Semua Bab Shadow of The Past: Bab 51 - Bab 60
99 Bab
[50] Peluru Kedua I
TAKTIK YANG DIRENCANAKAN berjalan dengan lancar. Raungan alarm terdengar di sepenjuru gedung, diikuti oleh pancaran air dari langit-langit ruangan. Kei menarik kaki yang sempat menendang alat pendeteksi kebakaran. Melalui panggilan telepon, dia menyuruh Chisaki dan dua orang lainnya untuk segera pergi dari lokasi awal mereka di gedung ini. Semuanya disuruh berpencar untuk dapat mencapai lantai-lantai atas, tempat keberadaan orang yang hendak dikirimkan ke negara lain. Sebelum menyusup ke dalam gedung, Kei telah memberi arahan khusus untuk Nora, Akaba, Chisaki, dan tiga orang lainnya. Akaba diminta menerobos sistem keamanan hotel dan menyadap tiap kunci keamanan elektronik yang digunakan. Kemudian, selagi Akaba melakukannya, dia telah menyuruh Nora dan satu orang anggota lain untuk pergi ke gedung seberang, bersiap sedia di sana selagi menunggu Akaba mendapatkan data identitas pengunjung hotel. Data tersebut digunakan untuk menemukan lokasi keberadaan Airi. Begitu men
Baca selengkapnya
[51] Peluru Kedua II
AIRI HAMPIR TERLAMBAT bereaksi. Dia terselamatkan dari pukulan keras logam setelah menghindar ke samping, bersandar ke arah dinding. Lengan tangannya menahan lengan tangan lawan. Dia tersudut, tapi masih bisa bertahan. “Lari! Tetaplah di lantai atas!” seru Airi, mengerling pada Kazuki yang sedang berjuang menghindari pukulan bertubi-tubi dari lawan. Airi melihat area tangga yang sempit dan curam. Jantungnya bertalu-talu. Kazuki harus pergi dari sini. “Kau akan sendirian—“ “Pergilah! Kembali ke atas!” Tekanan di lengannya semakin kuat. Airi meringis, pegangannya sebentar lagi terlepas. Beberapa tangga di atas sana, Kazuki menendang kuat sisi tubuh masing-masing pria, menjauhkan jarak mereka. Dia kelihatan marah dan geram, tapi tak punya pilihan selain mengikuti ucapan Airi. Paling tidak, kalau dia pergi, dua orang ini akan mengejarnya. “Kalian, ikut aku!” seru Kazuki pada tiga anak lain. Mereka kemudian l
Baca selengkapnya
[52] Peluru Ketiga
MENYERAHKAN SEBAGIAN PEKERJAAN pada orang lain yang belum pernah bekerja dengannya memang bagaikan taruhan. Selama ini, Kei mempercayai kemampuan Felix, tetapi tidak dengan anak-anak buahnya. Keraguan itu terbukti setelah dia mendapatkan laporan tentang keteledoran Chisaki. Anak itu memang telah membersihkan orang-orang Nogawa di lantai bawah. Dia memang memudahkan penyusupan yang mereka lakukan. Akan tetapi, semua itu takkan berarti di matanya ketika seseorang melakukan satu kecerobohan besar yang memperlambat ketuntasan tugas mereka. Semua hasil kerja Chisaki langsung bernilai nol di mata Kei akibat dia yang tidak sengaja menjatuhkan ponsel—satu-satunya media yang menghubungkan mereka dengan Airi. Kecerobohan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dibenci Kei. Kemarahan terpancar jelas di matanya ketika dia diberi tahu Nora akan kondisi ini. Bilah panjang, yang tadi digunakan untuk bermain-main dengan sepuluh orang yang telah tergele
Baca selengkapnya
[53] Campur Tangan I
