Semua Bab Ketika Kamu Menjadi Aku: Bab 81 - Bab 90
125 Bab
80. Mengapa?
Adit telah mendapatkan info dari seseorang di kantor bahwa hari ini Noah datang bersamaan dengan Malik. Anak yang selama ini dikira sudah mati bersamaan dengan orang tua dan saudaranya ternyata masih hidup. Sepertinya, jika melirik dari kedatangan Malik, keluarga Setiawan diam-diam membesarkan Noah sendiri. Tentu saja Adit senang mengetahui ada lagi anak dari sahabat lamanya yang hidup, tapi di lain sisi pun dia tak bisa tenang dengan kenyataan tersebut. Kenapa harus seorang Malik Dwi Setawan yang merawat anak tersebut? Sudah menjadi kisah lama bahwa Kusuma menjadi rival yang kuat bagi Setiawan dan begitu juga sebaliknya. Kedua keluarga itu tak bisa harmonis hingga keturunan saat ini--jelas sekarang pun Raden masih tak menyukai Malik meski menikah dengan putrinya. Tak ada alasan bagi Malik untuk merawat Noah, terlebih membesarkan dengan uang yang tak sedikit. Lebih mudah bagi mereka untuk langsung membunuh Noah saat itu juga, tapi kenapa malah terjadi sebaliknya?
Baca selengkapnya
81. Pertimbangan
Kedatangan Noah yang bak baru saja bangkit dari kubur telah mengejutkan orang. Para pencari informasi terkini juga telah menjadikan kejadian tesebut sebagai headline dari berita-berita tersanter. Hanya orang-orang yang jarang mengikuti dunia bisnis yang tak mengetahui hal tersebut, salah satunya adalah Anna. Karena berita bisnis dianggap terlalu membosankan, dia hanya membuka ketika ingin tahu sesuatu mengenai pekerjaan Raden. Selain itu, dia tak akan membuka atau menilik satu berita pun. Di tempat kejadian langsung, para dewan komisaris yang terkumpul telah mendapatkan fotokopi ijazah pendidikan, riwayat pekerjaan, surat warisan, dan dokumen lain yang mendukung pernyataan darah Kusuma si tangan ajaib mengalir di dalamnya. Tidak kalah dengan Raden, Noah telah menjalani pendidikan di universitas luar negeri ternama. Gelar yang ia dapatkan tentu tak bisa diremehkan. Apalagi dia mendapatkan pekerjaan dan jabatan yang sangat baik meski tidak mengandalkan na
Baca selengkapnya
82. Pengkhianat
Sudah dua jam wanita itu terus mondar-mandir di lorong rumah. Dengan wajah khawatir yang enggan diperbaiki, dia memikirkan pokok pikiran yang sama melulu. Semua pekerja di rumah juga mengkhawatirkan Anna yang hanya memakan sarapan sedikit saja. Katanya, "Aku ingin menunggu suamiku pulang." Masalahnya, dia pun tahu Raden tak akan pulang lagi hari ini. Tetapi tetap saja, dia tak bisa berhenti mengkhawatirkan sang pria. Apalagi saat dia tahu dampak skandal yang diatur oleh orang tuanya sangat besar dan merugikan perusahaan Raden. "Apa dia sudah makan?" "Sekarang dia sedang ngapain, ya?" tutur Anna ke diri sendiri. Tentu dia tak akan mendapatkan jawaban. Kemudian ketika sekelebat pikiran lewat, tubuhnya membatu tanpa alasan. Ia sadari bahwa di sela-sela kekhawatiran, ternyata ada perasaan rindu dan kekosongan. Saat disadarkan dengan realita bahwa tiga minggu lebih berlalu tanpa kepulangan Raden ke rumah ini, hawa sekitar terasa lebih sejuk. Ah, bukan sejuk, tetap
Baca selengkapnya
83. Menyalahkan Diri Sendiri
