja kembali dari membeli makan siang. Jadi, kenapa kau menelepon di jam ini? Bukankah di sana sudah hampir tengah malam?” selidik si wanita berperut buncit sambil melirik ke arah pelayan yang menanti kabar darinya. Tiba-tiba saja, suara tawa Gabriella terdengar renyah. “Tengah malam? Di sini matahari sedang terik. Cayden bahkan senang masih sempat melihat bunga-bunga musim ini.” Dalam sekejap, helaan napas lega berembus dari mulut si wanita hamil. “T
Baca selengkapnya
S2| 161. Jangan Menghina Orang Lain
“N-nyonya Evans?” desah wanita yang mendadak pucat. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Apakah kau yakin bahwa kinerjamu bagus?” tanya Mia dengan nada menantang. Semua yang mendengar suara lantangnya spontan menelan ludah. Mereka belum pernah melihat Nona Sekretaris segarang itu. Bukankah Mia Sanders adalah wanita pendiam yang anggun? Apakah semenjak mengganti nama menjadi Mia Evans, wanita itu tertular kegalakan sang CEO? “T-tentu saja, Nyonya. Saya tidak pernah mendengar keluhan dari atasan ataupun mendapat teguran. Semua tugas selalu saya kerjakan tepat waktu dengan hasil yang memuaskan,” jawab wanita yang mendadak ciut. Dagunya sudah tidak menantang langit, sementara pundaknya turun terbebani kekhawatiran. Tanpa mengubah sorot mata tajamnya, Mia menggeser pandangan menuju karyawan yang berambut lebih panjang. “Apakah yang dia katakan benar? Belum pernah ada yang menegurnya?” Sambil meringis, wanita yang bergeser menjauhi rekannya
Baca selengkapnya
S2| 162. Rasanya Sakit Sekali
“Apa yang tadi kalian diskusikan, Julian? Kenapa wajah Alice masam begitu?” tanya Mia dengan senyum yang dipaksakan. Sang suami tidak boleh tahu bahwa ia sedang tidak nyaman dengan tekanan dalam perutnya. Mendapat pertanyaan semacam itu, Julian cepat-cepat mengalihkan tatapan dari tablet dan memasang tampang lugu. “Aku tidak memarahinya—hanya memberi saran untuk bekerja sedikit lebih teliti,” jawabnya datar. Sambil berjalan menuju meja sang suami, Mia menaikkan alis. “Bukankah Alice sudah banyak berkembang? Kerjanya jauh lebih cepat dan rapi.” “Ya, tapi masih belum cukup teliti. Masih ada berkas yang tidak dia susun sesuai dengan skala prioritas,” sahut sang CEO seraya beranjak dari kursi. Setelah mengitari meja, ia mendaratkan kecupan hangat di kening Mia. “Jadi, apa yang kau beli untuk siang ini?” Sembari menekan pinggang, si wanita hamil melirik ke samping. Tanpa aba-aba, Lena menunjukkan isi tentengan. “Kami membeli roti lapis,” ujar Mia s
Baca selengkapnya
S2| 163. Grace Evans
“Bagaimana detak jantung janin?” tanya sang dokter dengan alis berkerut. “Masih aman, Dok.” Selang satu kedipan, wanita berpakaian hijau itu mempertemukan pandangan dengan wanita yang sudah sangat pucat. “Apakah Anda masih kuat, Nyonya?” Di sela desah yang tak beraturan, Mia mengangguk lemah. “Ya.” “Kalau begitu, mari kita coba sekali lagi. Kali ini, kerahkan seluruh tenaga Anda,” ujar sang dokter diiringi anggukan meyakinkan. “Anda pasti bisa.” Selagi si petugas medis kembali duduk di kursi, Julian membelai rambut sang istri yang telah basah oleh keringat. Mata pria yang juga berpakaian hijau itu telah terlapisi air mata. “Ayo, Mia. Aku tahu kau kuat. Putri Kecil sudah tidak sabar ingin bertemu kita.” Sedetik kemudian, Mia menjawab lewat gerak kepala. Ia harus menghemat energi untuk bisa mengeluarkan bayi yang terus menekan panggulnya. “Mulai atur napas lagi,” tutur sang dokter, mengeratkan kepalan tangan pasiennya. “Tarik nap