SATU HAL YANG membuat Airi lega di tengah kondisi ini adalah dia yang dapat kembali bertemu dengan Kazuki. Keadaan Kazuki memang tak bisa dikatakan baik-baik saja. Cedera di kakinya kelihatan semakin parah. Belum lagi luka di sudut bibirnya akibat pukulan yang didapat dari anak buah Nogawa. Hanya dengan menatap, Airi tahu, Kazuki berusaha keras menahan sakit. Kening anak itu mengernyit tiap kali menyeret kaki, berjuang untuk dapat berjalan normal. Diberi kesempatan untuk duduk bersisian dengan sang putra, Airi langsung beringsut mendekatinya, belum terlalu memperhatikan ruang aula yang telah dipenuhi banyak orang. Mereka adalah wanita dan anak-anak yang tak berhasil kabur dari cengkeraman Nogawa. Telapak tangan menangkup sisi wajah Kazuki. Airi memeriksa bekas luka di sudut bibir anak itu, menyentuhnya pelan. Kazuki mendesis samar, merasakan sengatan nyeri. “Mana lagi yang sakit?” tanya Airi sambil memeriksa wajah Kazuki secara menyeluruh, mem
Baca selengkapnya
[54] Campur Tangan II
AIRI MENGERNYIT, MEMPERTANYAKAN maksud instruksi sang lelaki. Dia mendengarnya kembali berbincang dengan Nogawa, meminta pria itu agar memerintahkan para anak buahnya untuk menurunkan senjata. Nogawa menuntut balik dengan meminta Kei melemparkan ponsel miliknya. Untuk sesaat, Airi merasakan ketegangan yang luar biasa. Udara di sekitar mereka seolah berhenti bergerak. Detak jantungnya berdegup lebih kencang. Situasi ini membuatnya sesak. Kei menolak memberitahukan rencananya. Dia membiarkan Airi dipenuhi banyak pertanyaan hingga dia semakin waswas seperti ini. Memutuskan untuk menoleh ke arah Nogawa yang ada di belakangnya, Airi terpaku ketika Kei merangkulnya dengan tiba-tiba, memaksanya menunduk. Di hadapan Nogawa, ponsel sedang dilemparkan, tengah terayun di udara. Semua todongan senjata tak lagi terlalu mengarah kepada mereka berdua. Airi masih terlalu terkejut pada apa yang terjadi. Mata dan telinganya tak mampu menangkap semua kej
Baca selengkapnya
[55] Bermalam
DARI HASIL PERKELAHIAN, terlihat anak-anak buah Nogawa yang telah dilumpuhkan, tak terkecuali Nogawa sendiri. Chisaki baru saja menumbangkan satu orang, begitu pula dengan dua rekannya yang lain. Mereka semua telah selesai menangani kaki tangan Nogawa dan juga Nogawa sendiri. Tumbangnya Nogawa tampak dari kondisinya yang sudah tak berdaya. Dia tergeletak menyedihkan di atas lantai, berbalut rembesan darah dari banyak titik luka. Pistol yang tadi digunakan untuk mengancam Airi telah terlempar beberapa kaki dari tempatnya berada. Di atas semua kondisi menyakitkan itu, Airi mendapati keberadaan Kei—Kei yang tengah menginjak sisi wajah Nogawa, menekannya dengan menyakitkan hingga dia menahan erangan di bawah sana. Telapak tangan mengacungkan pistol tepat ke kepala pria itu, siap untuk menarik pelatuknya kapan saja, mengakhiri hidup pimpinan kelompok tersebut. Dari tempatnya berdiri, Airi menegang. Matanya terpaku atas pemandangan yang dia saksikan—atas s
Baca selengkapnya
[56] Deal
“KITA AKAN MEMBICARAKAN itu,” Kei mengerling pada bekas kemerahan di leher Airi, “setelah mengobati lukamu,” lanjutnya, tak terbantah. Airi menatap Kei dengan datar. “Tentu saja,” timpal Airi. “Aku akan mengobatinya.” Kei menatapnya sesaat sebelum mendengkus pelan, menahan geli. Dia mengedikkan dagu, meminta Airi mengikutinya. Mereka telah kembali ke kamar utama tak lama kemudian. “Apa saja yang dibicarakan pria tua itu?” ungkap Kei selagi mulai membuka obat oles yang akan digunakan Airi. “Tidak banyak. Dia hanya ….“ Ketika Kei hendak mengambil isi obat tersebut agar dapat memakaikannya pada Airi, Airi sudah terlebih dulu mengambil wadah obat dari tangannya, tak peduli pada sorot mengunci sang lelaki. “Dia hanya menghinamu,” tambah Airi, berbicara sambil lalu. Obat itu dia kenakan sendiri tanpa perlu melihat. Kei terlihat tidak senang dengan tindakan Airi, tapi dia tak berkomentar apa pun. Alih-alih mengomentari tindak