Hati Anna berdegup kencang sejak Raden pulang. Dia buru-buru mengecek berita terbaru, apa yang sudah dia lewatkan sampai-sampai pria itu berubah menjadi sosok menyeramkan? "Kembalinya putra pertama Kusuma." Anna membaca judul berita dengan lantang, kemudian membaca isinya dengan seksama. Saat berita telah tiba di ujung, jari telunjukkan menekan keluar dan mencari berita lain. Dengan kata kunci apa pun, saat ini berita Kusuma selalu dikaitkan dengan kedatangan Noah. "Pantas saja dia marah...." Tanpa disadari, saking gugupnya, Anna menggigit bibir bawahnya. Dirinya terlalu ceroboh dan meremehkan orang tuanya. Tidak seharusnya dia berkata sang Ayah berbohong mengenai keberadaan Noah. Tentu sekarang Raden mengira dia berbohong untuk membuat pria itu semakin lengah. Namun, Anna tak bisa menerima begitu saja saat dia dibilang berteman dengan Noah. Apa-apaan itu? Dia tak pernah merasa berteman dengan pria. Bagaimana bisa orang yang tidak ia ketahui wujudnya
Baca selengkapnya
84. Bertanya
Tidak. Dia tidak boleh menyerah secepat ini. Anna punya hak untuk membela diri karena ia memang tidak bersalah. Jadi, setelah dua hari terhanyut dalam nasib yang tidak jelas, Anna membersihkan dan merawat diri lagi, kemudian keluar dari kamar dan berkata, "Tolong rapikan kamarku." Para pembantu di rumah itu mulai bertanya-tanya apa yang hendak Anna lakukan. Apalagi wajah wanita itu berseri-seri. Mungkinkah dia akan pergi ke luar, berbelanja, dan menghirup nafas segara untuk melupakan masalah yang akhir-akhir ini terus berdatangan? Namun perkiraan mereka ternyata salah. Anna hanya berhenti di ruang keluarga yang sangat luas. Ia duduk di sofa, menyalakan televisi namun dengan volume yang rendah, lalu merogoh ponsel keluar dari sakunya. Setelah itu, dia mulai sibuk sendiri dengan layar tersebut. Tidak lama, layar ponsel didekatkan ke telinganya. Sedang menghubungi seseorang yang ada di beda tempat. Dalam dering ke lima, orang yang ditelepon mengangkat. Dengan su
Baca selengkapnya
85. Ancaman
Kala matahari terbenam dan digantikan oleh terangnya bulan meski masih kalah dengan cahaya di kota-kota besar. Di salah satu gedung tinggi, ada tiga manusia yang berkumpul dalam satu ruang. "Kalian yakin malam ini kalian tidur di sini?" Salah satu orang yang ditanya masih asik bermain video gim di ponselnya sehingga si bungsu yang mengambil alih jawaban. "Iya." "Memangnya Ayah dan Ibu sudah mengijinkan?" tanya si tertua, Elisa, dengan resah. Sejak hari itu, di mana semua anak-anak Malik dan Masya mengamuk, Ariel dan Erik telah menjadikan apartemen Elisa sebagai rumah kedua mereka. Meski mereka sudah kembali pulang ke rumah dan tidak mungkin terus menerus tinggal di tempat Elisa, setidaknya jika mereka gerah atau ingin bersantai, apartemen Elisa menjadi pilihannya. Selain itu, kedua saudaranya juga tidak memberitahu mengenai nama atau alamat apartemen Elisa agar orang tua mereka tidak bisa membuntuti gerak-gerik ketiga bersaudara. "Iya. Tadi sih Ibu terlihat k
Baca selengkapnya
86. Pembelaan Diri
Kala suara tembakan peluru membuat satu lantai menjadi penuh kebisingan, mata Raden yang sedari tadi terus terpaku pada layar komputer langsung bergerak ke jendela, merasa telinganya baru saja mendengar sesuatu yang tidak begitu asing. "Apakah ini hanya perasaanku saja?" Mungkin karena akhir-akhir ini dia berpikir diamnya wanita itu menandakan dia akan berbuat macam-macam lagi, contohnya seperti menembak kepala sendiri, membuat Raden sedikit tidak tenang. Namun pemikiran itu berhasil ia alihkan ke hal lain yang lebih penting. Sebentar lagi mereka akan mengurus penceraian, untuk apa Raden memiliki rasa simpati pada wanita yang telah membohonginya? Tok! Tok! Pintunya terketuk dan seseorang masuk dengan sopan. Seperti biasa, sang sekretaris melaporkan sesuatu yang hendak disampaikan kepada CEO tersebut. "Bu Anna ada di sini dan ingin bertemu dengan Bapak." Raden mengangkat kepala meski wajahnya jelas tidak tertarik dengan itu. "Bukankah aku sudah berkata