Baca selengkapnya
S2| 164. Dua Evans Muda
“Grace memiliki mata yang sangat indah, Julian,” desah Mia kagum. Sebelumnya, ia menduga bahwa sang bayi akan bermata gelap seperti dirinya. “Tunggulah sampai warnanya berubah menjadi hazel. Kau akan semakin terpukau,” gumam sang pria sambil tersenyum simpul. “Kau sedang memuji Putri Kecil atau dirimu sendiri?” selidik wanita yang kini menyipitkan mata. Setelah tertawa ringan, Julian kembali mengecup kepala istrinya. “Aku tidak mengatakan kalau Grace mewarisi mataku.” “Kau menyatakannya secara tersirat,” protes Mia sebelum mengembalikan fokus kepada putrinya. Selang satu tarikan napas panjang, lengkung bibir wanita itu kembali melebar. “Tapi aku senang Putri Kecil memiliki warna mata yang sama denganmu.” “Kenapa?” tanya sang pria sembari meninggikan alis. “Warna hazel selalu berhasil mencuri hatiku,” sahut Mia, sukses mengundang desah tawa suaminya. Tanpa mereka ketahui, tiga orang yang mengintip ikut tersenyum. Tak ingin mengg
Baca selengkapnya
S2| 165. Cayden dan Grace (TAMAT)
“Kenapa kau menatap Grace seperti itu, Pangeran Kecil?” tanya wanita yang tidak bisa berhenti tersenyum. Wajah putranya terlalu menggemaskan dengan mata bulat yang berbinar dan mulut mungil yang terbuka tanpa kata.Selang satu kedipan, Cayden akhirnya mengalihkan pandangan dari sepupunya. Kini, kedua alis bayi laki-laki itu terangkat penuh semangat di hadapan sang ibu yang juga duduk di tepi kasur.“Ace kecil,” bisiknya, seolah takut membangunkan sang adik.Mendengar pernyataan itu lagi, Gabriella sontak mendesahkan senyum. “Ya, Grace kecil karena dia baru berumur satu minggu. Karena itu pula, kau harus menjaganya dengan baik. Mengerti?”Masih dengan ekspresi yang sama, Cayden kembali menjatuhkan mata pada bayi yang mengenakan baju putih bermotif bunga-bunga dan matahari. Selang keheningan sejenak, ia tiba-tiba tertawa kecil.Menyaksikan keceriaan yang begitu mendadak, Mia sontak melengkungkan bibir dan mengerutk
Baca selengkapnya
Extra Chapter 1. Kegembiraan di Maldives
Cayden tertawa cekikikan ketika berhasil lolos dari tangkapan Max. Bayi mungil itu tidak peduli dengan wajahnya yang memerah ataupun keringat yang mengucur dari sela anak rambutnya. Ia hanya ingin terus berlari, membiarkan butiran pasir menggelitik telapak kaki. Selagi angin membawa aroma laut yang melekat pada kulit, Pangeran Kecil tidak akan bosan menggetarkan udara dengan keceriaan. “Cacacaca!” pekiknya mengalahkan deburan ombak. Mendengar seruan gembira itu, seorang wanita berpakaian tipis yang sedang duduk di atas tikar pun ikut tertawa. Ia senang menyaksikan semangat putranya yang tak pernah padam. “Pangeran Kecil, kemarilah! Saatnya menambahkan sunscreen di kulitmu,” seru Gabriella, sukses mengubah arah laju sang bayi. Selang beberapa saat, Cayden akhirnya berhenti menggerakkan kaki-kaki kecilnya dan membenamkan diri ke dalam pelukan sang ibu. Menyaksikan hal itu, Max langsung menjatuhkan diri ke sisi sang istri. Sambil berselonjor, ia