Baca selengkapnya
[57] Pesan
“SUDAH KUKIRIMKAN PADAMU,” ungkap Airi dengan sebuah ponsel dalam genggaman. Dia mendongak, menatap sang lelaki yang tengah duduk di atas nakas. “Apakah kau masih khawatir kalau aku mengingkarinya?” tanya Airi pelan, mulai merasakan serangan lelah. Sama sekali tak memperhatikan layar ponsel Airi yang sengaja diperlihatkan untuk dapat meyakinkannya, Kei masih menatap sang perempuan lekat. “Tidak,” balasnya ringkas. Pandangan mengedar ke area sekitar. Dia menarik napas pelan dan menegakkan diri, bersiap-siap untuk beranjak pergi. “Kunci kamar ini sebelum kau tidur,” ungkapnya sambil lalu. Saat itu, Airi hanya menatapnya kosong. Dia baru mengerti setelah melihat mata sang pria. Senyuman masam tersemat pada bibir. Dia ikut berdiri, beranjak menuju pintu kamar. “Kau benar-benar membuat dirimu sendiri sulit untuk kembali kupercaya,” ujar Airi begitu mereka mencapai ambang pintu. Kei menoleh, cukup terganggu pada komentar yang dilontarkan Airi.
Baca selengkapnya
[58] Negosiasi
AIRI DAN KAZUKI TELAH pulang tanpa gangguan. Sejauh ini, orang-orang suruhan Rodo juga belum kembali bergerak. Kei mendapatkan informasi tersebut begitu dia kembali ke hotel setelah menyelesaikan agenda perusahaan. Guyuran air dingin masih terasa di kulit. Kei menyampirkan handuk ke pundak selagi dia membaca pesan singkat yang disampaikan oleh Kurata dan Akaba. Penerbangannya pagi tadi memakan waktu hampir tiga belas jam. Dengan perbedaan waktu yang besar antara Tokyo dan New York, dia tiba di tempat tujuan pada waktu yang sama seperti keberangkatannya dari Tokyo. Artinya, dia sampai di New York di waktu pagi dan langsung bergegas menghadiri agenda di hari tersebut tanpa waktu istirahat yang berarti. Waktu luang baru kembali Kei dapatkan ketika malam tiba. Informasi baru yang datang cukup memuaskan—mengingat dia yang tak begitu yakin bahwa Airi akan menyetujui pengawasan lain dari anak-anak Estella. Percakapan mereka kemarin malam cukup untuk memperl
Baca selengkapnya
[59] Makan Malam
PAGI TADI, ETHAN marah—sangat marah. Kemarahannya tak hanya disebabkan oleh Airi yang menghilangkan satu-satunya mobil yang dia punya. Tapi juga karena Kei yang dengan seenak hati melibatkan Airi dan Kazuki ke dalam bahaya. Airi ingat, Ethan teramat marah sampai hampir menghubungi Kei secara langsung. Dia bahkan tampak lebih berang dari Airi yang terlibat langsung dalam insiden malam tadi. “Aku akan mengganti mobilmu,” ungkap Airi saat itu, mencoba menenangkannya. Dia menggenggam ponsel dengan erat, menjauhkannya dari jangkauan Ethan. “Dan tak perlu menghubungi Kei. Urusan kami sudah selesai. Aku tak ingin kembali mengungkitnya. Lagi pula, apa yang mau kau bicarakan?” “Aku ingin memberinya satu dua pukulan,” tandas Ethan dengan kaku. “Satu dua pukulan?” beo Airi, terheran-heran. “Kau bahkan tak bisa mengalahkanku ketika dulu kita latihan. Tapi, kau yakin bisa memukulnya? Apakah tadi kau benar-benar mendengar ceritaku?” Detik i
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status