Baca selengkapnya
87. Mundur Sebentar
"Bagaimana kabar Anna, huh? ... Kenapa? Apakah Anna tak pernah bilang padamu kalau aku dengannya adalah teman?" Sesuai perkiraan, Raden dibuat terbatu dengan ucapan itu. Untuk membuat situasi lebih memanas, Noah menambahkan beberapa hal lagi. “Asal kamu tahu, sebelum kamu mengenal Anna, aku sudah lebih lama mengenal dia. Dan, sejujurnya, aku sudah jatuh hati dengannya. Jadi, kuharap sehabis ini kamu mempertimbangkan ulang apakah masih mau menerima wanita yang telah mengkhianatimu dan mengembalikannya kepadaku. Dengan begitu, tidak ada yang harus sengsara di antara kita.” Mata Raden menegang mendengar pernyataan seperti itu. Apa-apaan ini? Bukankah ini adalah akal-akalan Noah untuk membuat hubungannya dengan Anna menjadi hancur? Karena sudah pernah mengalami situasi seperti ini dari Masya, ini bukan sesuatu yang asing. Alih-alih merasa kesal, justru dia mendecih dan menyeringai. "Tidak perlu membohongiku. Aku tidak akan terpancing dengan trik murahan ini."
Baca selengkapnya
88. Perpisahan yang Penuh Kehampaan
Kata demi kata yang diucapkan secara terburu-buru, penuh emosi, dan tidak bisa dikendalikan telah melukai hati kecil Raden tanpa disadari. Kini mata wanita itu dipenuhi dengan rasa amarah yang sama besarnya. "Kenapa kamu tidak menyerah saja? Apa kamu tahu, jika kamu terus seperti ini, kamu justru melukai semua orang di sekitarmu karena keegoisan itu?" Kala hati Raden semakin lama membeku dengan kepalan tangan yang semakin mengeras, justru mata Anna mulai diselaputi oleh air mata dan berusaha membendung sebaik mungkin. Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Hanya ada tatapan mata yang saling beradu, udara yang panas meski pendingin sama sekali tidak rusak, dan dua manusia yang saling memikirkan pendapatnya sendiri di dalam otak. Raden menjadi orang pertama yang menghembuskan nafas bersamaan dengan tangan yang terkulai lemas, namun itu tidak menandakan pendiriannya goyah. Sama sekali keliru. "Seandainya semua memang bisa semudah itu. Tapi, kamu salah Anna. Perus
Baca selengkapnya
89. Mengajak Nostalgia
Kini, setelah bertahun-tahun hanya melihat perusahaan Kusuma Jaya dari jauh, Noah resmi diangkat sebagai salah satu chief di sini. Yakni, CFO. Memang mustahil jika langsung menggoyahkan Raden dari kursinya saat ini meski sempat dilanda skandal, penurunan performa, dan kedatangannya sebagai pewaris resmi. Tapi tidak apa-apa. "Segini saja sudah cukup baik untuk sekarang." Tanpa sadar Noah menyampaikan isi pikirannya dengan suara rendah sembari memandang langit bersih tanpa awan. Ketika Noah terus tersenyum penuh kemenangan atas hal ini, di lain ruangan ada orang yang tidak bisa tenang memikirkan chief baru. Para dewan komisaris telah setuju untuk memberi jabatan itu pada Noah dengan mudah, apakah kelak mereka akan berbuat hal yang sama kepadanya? Tentu saja ada kemungkinan atas hal itu. "Apakah dia akan bertindak lanjut dengan cepat?" Selain itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang masih berkaitan dengan masa lalu dan sama sekali tid
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
13
DMCA.com Protection Status