Baca selengkapnya
Extra Chapter 2. Rumah Baru Cayden
“Woah!” desah Cayden saat menapakkan kaki di rumah kedua. Itulah pengalaman pertamanya memasuki bangunan berdinding transparan dengan pemandangan laut lepas. Sambil tersenyum lebar, bayi mungil itu melangkah cepat menuju salah satu sudut ruangan. Setelah menempelkan telapak tangan dan jidat ke kaca, ia mengamati nuansa biru yang sangat berbeda dengan tempat asalnya. “Kurasa, keputusanmu untuk menginap di hotel terlebih dahulu sangatlah tepat, Max. Jika kita langsung datang ke sini dalam keadaan jetlag, Pangeran Kecil tidak akan seantusias ini,” bisik Gabriella seraya menyandarkan kepala pada pundak suaminya. “Aku selalu menginginkan yang terbaik untuk kalian, Gaby,” sahut sang pria seraya menggosok lengan istrinya dan meninggikan sudut bibir. Selang satu helaan napas, sang wanita mendongakkan wajah dan menunjukkan ekspresi penuh cinta. “Kau tahu? Aku juga senang karena kau sudah menyewa seseorang untuk membersihkan rumah ini sebelum kita data
Baca selengkapnya
Extra Chapter 3. Membuat Anak Perempuan
Begitu melihat sang istri berjalan menghampiri, Max spontan mengangkat tangan dari laptop. Dengan mata lebar, ia memutar kursi hingga menghadap wanita yang hanya mengenakan sehelai gaun tipis itu. “Apakah Cayden sudah tidur?” bisiknya dengan alis tersangga semangat. “Sudah, tapi di kasur. Dia tidak mau tidur di boksnya,” jawab Gabriella seraya menempatkan diri di pangkuan sang suami. Dengan bibir yang agak mengerucut, ia mengamati desain yang terpampang pada layar. “Apakah pekerjaanmu masih belum selesai?” “Sedikit lagi, tapi aku bisa menyelesaikannya besok pagi,” sahut Max cepat. Sedetik kemudian, tangannya mulai menjelajah. “Jadi, apakah kita bisa mulai sekarang?” tanyanya dengan nada rendah dan agak mendesah. Mengetahui bahwa sang suami sudah tak sabar, Gabriella meruncingkan telunjuk ke arah laptop. “Apakah kau yakin tidak ingin menyelesaikannya lebih dulu? Bukankah kau harus mempresentasikan desain ini saat bertemu dengan klien besok?” “A
Baca selengkapnya
Extra Chapter 4. Tertangkap Basah
“Apakah kau mendengar yang barusan kudengar?” tanya pria yang mengira bahwa dirinya berhalusinasi. “Suara Pangeran Kecil?” bisik wanita yang juga terbelalak meski pandangannya remang-remang. “Tapi dia sudah tertidur pulas tadi.” Selang satu kedipan, Max kembali mendesah. “Haruskah kita memeriksanya? Bisa saja, dia terbangun karena teriakanmu tadi.” “Tapi aku tidak berteriak sekencang itu,” celetuk Gabriella, malu mengakui kecerobohannya. “Pekikanmu nyaring, Gaby. Pangeran Kecil bisa saja terbangun,” tutur sang pria meyakinkan. Ia tidak mau jika keegoisan mereka menggeser Cayden dari puncak prioritas. Sadar bahwa ucapan sang suami memang benar, sang wanita akhirnya membetulkan gaunnya yang tersingkap. “Kalau begitu, kita sudahi saja,” ujarnya dengan nada kecewa. Selagi ia mulai beranjak, Max pun memerintahkan lampu untuk menyala. “Lights on!” Begitu ruangan kembali diwarnai oleh cahaya, Gabriella sontak terkesiap. Cayden sedang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
3031323334
...
36
DMCA.com Protection Status